Dalam al-Quran, kata Ya’juj dan Ma’juj hanya disebut 2 (dua) kali. Pertama dalam QS. Al-Kahfi: 94, dan kedua dalam QS. Al-Anbiya’: 96. Di penyebutan yang pertama, Ya’juj dan Ma’juj digambarkan sebagai kelompok yang melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan di penyebutan yang kedua, Ya’juj dan Ma’juj dikabarkan akan menyebar ke berbagai penjuru setelah mereka berhasil menghancurkan tembok penghalang yang didirikan Dzul Qarnain.
Siapa Ya’juj dan Ma’juj sehingga perlu untuk menaruh perhatian terhadapnya? QS. Al-Kahfi mengisahkan perjalanan Dzul Qarnain hingga bertemu dengan suatu kaum yang berada di antara dua gunung dan tidak memahami pembicaraan. Kaum tersebut meminta bantuan kepadanya untuk dibuatkan tembok penghalang yang mampu melindungi mereka dari sifat merusak Ya’juj dan Ma’juj. Dikabarkan bahwa tembok penghalang tersebut (atas rahmat Allah Swt) tidak akan hancur sampai waktu yang dijanjikan tiba.
Quraish Shihab menafsirkan bahwa janji tersebut adalah menjelang datangnya hari kiamat (Shihab: 376). Pada saat itu, tembok tersebut akan hancur rata dengan tanah (Al-Qurthubi: 390). Ia juga bisa bermakna ketidakfungsian tembok tersebut sebagai penghalang sebab pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Thabathaba’i: 397-398). Jika merujuk ke pendapat terakhir, maka keluarnya Ya’juj dan Ma’juj mempunyai benang merah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sudahkah tembok penghalang tersebut hancur? Jika sudah, kapan? Apa buktinya? Dalam sebuah hadis yang sudah teruji nilai kesahihannya, disebutkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad Saw. terbangun dari tidurnya dengan wajah yang memerah. Beliau Saw. kemudian berkata (yang artinya), “Tiada Tuhan selain Allah Swt. Celakalah orang-orang Arab karena keburukan sudah dekat. Hari ini, benteng Ya’juj dan Ma’juj telah dibuka seperti ini. Lalu beliau Saw. melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuk.”
Sebagai Nabi akhir zaman, pengabaran beliau Saw. mengenai mulai terbukanya tembok penghalang Ya’juj dan Ma’juj dapat bermakna telah dekatnya hari yang dijanjikan (kiamat). Menyikapi kabar ini, ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Ya’juj dan Ma’juj saat ini masih belum keluar dari tembok penghalang yang didirikan Dzul Qarnain, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa Ya’juj dan Ma’juj sudah keluar dan menyebar ke berbagai penjuru untuk ‘kembali’ melakukan pengrusakan di muka bumi.
Dalam tulisan ini, penulis akan mengungkap identitas Ya’juj dan Ma’juj menurut penafsiran Imran Hosein. Alasannya adalah selain bahwa tokoh yang mengkaji Ya’juj dan Ma’juj terbilang minim, Imran Hosein mempunyai penafsiran yang di luar mainstream pandangan umat Islam. Bermula dari pra-pemahaman dan penggunaan metodologi yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, ia kemudian menghasilkan produk tafsir yang bisa dibilang provokatif.
Imran Hosein: Pra-Pemahaman dan Metodologi Penafsiran
Pemikiran keagamaan Imran Hosein sangat dipengaruhi oleh gurunya, Fazlur Rahman Ansari. Ketertarikannya bermula dari ceramah Ansari yang menghubungkan antara Islam dan Sains, termasuk kemampuannya dalam ‘mengungkap’ fakta di balik kemajuan peradaban Barat. Keterpengaruhan inilah yang nantinya tampak dalam penggunaan metodologi ketika ia menafsirkan al-Quran .
Mengenai al-Quran, Imran Hosein meyakini bahwa ayat-ayatnya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya; tidak berdiri sendiri. Keterkaitan antar ayat ini menurutnya hanya bisa diketahui oleh apa yang ia sebut sebagai ‘sistem makna’ (Hosein: 69). Kemampuan dalam mengetahui sistem makna ayat-ayat al-Quran berimplikasi pada kemampuan memahami weltanschauung ayat tersebut.
Dalam proses menafsirkan al-Quran, Imran Hosein menetapkan aturan dalam penggunaan sumber penafsiran. Pertama, sebelum menggunakan sumber penafsiran lain, ia selalu mendahulukan keterhubungan antarayat. Kedua, menggunakan hadits sejauh ia tidak bertentangan dengan al-Quran. Ketiga, melakukan pentakwilan atas ayat-ayat mutasyabihat. Keempat, menggunakan data-data eksternal (kitab suci agama lain dan data-data sejarah).
Yang menarik dari Imran Hosein adalah penggunaan takwil dalam proses penafsirannya. Hal ini merupakan implikasi dari penafsirannya terhadap QS. Ali Imran: 7. Menurutnya, bukan hanya Allah Swt. yang mampu mengetahui takwil atas ayat-ayat mutasyabihat, tetapi mereka yang diberi kebijaksanaan dan kebaikan dari Allah Swt. pun mampu (Hosein: 73-74).
Lebih spesifik, ‘mereka’ yang dimaksud oleh Imran Hosein adalah kaum sufi. Yakni mereka yang diberi kemampuan untuk melihat realitas melalui mata eksternal dan mata internal, layaknya Khidr as. Mereka melihat dengan nur Allah. Mereka inilah yang mampu menghubungkan kemungkinan makna ayat al-Quran dengan peristiwa yang berlangsung sepanjang jalannya sejarah.
Baca juga: Identitas Ya’juj dan Ma’juj menurut Imran Hosein (Bagian 2)
Baca juga: Lepasnya Ya’juj dan Ma’juj dan Rusaknya Tatanan Dunia Modern (Bagian 3)
Alhamdulillah… Misteri tentang Ya’juj dan Ma’juj telah terkuak secara detail, insya allah mendekati kebenaran. Silakan intip paparannya di buku “Dzulkarnain dan Ya’juj Ma’juj Dalam Perspektif Awam”