Perubahan manusia dari kebiasaan lama kepada kebiasaan baru dilakukan secara bertahap (gradual), dengan cara memodifikasi atau mendekonstruksi secara holistik. Fenomena ini digambarkan dalam peta evolusi manusia baik secara historis, genetik dan kognitif.
Demikian, sepanjang manusia berinovasi dalam mengusahakan kebutuhannya, dunia ini niscaya selalu dirubah dan berubah mengikuti perkembangan manusia.
Abad ke-21 ini manusia tidak hanya dapat menjelaskan asal-usulnya saja, lebih dari itu ia pun mampu menganalisa masa depan alam semesta dan kausalitas kehidupannya, secara makro atau mikro.
Peradaban manusia awal digambarkan sebagai makhluk yang berbeda dari benda lainnya, kemudian menciptakan sebuah perhimpunan atau kelompok sesamanya, selanjutnya manusia mengalami zaman peperangan yaitu perang antar kelompok, dan dewasa ini ia hidup dalam sistem daulat kebangsaan/ nation state.
Di masa depan, kehidupan manusia didominasi oleh mesin/robot pekerja. Selain hal itu mengurangi eksploitasi terhadap manusia di sisi lain menyebabkan ketidakbutuhan manusia sendiri.
Membicarakan asal-usul manusia berarti mengulas sejarah yang panjang, tidak mungkin selesai dalam tulisan singkat ini, pun tidak akan pernah final dan kemungkinan terus berubah.
Manusia selalu dikelilingi oleh ketidakterbatasan di luar dirinya dan keterbatasannya dalam mengamati suatu obyek sekitar. Di sisi lain, Ia mampu beradaptasi dengan benda atau keadaan tertentu, karena adanya suatu petunjuk atau sumber pengetahuan dalam dirinya.
Baca juga: Al-Qur’an Kitab Hidayah: Mengenal Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar |
Petunjuk atau sumber pengetahuan berperan penting dalam kehidupan manusia terutama bagi seorang Muslim. Penulis terdorong mengulasnya sesederhana mungkin menggunakan perspektif Islam.
Dalam Islam, manusia merupakan ciptaan paling baik daripada makhluk lainnya, kesempurnaannya meliputi pemberian akal dan panca indera. Secara teologis ia dibekali dengan kitab suci sebagai tuntunan hidup, dan seorang Rasul yang menjelaskan dan menuntunnya kepada kebenaran.
Kata “petunjuk” yang penyebutannya secara Islami merujuk kepada padanan kata “hidayah”, tidak lain merupakan bahasa serapan dari kosakata Arab. “Hidayah” berasal dari kata Hadaa, yang berarti menunjukkan atau memberikan petunjuk.
Secara terminologi, menurut Quraish Shihab, hidayah merupakan suatu yang mengantar kepada yang diharapkan, yang disampaikan kepada manusia secara halus dan lembut.
Kitab suci Al-Qur’an bukanlah kitab yang kering akan makna ataupun produk budaya abad ke-7 H. Bagi setiap Muslim, ini dipercaya sebagai kitab suci yang di dalamnya memuat petunjuk-petunjuk Allah Swt. dan mengajak manusia kembali kepada jalan yang lurus dan penuh kebenaran.
Selain itu, ia tak lain adalah salah satu dari kemukjizatan Nabi Saw. serta yang diwariskannya kepada umat Islam.
Sebagaimana firman Allat Swt. dalam QS. Al-Baqoroh ayat 2 di bawah ini.
ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين.”
Yang artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”, (QS. Al-Baqoroh:2).
Pembahasan teoretis mengenai “hidayah” dapat ditemukan dalam literatur Islam karya para ulama. Mereka berusaha menjelaskan secara terperinci dari prinsip-prinsip universal yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, sehingga melalui pencarian secara global, ia tidak lagi menjadi sesuatu yang dimonopoli oleh madzhab tertentu melainkan dapat dipahami sebagai universalitas pesan ilahiyyah.
Hidayah tidak hanya berlaku kepada Muslim yang taat, setiap manusia pada hakikatnya mendapatkan hidayah. Akan tetapi sebagai indikator paling kuat, hidayah yang sampai kepada seseorang ditandai dengan dorongan amal saleh secara transendental dan sosial.
Terdapat dua pengertian hidayah dalam Islam, yakni hidayah khusus dan hidayah umum. Hidayah yang statusnya mutlak pemberian Tuhan dalam istilah ilmiahnya prerogatif dari Tuhan disebut dengan hidayah khusus, yaitu hanya Tuhan yang berhak memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an:
انك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشاء وهو أعلم بالمهتدين.
Yang artinya: “sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashash:56)
Sedangkan pengertian umumnya adalah hidayah yang diberikan kepada seluruh manusia yang ditandai dengan terangnya kebenaran dan jalan-jalan Allah (Syi’ar Islam).
Menurut beberapa pandangan mufassir seperti Dr. Wahbah Al-Zuhaily, Syaikh Mustafa Al-Maraghi dan M Quraish Shihab, terdapat setidaknya lima kategori dan tahapan dalam pembahasan hidayah diantaranya; Al-Ilhami, Al-Hawas, Al-Aqli, Al-Adyani dan Al-Taufiqi.
Hidayah Al-Ilhami, adalah hidayah yang ada sejak lahir berupa insting atau naluri yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia dan hewan. Allah menganugerahkannya tanpa usaha dan permintaan makhluk, seperti dorongan melakukan sesuatu misalnya ketika bayi merasa lapar secara otomatis akan menangis.
Hidayah Al-Hawas, yaitu hidayah untuk manusia dan hewan dapat juga disebut hidayah panca indera, namun perbedaannya terletak pada kemampuan masing-masing, manusia tidak bisa memanfaatkannya secara konstan melainkan secara gradual sedangkan pada hewan diberikannya sekaligus.
Hidayah Al-Aqli, merupakan hidayah yang dikhususkan kepada manusia, pada tahapan inilah manusia berbeda dengan makhluk lainnya sekalipun dengan malaikat. Obyek yang diketahui melalui panca indera mampu diakomodir menjadi kesimpulan-kesimpulan olehnya.
Hidayah Al-Adyani, merupakan petunjuk Allah yang membatasi akal manusia ketika terpedaya oleh nafsu, dalam Islam Al-Qur’an adalah episentrum dari petunjuk-Nya begitu juga dengan kitab suci yang turun sebelumnya.
Yang terakhir, hidayah Al-Taufiqi adalah petunjuk yang diberikan kepada manusia yang hanya dikehendaki-Nya. Dalam tahapan ini sebesar apapun usaha manusia dalam memperolehnya apabila Allah tidak menghendaki, maka tidak akan pernah didapatkan oleh manusia, Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang jelas maupun yang tersirat dalam hati.
Baca juga: Hidayah Tak Beralaskan Ruang dan Waktu |
Oleh karenanya, ke-empat hidayah yang diperoleh manusia sebelumnya bukanlah jaminan berakhlak mulia. Maka dari itu, tidak sedikit manusia yang tersesat dalam kebenarannya sendiri dan memilih jalan yang bertentangan dengan aturan-Nya, meski telah mendapatkan hidayah agama.
Kesimpulannya, usaha manusia dalam merubah suatu keadaan atau fenomena kehidupan tidak terlepas dari hidayah atau petunjuk. Hidayah adakalanya merupakan suatu pemberian Tuhan kepada manusia secara umum.akan tetapi di sisi lain, ia hanya diperuntukkan kepada manusia yang dikehendaki-Nya.
Para ulama memperinci penjelasan hidayah dalam dua opsi yaitu hidayah khusus dan umum, dalam penjelasan yang lebih spesifik hidayah dikategorikan dalam lima bagian yang kesemuanya merupakan kesempurnaan dan keutamaan dari manusia, tanpanya manusia akan tersesat dalam keburukan dan dekadensi moral (Akhlak Madzmumah).
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments