Al-Qur’an Kitab Hidayah: Mengenal Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar

Dengan rasionalitasnya, Abduh berusaha menafsirkan ayat-ayat Alquran yang sulit dipahami akal manusia dengan bahasa yang dapat diterima oleh akal masyarakat modern.2 min


-2

Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M) dikenal sebagai seorang pembaharu dalam pemikiran tafsir Al-Qur’an di Timur Tengah, khususnya di tanah kelahirannya, Mesir. Bersama dengan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, Abduh mengarang sebuah kitab tafsir yang berjudul “Tafsir Al-Manar”.

Kitab ini merupakan kompilasi dari isi pengajian Abduh di universitas Al-Azhar Kairo, yang ditulis oleh Rasyid Ridha dan dikoreksi kembali oleh Abduh semasa hidupnya hingga menjadi sebuah kitab.

Namun, karena ajal terlebih dahulu menjemput, Abduh tidak dapat menyelesaikan tafsirnya. Ia hanya berhasil menafsirkan seluruh surah dalam juz 30 dan kurang dari 5 juz awal dari Al-Qur’an (QS. Al-Fatihah-QS. An-Nisa’: 125).

Muridnya lah yang sepenuhnya melanjutkan penafsiran tersebut. Sayangnya, Rasyid Ridha juga tidak mampu menyelesaikan penafsiran tersebut hingga selesai karena keburu wafat. Ia berhasil menafsirkan Al-Qur’an hanya sampai QS. Yusuf. Jika digabungkan, penafsiran Abduh dan Rasyid Ridha mencapai 12 jilid, mulai dari QS. Al-Fatihah hingga QS. Yusuf, ditambah dengan Juz 30.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Abduh dikenal sebagai orang yang sangat rasionalis. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, seorang ulama sekaligus agitator politik ternama pada masa itu.

Abduh mengkritik penafsiran-penafsiran klasik yang menurutnya terlalu bersifat akademis. Banyak istilah-istilah tata bahasa Arab, teori-teori ushul dan ulumul qur’an dalam tafsir klasik yang menurut Abduh tidak begitu penting dan dapat menimbun pesan-pesan pengetahuan dari Al-Qur’an itu sendiri.

Menurut Abduh, di akhirat kelak kita tidak akan ditanyai tentang bagaimana teori dalam memahami Al-Qur’an, hanya saja yang diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak ialah apakah Al-Qur’an yang diwahyukan ini dapat menjadi pembimbing dan pedoman dalam kehidupan kita (Jansen, 1997: 28).

Di satu sisi, kritik Abduh ini dapat diterima, karena dengan rasionalitasnya ia berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak “ruwet” dan bahasa-bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat luas, tidak hanya akademisi, termasuk masyarakat awam sekalipun.

Di sisi lain, kritik tersebut tampak janggal dan rancu. Ulama-ulama tradisional memaparkan teori-teori bahasa dan ulumul qur’an yang dianggap “ruwet” tersebut justru merupakan usaha untuk mengungkap pesan dan makna Al-Qur’an yang sebenarnya. Bagaimana mungkin Abduh dapat mengungkapkan pesan-pesan Al-Qur’an dengan baik tanpa memperhatikan aspek bahasa atau teori-teori ulumul qur’an lainnya?

Ini suatu pertanyaan yang mungkin berat untuk dijawab. Terlepas dari itu, Abduh hanya ingin berusaha menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai kitab petunjuk bagi seluruh manusia.

Dengan rasionalitasnya, Abduh berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami akal manusia dengan bahasa-bahasa yang dapat diterima oleh akal masyarakat modern. Seperti ketika menafsiran ayat ketiga dan keempat dari QS. Al-Fil.

Ulama klasik menafsirkan Lafaz ṭairan abābīl dalam ayat tersebut dengan makna “segerombolan burung yang membawa kerikil-kerikil kecil dari api neraka”. Penafsiran seperti ini tentu sulit diterima oleh akal masyarakat modern.

Maka Abduh berusaha menafsirkan dengan bahasa yang lebih rasional. Lafaz ṭairan abābīl tersebut dijelaskan oleh Abduh dengan makna “segerombolan binatang sejenis lalat yang membawa virus penyakit”. Lalat-lalat inilah yang menyerang Abrahah beserta seluruh tentara bergajahnya dengan virus yang dibawanya. Sehingga mereka hancur lantaran virus penyakit yang dibawa oleh lalat-lalat tersebut.

Begitupun dengan sihir. Bagi Abduh, sihir merupakan sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Sehingga ayat-ayat yang berbicara tentang sihir dalam Al-Qur’an, ia tafsirkan dengan bahasa-bahasa yang logis dan masuk akal. Seperti ketika menafsirkan QS. Al-Falaq.

Penafsiran klasik menjelaskan surah ini sebagai suatu perlawanan terhadap sihir. Ayat keempatnya berbicara terkait “wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”. Ulama tradisional menganggap hal itu sebagai bentuk sihir.

Abduh tentu menolak ayat-ayat ini jika dikaitkan dengan magis atau sihir. Lantas ia menafsirkan ayat ini dengan makna “wanita-wanita yang suka memfitnah dan menggosip sehingga dapat merusak buhul-buhul (tali) persaudaraan”.

Abduh juga berpandangan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an bersifat umum. Artinya, seluruh petunjuk yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an tidak dibatasi oleh suatu waktu dan tidak pula ditujukan khusus kepada orang-orang tertentu.

Begitupun ayat-ayat yang bercerita tentang kisah. Penafsiran klasik cenderung mempermasalahkan informasi-informasi detail terkait kisah tersebut, yang Al-Qur’an sendiripun tidak menjelaskannya lebih lanjut. Seperti ayat yang bercerita tentang Dzul Qarnain (QS. Al-Kahfi: 83).

Ulama tradisional sibuk mencari tahu tentang siapa sebenarnya Dzul Qarnain ini, di mana dia hidup, dan sebagainya. Bagi Abduh, hal yang demikian tersebut tidak penting, yang terpenting ialah bagaimana pesan dan pelajaran dari kisah tersebut dapat diambil oleh masyarakat untuk kehidupannya.

Di sinilah Abduh benar-benar memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab hidayah (petunjuk). Dan, model penafsiran seperti Abduh ini, belakangan dikenal dengan corak adabi-ijtima’iy. []

 _ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 

 


Like it? Share with your friends!

-2
Muhammad Alan Juhri
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals