Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir

Jelas bahwa penelitian dalam bidang ini memerlukan, tidak hanya ‘ilmu-ilmu keislaman’, tetapi juga teori-teori kontemporer.14 min


1
1 share, 1 point
Belajar Al-Qur'an dan Tafsir
Sumber: Pexels.com

Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir adalah bagian yang akan diulas pada tulisan ini. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para pengkaji kajian keislaman, khsususnya studi Al-Qur’an dan tafsir minimal harus memahami terlebih dahulu empat hal agar bisa melakukan penelitian tafsir dengan bagus: (1) tinjauan sejarah penelitian tafsir, (2) pemetaan penelitian dalam studi Al-Qur’an, (3) pendekatan, dan (4) analisis penelitian tafsir.

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang tinjauan sejarah penelitian tafsir dan pemetaan penelitian dalam studi Al-Qur’an (jika anda belum mengetahui/membaca dua hal tersebut, silakan baca terlebih dahulu di sini), maka pada artikel ini akan diulas lebih mengenai metode dan analisis yang digunakan dalam studi Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir, sebagaimana berikut:

I. Pendekatan dalam Penelitian Studi Al-Qur’an dan Literatur Tafsir/Ilmu Tafsir

Dalam penelitian teks ada beberapa istilah penting yang seharusnya dapat dipahami secara baik. Salah satunya adalah ‘pendekatan’ atau dalam bahasa Inggris approach.

Yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah perspektif yang digunakan seorang peneliti dalam menganalisis data-data dari literatur tafsir. Pendekatan atau perspektif apa yang tepat digunakan dalam penelitian tertentu itu tergantung pada pokok-pokok masalah (research questions) yang ingin dicari jawabannya.

Secara garis besar, pendekatan dalam penelitian literatur tafsir dapat dikelompokkan, berikut ini:

A. Pendekatan Kritik Teks (Textual Criticism)

Pendekatan Kritik Teks (Textual Criticism) yang dimaksud di sini adalah satu pendekatan dalam penelitian teks yang bertujuan untuk mengetahui otentisitas sebuah teks, atribusinya, dan bentuk aslinya, yang dalam hal ini adalah teks tafsir.

Definisi ini dibuat berdasarkan pada definisi umum yang dikemukakan oleh Edward John Kenney,“Textual criticismthe technique of restoring texts as nearly as possible to their original form” (Kritik Teks adalah teknik mengembalikan teks sedekat mungkin kepada bentuk aslinya).

Lebih lanjut, pendekatan ini berkaitan dengan permasalahan otentisitas teks, atribusi/penyandaran teks kepada seseorang dan evaluasi historisatas teks tertentu (Kenney2018).

Adapun langkah-langkah textual criticism ini adalah sebagai berikut:

Pertama, seseorang melakukan recension (resensi), yakni mengumpulkan teks-teks yang paling awal. Hal ini dilakukan apabila teks/naskah tertentu itu memiliki variasi atau banyak kopiannya.

Kedua, seseorang melakukan examination (pengujian), yakni melakukan kajian dan analisis terhadap variasi teks tersebut dengan tujuan mengetahui mana yang lebih autentik dari sekian variasi tersebut.

Ketiga, emandation (perbaikan) dilakukan dengan cara mengembalikan teks tertentu yang dipandang salah atau tidak autentik kepada bentuk yang autentik.

Keempat, terakhir, adalah edition (pengeditan), yakni melakukan pengeditan terhadap teks tertentu secara keseluruhan (Kenney, 2018).

Baca juga: Siapa yang Pantas Disebut Sebagai Mufassir?

Dengan demikian, aplikasi pendekatan ini pada teks tafsir bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah teks tafsir tertentu autentik lafalnya dan apakah teks tersebut dapat diatribusikan atau disandarkan pada mufasir tertentu.

Contoh penelitian yang menggunakan pendekatan Kritik Teks ini adalah penelitian Andrew J. Lane terhadap teks tafsir al-Kasysyāf, karya az-Zamakhsyarī.

Lane menjelaskan bahwa manuskrip al-Kasysyāf yang terdapat dalam Fihrisasy-Syāmil itu berjumlah 843. Lane hanya melakukan kajian terhadap 204 manuskrip.

Dia mendapati adanya perbedaan dalam manuskrip-manuskrip, yang salahsatunya adalah terkait ungkapan khalaqaal-Qur’āna, ja‘alaal-Qur’āna, atau anzalaal-Qur’āna setelah ungkapan al- Zamakhsyarī al-ḥamduli-Allāh-iallażi. Perbedaan ini lalu dibahas dengan langkah-langkah textual criticism di atas (Lane, 2006: 58-85).

B. Pendekatan Interpretatif (Interpretative Approach)
Yang dimaksud dengan Pendekatan Interpretatif (Interpretative Approach) di sini adalah pendekatan yang digunakan oleh seseorang dalam melakukan penelitian teks atau literatur tafsir yang fungsinya memberikan penjelasan atas teks tafsir yang sedang dibahas.

Pendekatan ini tidak membahas apakah sebuah teks itu autentik atau tidak. Sebaliknya, dengan pendekatan ini seseorang menerima teks apa adanya dan selanjutnya memberikan berbagai keterangan yang bisa memperjelas teks tafsir yang sedang dikaji.

Tentunya, ada banyak cara pandang untuk menjelaskan teks tersebut. Namun demikian, secara garis besar pendekatan ini bisa dibagi ke dalam dua sub-pendekatan besar, yakni (1) sub-pendekatan historis, dan (2) sub- pendekatan sastrawi.

(1) Sub-Pendekatan Historis
Sub-pendekatan  historis  ialah  sub-pendekatan  yang  digunakan  untuk menjelaskan  aspek-aspek historis  dari  teks  tafsir  yang  diteliti,  seperti perkembangannya, hubungannya dengan kondisi sosial saat teks tafsir disusun, keterpengaruhan pengarangnya oleh penafsir sebelumnya, dan pengaruhnya terhadap penafsir pada masanya dan sesudahnya (atau resepsi oleh penafsir lain).

Misalnya Na’im al-Himshi dalam artikelnya “Tārīkh Fikrat I‘jaz al-Qur’ān,” dan Issa J. Boullata dalam artikelnya “The Rhetorical Interpretation of the Qur’ān,” mengkaji asal-usul dan perkembangan konsep kemukjizatan Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad hingga masa modern. Al-Himshi  juga meneliti  mengapa  konsep  tersebut  menjadi  salah  satu perhatian ulama Islam pada masa klasik.

Sumber-sumber yang digunakan oleh mereka untuk menjawab pokok-pokok persoalan tersebut ialah kitab-kitab tentang i’jaz dan buku-buku sejarah tentang interaksi intelektual umat Islam dengan non-muslim (Boullata, 1988: 139-157).

Baca juga artikel lainnya yang membahas Kemukjizatan Al-Qur’an:
Pemaknaan Kemu’jizatan Al-Qur’an yang Proporsional

Contoh lain adalah karya Lane, A Traditional Mu‘tazilate Qur’ān Commentary. Bab II dari karya ini diberi judul olehnya dengan “The History of the Text from 528/1134 to the Present” (Sejarah Teks dari 528/1134 hingga Sekarang) yang di dalamnya dia membicarakan kapan tafsir al-Kasysyāf itu diproduksi, diajarkan, dan diresepsi hingga saat ini (Lane 2006: 48-101).

(2) Sub-Pendekatan Sastrawi (Literary Approach)
Yang dimaksud dengan sub-pendekatan sastrawi (Literary Approach) di sini adalah sub-pendekatan yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan/ kandungan informasi dengan cara memahami simbol-simbol bahasa pada sebuah teks, baik simbol/makna tersebut eksplisit maupun implisit.

Lebih sederhana, kita bisa katakan bahwa sub-pendekatan ini digunakan untuk mendiskusikan dan menganalisis pemikiran/produk penafsiran seorang.

Dalam hal menganalisis produk penafsiran, seseorang bisa menggunakan sudut pandang yang beragam. Jadi, seorang peneliti bisa menganalisisnya dari sudut pandang filosofis, psikologis, sosiologis, politik, linguistik, feminis, dan lain-lain, atau gabungan dari beberapa sudut pandang. Semua ini tergantung pada pokok masalah yang ingin dijawab dalam penelitian.

Agar hal ini bisa dipahami lebih jelas, penulis mengambil contoh-contoh berikut ini. Tariq Jaffer melakukan penelitian tentang tafsir Fakhr ad-Dīn ar- Rāzī terhadap dua istilah penting dalam Al-Qur’an, yakni nafs (soul; jiwa) dan rūḥ (spirit; ruh).

Dalam pengantar artikelnya “Fakhr al-Dīn al-Rāzī on the Soul (al-nafs) and Spirit (al-rūḥ)” Jaffer mengatakan, sebagai berikut:

My interes here is in both showing that al-Razi supplements traditional dan lexical practices of exegesis with theoretical considerations, dan describing how he extends the scope of scriptural commentary to include disputed questions on the soul that developed in falsafa dan kalām in the third/ninth to sixth/twelfth centuries ( Jaffer 2014: 93).

(Ketertarikan saya adalah menunjukkan bahwa al-Rāzī memberikan suplemen/tambahan keterangan terhadap praktik penafsiran tradisional-leksikal dengan pemikiran/pandangan teoretis, dan juga mendeskripsikan bagaimana dia memperluas sekop/jangkauan penafsiran kitab suci dengan memasukkan permasalahan-permasalahan yang diperdebatkan tentang soul (jiwa) yang berkembang di Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam dari abad ke-3 H/9 M hingga abad ke-6 H/12 M)

Dari kutipan di atas, dapatlah kita ketahui bahwa Jaffer menggunakan pendekatan interpretatif dengan sub-pendekatan sastrawi yang ditopang oleh tinjauan filosofis dan kalam.

Dia menjelaskan bahwa al-Rāzī menggunakan teori-teori filosofis dan kalam dalam memberikan penafsiran terhadap dua kata tersebut (nafs dan rūḥ). Selain itu, dia juga menjelaskan bagaimana hubungan antara tafsir ar-Rāzī dan perkembangan ilmu terkait dengan dua istilah tersebut selama tiga abad (abad ke-3 H/9 M sampai dengan abad ke-6 H/12 M). Terkait dengan yang terakhir ini, Jaffer menggunakan sub-pendekatan historis.

II. Model-Model Analisis dalam Penelitian Studi Al-Qur’an dan Literatur Tafsir/Ilmu Tafsir

Penentuan bentuk-bentuk analisis data tergantung pada tiga hal yang telah dibahas sebelumnya: pokok masalah, tujuan dan metode penelitian.

Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian seorang peneliti literature tafsir/ilmu tafsir adalah validitas dan rasionalitas sebuah analisis yang akan digunakan. Selain itu, kedalaman analisi jelas sangat diharapkan.

Catatan penting lainnya adalah bahwa kemampuan analitik seorang peneliti juga sangat ditentukan oleh kedalamaannya dalam memahami berbagai jenis pendekatan dan teori analisis.

Secara umum ada tiga model analisis yang bisa digunakan dengan berbagai jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian litetatur tafsir/ilmu tafsir:

A. Analisis Deskriptif (Descriptive Analysis)

Analisis deskriptif ialah pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks tafsir.
Pemaparan atau deskripsi ini bisa dilakukan dengan cara mengambil kutipan langsung dari teks atau tidak langsung dengan cara memparafrasekannya dengan bahasa peneliti.

Kutipan-kutipan langsung sebaiknya diberi komentar oleh peneliti, sehingga pembaca dapat mengerti poin-poin yang relevan dari teks tafsir yang sedang diteliti itu.

Analisis deskriptif dengan parafrase merupakan cerminan dari pemahaman peneliti terhadap teks yang bersangkutan. Analisis ini digunakan dalam semua penelitian tafsir tanpa memandang metode dan pendekatan yang diaplikasikan terhadapnya.

Secara praktis, analisis ini berupaya meng-infer (menyimpulkan) makna sebuah teks. Misalnya, Mustansir Mir di bagian awal artikelnya yang berjudul “The Sura as a Unity” menyebutkan secara deskriptif konsep-konsep “koherensi surah dalam Al-Qur’an” menurut enam mufasir modern (Ṡanavi, Sayyid Quṭb, Darwazah (Daruzah), Ṭabaṭaba’i, Farahi, dan Iṣlahi) dengan tanpa memberikan analisis yang lebih mendalam (Mir 1993: 212-217).

B. Analisis Eksplanatori (Explanatory Analysis)

Analisis  eksplanatori  ialah  suatu  analisis  yang  berfungsi  memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekadar mendeskripsikan atau memaparkan kandungan/makna teks tafsir.

Analisis ini memberi pemahaman mengenai mengapa dan bagaimana sebuah fakta (baca: penafsiran) itu muncul. Analisis ini juga mencari jawaban atas sebab-sebab apa yang melatarbelakangi sebuah penafsiran (Van Laer 1995: 117).

Terkait dengan bagaimana seorang peneliti melakukan analisis eksplanatori, hal ini tergantung pada pokok-pokok masalah penelitian. Dengan demikian, analisis  eksplanatori  terkait  erat  dengan  pendekatan-pendekatan  yang telah dipaparkan di atas.

Baca juga: Filosofi Perdebatan Para Mufassir

Analisis eksplanatori tentunya banyak variasinya sebanyak ragam/variasi sub-pendekatan dan tinjauan/perspektif yang ada. Beberapa analisis yang biasa digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

(1) Analisis Komparatif

Penggunaan pendekatan komparatif bertujuan untuk memberikan penjelasan dengan membandingkan satu data tafsir dengan data tafsir yang lain.

Salah satu contoh pendekatan komparatif ini bisa dilihat dalam bagian akhir dari artikel yang ditulis Mir di atas, “The Sure as Unity”. Penggunaan analisis ini terlihat dari cara Mir mengemukakan perbandingan antara konsep “keherensi surah” menurut para mufassir modern yang menjadi obyek kajiannya dan konsep munâsabat al-âyat (keserasian ayat) dalam pandangan ulama-ulama klasik.

Dalam hal ini, Mir mengatakan: “Secara umum, seseorang dapat mengatakan bahwa pendekatan penulis-penulis tradisional (baca: klasik) ialah ‘linear-atomistik’, sementara pendekatan penulis-penulis modern ialah organi-holistik” (Shareef (ed.), 1993: 212-17).

Contoh lain adalah artikel Kamran Bashir “Revisiting Modern Naẓm Approaches to the Qur’an: Iṣlāḥī’s Interpretation of Q. 107 and Q. 108 in his Tadabbur-i Qurʾān” (Bashir 2015: 47-74). Dalam artikel ini dia membahas metode penafsiran Iṣlāḥī yang didasarkan pada ide bahwa sebuah surah itu merupakan satu kesatuan utuh yang memiliki tema sentral (‘amūd) dan bahkan dimungkinkan dua surah atau lebih memiliki ‘amūd yang sama.

Dia juga membahas bagaimana metode tersebut diaplikasikan oleh Iṣlāḥī terhadap surah al-Mā‘ūn/107 dan al-Kauṡar/108.

Di sela-sela mendeskripsikan metode dan praktik penafsiran Iṣlāḥī, Kamran Bashir melakukan analisis komparatif, yakni membandingkannya dengan penafsiran-penafsiran klasik, khususnya Muḥammad ibn Jarīr aṭ-Ṭabarī, az-Zamakhsyarī, dan Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī. Analisis komparatif ini dilakukannya untuk mengemukakan sisi-sisi yang spesifik penafsiran Iṣlāḥī.

Dalam hal ini, dia mengatakan, sebagai berikut:

In terms of methodology, the present study draws upon the exegetical works of al-Ṭabarī, al-Zamakhsharī, and al-Razi for comparison, and this is mainly due to the acknowledgement that Iṣlāḥī shows to these works. However, in order to make it a more focused study, al-Ṭabarī’s exegesis will be taken as the focal point of the classical exegesis, and the other two exegetes are consulted primarily so as to bring further perspectives into discussion (Bashir 2015: 52-53).

(Terkait dengan metodologi [penulisan], kajian ini menampilkan [juga] karya-karya tafsir aṭ-Ṭabarī, az-Zamakhsyarī, dan ar-Rāzī untuk dibandingkan (dikomparasikan), dan hal ini terutama karena Iṣlāḥī memperlihatkan pengakuannya terhadap karya-karya tafsir tersebut. Namun demikian, agar kajian ini lebih fokus, maka tafsir at-Ṭabarī akan diambil sebaik yang inti [komparasi] dari tafsir-tafsir klasik itu, sedangkan dua penafsir lainnya dikemukakan utamanya untuk membawa perspektif-perspektif lanjutan).

(2) Analisis dengan perspektif teori sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge)

Teori sociology of knowledge, antara lain, mengakui adanya pengaruh nilai-nilai societal terhadap semua persepsi tentang realitas.

Teori ini pun mengatakan bahwa tidak ada praktik penafsiran (act of coming-to-understanding) dapat terhindar dari kekuatan formatif latarbelakang (background) dan komunitas paradigma yang dianut oleh seorang penafsir (Osborne, 1991: 401).

Melalui pendekatan ini, seorang peneliti literatur tafsir /ilmu tafsir mengemukakan analisis eksplanatori.

Hal ini misalnya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Abdulkader Toyab dalam dalam artikelnya yang berjudul “An Analytical Survey of al-Tabari’s Exegesis of the Cultural Symbolic construct of Fitna” yang membahas penafsiran a-Thabari terhadap kata fitnah dalam Al-Qur’an.

Dalam analisisnya, Toyab mengatakan:

He Ventured the unity of the umma against militant shi’i groups in Tabaristan and territorial Tulunid secessionist in Egypt. The political role of al-Tabari in Bagdad may be detected in his understanding of fitna in the exegesis –Dia (al-Tabari) berupaya untuk melakukan persatuan umat melawan kelompok-kelompok milisi Syiah di Tabaristan dan separatis Tulunid di Mesir. Peran politik al-Tabari di Bagdad dapat dideteksi dalam pemahamannya tentang (konsep) fitnah dalam penafsirannya–” (Shareef (ed.), 1993: 160)

Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa Toyab menganalisis penafsiran aṭ-Ṭabarī dengan tinjauan politik.

Analisis sociology of knowledge dengan pandangan politik bisa dilihat juga dalam artikel Michael Pregill “Measure for Measure: Prophetic History, Qur’anic Exegesis, and Anti-Sunnī Polemic in a Fāṭimid Propaganda Work (BL Or. 8419)” (Pregill 2014: 20-57).

Penulis ini mengkaji literatur/teks Syiah (yang masih dalam bentuk manuskrip dengan kode BL Or. 8419) tentang kisah para nabi sebelum Islam dan kisah Nabi Muhammad serta umat Islam  awal.  Literatur  ini  dipandangnya  sebagai  bentuk  ta’wīl  terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, bukan sebagai literatur sejarah.

Selain itu, pernyataan- pernyataan dalam literatur tersebut dianalisi olehnya dengan pandangan politik. Dia mengatakan,

Finally, I will attempt to locate this unique text in its political and religious context in early Fāṭimid history on the basis of its coded allusions to the emergence of the reign of the Mahdī in North Africa in fulfilment of purported prophecies about the ‘rising of the sun in the west’ (Pregill 2014: 24).

(Terakhir, saya akan berusaha menempatkan teks yang unik ini pada konteks politik dan agama dalam sejarah awal Dinasti Fatimiah, berdasarkan pada kiasan-kiasannya yang menunjukkan pada kemunculan al-Mahdī di Afrika Utara dalam melengkapi ramalan-ramalan tentang ‘terbitnya matahari di Barat’)

Perspektif politik ini dapat dilihat dalam analisis Michael Pregill yang mengatakan bahwa literatur Syiah tersebut dalam menceritakan keadaan dan situasi umat Islam awal setelah wafatnya Rasulullah mengaitkannya dengan surah Āli ‘Imrān/3: 144.

Menurut Pregill, penyusun teks literatur Syiah ini – berbeda dengan penilaian Sunni, menyatakan bahwa setelah Rasulullah wafat, situasi dan keadaan umat Islam di bawah ketiga khalifah, yakni Abū Bakr, ‘Umar, dan Uṡman, sangat buruk karena kekhalifahan mestinya dipegang langsung oleh ‘Ali ibn Abī Ṭālib.

Hal yang semacam itu dipandang oleh Pregill sebagai tafsir sejarah yang mengandung bias politik untuk kepentingan Syiah. Contoh-contoh pernyataan semacam itu dikemukakan dalam artikelnya secara komprehensif.

Berdasarkan hal itu semua, Pregill lalu menyimpulkan, berikut ini:

Overall, the now-anonymous text represented in Or. 8419 is distinguished by its use of a highly politicised exegesis of passages from the Qur’an in its single- minded pursuit of the argument that Sunnīs have gone astray just as Israel went astray before them. Nevertheless, as previously noted, both the text’s contents and approach show many points of overlap with other extant works and traditions from both the Twelver Shīʿī and Ismāʿīlī communities, though the particular exegetical style used by the author is much more similar to Ismāʿīlī taʾwīl than to Sunnī or Twelver tafsīr (Pregill 2014: 43).

(Secara umum, teks yang saat ini anonim [tidak disebut nama pengarangnya] yang dituangkan pada Or. 8419 itu bercirikan dengan penggunaan penafsiran yang sangat dipolitisir terhadap bagian-bagian/ayat-ayat Al-Qur’an dalam pencarian argumen yang single-minded [sepihak] bahwa kaum Sunni itu tersesat sebagaimana Bani Israel sebelum mereka. Namun, sebagaimana telah dicatat, baik isi maupun pendekatan teks menunjukkan banyak poin yang sama dengan karya-karya dan tradisi-tradisi dari umat Syiah Dua Belas dan Ismā‘īlī, meskipun gaya penafsiran tertentu yang digunakan oleh pengarang lebih banyak menyerupai takwil Syiah Ismā‘īliyah daripada tafsir Sunni atau Syiah Dua Belas).

(3) Analisis dengan pendekatan teori sastra dan hermeneutika modern 

Tidak jarang bahwa “pembaca-pembaca” atau penafsir Al-Qur’an kontemporer dalam beberapa segi terpengaruh, atau paling singkron dengan teori-teori penafsiran yang berkembang di Barat.

Sudah barang tentu, dalam kasus ini analisis peneliti belum mencukupi kecuali dengan menghubungkan teori interpretatif dari seorang mufassir dengan teori hermeneutika Barat.

Bint al-Syathi’, misalnya, memiliki kesamaan dalam hal “perlunya kembali ke makna asal teks Al-Qur’an (yakni pada masa Nabi)” dengan teori Emilio Betti dan Hirsch tentang “the original meaning (makna asal) atau the intended meaning (makna yang dimaksud).

Demikian pula M. Shahrur yang juga banyak terpengaruh oleh teori strukturalisnya F. de Sausurre dan Edward Sapir. Demikian pula, Farid Essack yang terpengaruh oleh hermeneutika pembebasan/liberation hermeneutic. (Baca selengkapnya tentang Tafsir Pembebasan Farid Esack di sini!)

Contoh penelitian lain yang menggunakan perspektif hermeneutika modern adalah penelitian Ulrika Martensson (2009: 20-48) yang berjudul “Through the Lens of Modern Hermeneutics: Authorial Intention in al-Ṭabarī’s and al-Ghazālī’s Interpretation of Q. 24:35.”

Dalam penelitian ini Martensson  memaparkan  dan  menganalisis  penafsiran  kedua  penafsir tersebut  dengan  perspektif   hermeneutika  modern,  khususnya  yang dikembangkan  oleh  Hans-Georg  Gadamer  dan  E.D.  Hirsch.

Pada  bagian pendahuluan artikelnya, peneliti ini mengatakan, sebagai berikut:

The  objective  is  twofold:  firstly,  to  compare  al-Ṭabarī’s  and  al-Ghazalī’s hermeneutics with the modern debate over ‘authorial intention’, and secondly, to explore anew the meaning of  the term ‘ta’wīl which, according to Martin Wittingham in his recent study of al-Ghazālī’s hermeneutics, is subject to debate (Martensson 2009: 21).

(Tujuan artikel ini ada dua: pertama, membandingkan hermeneutika aṭ- Ṭabarī dan al-Ghazālī dengan perdebatan modern tentang ‘maksud pengarang’, dan kedua, mengeksplorasi lagi makna istilah ta’wīl yang menurut Martin Wittingham dalam penelitiannya terbaru tentang hermenutika al-Gazālī itu masih diperdebatkan).

Setelah mengkaji, mendeskripsikan, dan menganalisis data-data dari teks tafsir aṭ-Ṭabarī’ dan al-Gazālī, peneliti menyimpulkan sebagai berikut:

It is concluded here that the hermeneutics dan metods of both al-Ṭabarī’s dan al-Ghazālī are grounded in empiricist epistemology, and that they both defined the aim of Qur’an interpretation as ‘God’s intended meaning’. This brings them in line with the contemporary literary critic E.D. Hirsch, Jr and his ‘defence of the author’ against the idealist hermeneutics of Hans-Georg Gadamer (Martensson 2009: 41).

(Di sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika dan metode penafsiran aṭ- Ṭabarī’ dan al-Gazālī itu didasarkan pada epistemologi empiris, dan bahwa mereka mendefinisikan tujuan penafsiran Al-Qur’an sebagai ‘makna yang dimaksudkan oleh Tuhan’. Hal ini membawa mereka seiring/sama dengan contemporary literary critic (pengkritik sastra kontemporer) E.D. Hirsch, Jr, dan ‘pembelaannya terhadap pengarang’ melawan hermeneutika idealis Hans-Georg Gadamer).

Apa yang sudah dikemukakan di atas hanyalah beberapa contoh semata tentang bagaimana seseorang melakukan analisis terhadap teks tafsir dengan menggunakan perspektif teori hermeneutika tentang “original meaning” dan “authorial intention”.

Selain teori ini masih banyak lagi teori-teori hermeneutik yang bisa digunakan untuk menganalisis, yang akan diterangkan pada kesempatan yang lain.

(4) Analisis dengan perspektif filosofis

Salah satu penelitian yang menggunakan analisis ini adalah yang dilakukan oleh Thariq Jaffer dalam artikelnya yang berjudul . “Fakhr al-Dīn al-Rāzī on the Soul (al-nafs) dan Spirit (al-rūḥ): An Investigation into the Eclectic Ideas of Mafātīḥ al-Ghayb.”

Jaffer menganalisis penafsiran ar-Rāzī terhadap kata nafs dan rūḥ, dalam arti peneliti ini menjelaskan sejauhmana ar-Rāzī melibatkan dan mendiskusikan pandangan-pandangan para filosof dan ahli kalam dalam proses penafsirannya terhadap kedua istilah tersebut.

Pembahasan filosofis ar-Rāzī yang panjang lebar itu diringkas oleh peneliti ini dengan sangat baik. Melihat hal ini, Jaffer memberikan komentar berikut ini:

It is al-Rāzīs view that scripture poses philosophical questions. It is also his view that the answers to these questions are embedded in scripture. On many occasions al-Rāzī implies that scripture possesses a philosophical undersense which cannot be reached using the methods of lexical, historical, and traditional exegesis. Indeed, this hidden sense can be attained only by, first, discerning the philosophical question that it poses, and, second, interpreting key Quranic terms and expressions using philosophical concepts and principles ( Jaffer 2014: 98).

(Ar-Rāzī berpandangan bahwa kitab suci mengemukakan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Dia juga berpandangan bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terkandung dalam kitab suci. Dalam banyak kesempatan ar-Rāzī menyatakan bahwa kitab suci memiliki makna filosofis yang tersembunyi (philosophical undersense) yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan metode-metode penafsiran leksikal, historis, dan tradisional. Makna yang tersimpan ini sesungguhnya hanya dapat digapai, pertama, dengan, menyingkap pertanyaan filosofis yang dikemukakannya, dan, kedua, dengan menafsirkan terma-terma kunci dan ekspresi-ekspresi Qur’anik dengan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep filosofis).

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa menurut Jaffer, ar-Rāzī berkeyakinan bahwa beberapa istilah dalam Al-Qur’an itu mengandung makna filosofis yang hanya bisa ditangkap dengan menggunakan pendekatan filosofis.

(5) Analisis dengan perspektif feminis

Perspektif feminis digunakan, misalnya, oleh Karen Bauer dalam artikelnya “Spiritual Hierarchy and Gender Hierarchy in Fāṭimid Ismā‘ilī Interpretations of the Qur’an”.

Bauer mengkaji tiga penafsir Al-Qur’an yang beraliran Syiah Ismā‘ilī, yakni al-Qāḍī Nu‘mān (w. 362/974), Ja‘far ibn Manṣūr (w. 380/990) dan al-Mu’ayyad asy-Syīrāzī (w. 470/1078).

Dia mendeskripsikan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan wanita, seperti ayat-ayat tentang kisah Nabi Adam dengan Hawa dan kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha.

Berdasarkan data-data teks tafsir mereka, Bauer berkesimpulan bahwa para penafsir tersebut tidak memahami ayat-ayat tersebut secara lahiriah/literal (ẓāhir), melainkan menjelaskannya secara batiniah.

Makna lahir dari ayat-ayat tersebut berimplikasi pada ‘gender hierarchy’ (hirarki fisik laki-laki dan perempuan), sedangkan makna batin dari ayat-ayat tersebut itu menunjukkan pada ‘spiritual hierarchy’ (hirarki spiritual), di mana tingkatan spiritualitas itu bisa didapatkan, baik oleh laki-laki atau perempuan secara sama (Bauer 2012: 29-46).

Jelaslah di sini bahwa Bauer menganalisis penafsiran mereka dengan perspektif kesetaraan jender, meskipun dilakukannya secara implisit.

Perspektif feminisme juga digunakan oleh Roxanne D. Marcotte (Marcotte 2008) dalam artikelnya “The Qur’ān in Egypt I: Bint al-Shāṭi’ on Women’s Emancipation”. Di sini Marcotte membahas penafsiran Bint asy-Syāṭi’ terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan.

Menurutnya, Bint asy-Syāṭi’ menawarkan penafsiran-penafsiran baru yang lebih menekankan pada kesetaraan gender dan emansipasi kaum wanita dalam kehidupan. Dia juga berpandangan bahwa kemanusiaan (humanity) dan kemampuan/kapasitas intelektual (intellective capacities) dimiliki oleh laki-laki dan perempuan secara sama.

Meskipun demikian, ditinjau dari teori feminisme, pandangan Bint al-Syāṭi’ agak membingungkan, karena dia masih memandang bahwa kaum lelaki itu qawwāmūn (being in charge; memiliki otoritas lebih tinggi) atas kaum wanita.

Baca juga: Laki-laki Itu Pemimpin Bagi Perempuan: Al-Quran Jangan Dibantah!

C. Analisis Kritis (Critical Analysis)

Analisis kritis ialah suatu analisis yang berisi kritikan terhadap penafsiran dan atau metodologi penafsiran seorang mufassir. Analisis ini menempati level tertinggi dalam sebuah penelitian literature tafsir.

Penelitian yang menggunakan analisis ini terlebih dahulu harus memahami maksud sebuah teks dan harus mempunyai perangkat metodologis untuk melakukan kritik.

Secara umum, analisis kritis ini adakalanya berbentuk “kritik intern/internal” dan adakalanya bersifat “kritik ekstern/eksternal”.

Pertama, Kritik Internal ialah analisis kritis terhadap suatu teks tafsir dengan menggunakan perangkat metodologis yang sama dengan apa yang digunakan oleh mufassir yang sedang diteliti.

Salah satu contoh analisis kritis ini bisa dilihat di salah satu penelitian penulis dalam buku Tafsir Studies ketika meneliti konsistensi Bint al-Syathi’ dalam menerapkan teori munasabat al-ayat dalam penafsirannya.

Dalam hal ini, penulis mendapati adanya kesenjangan anatara teori dan aplikasi yang dilakukan oleh Bint al-Syathi’.

Di satu sisi, Bint al-Syathi’ menyusun teori bahwa munasabah itu tidak didasarkan pada urutan ayat/surah dalam mushaf Al-Qur’an (mushafi-oriented munasabah), tetapi didasarkan pada kronologi turunnya ayat/surah.

Namun di sisi lain, penulis justru menemukan bahwa Bint al-Syathi’ justru tidak konsisten menerapkan teorinya saat beliau menghubungkan (me-munasabah-kan) surah al-Qalam ayat ke-33 yang diturunkan di Madinah dengan ayat 34-39 yang diturunkan pada periode Makkah awal.

Dalam konteks ini lah penulis melakukan analisis kritis (kritik internal) karena Bint al-Syathi’ bearti meyalahi teori yang dibangunnya sendiri (Sahiron, 1998: 70).

Kedua, kritik ekternal ialah analisis yang menggunakan perangkat metodologis yang berbeda atau berdasarkan sudut pandang berbeda dengan mufassir yang diteliti.

Sulaym al-Jabi, misalnya, dalam bukunya Mujarrad Tanjim mengupas dan mengkritik “mati-matian” pemikiran M. Shahrur yang dekonstruktif dan rekonstruktif tentang konsep-konsep Al-Qur’an seraya mengatakan bahwa pandangan-pandangannya telah keluar dari metode dan tradisi pemikiran yang diwariskan ulama-ulama terdahulu.

Kritikan al-Jabi ini dipandang sebagi kritik eksternal, karena kerangkan metodologisnya berbeda dengan yang digunakan oleh M. Shahrur. Shahrur berpandangan perlunya keluar dari tradisi lama dalam mengembangkan keilmuan Al-Qur’an, sementara al-Jabi mempertahankan keharusan dan melestraikannya.

Baca juga: Tradisi dan Modernitas, Keniscayaan Sekaligus Tantangan dalam Dunia Tafsir

Subuah Refleksi

Dari pembahasan di atas juga pembahasan pada artikel sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penelitian literatur tafsir/ilmu tafsir pada masa sekarang sengat bervariasi baik dalam hal pokk masalah, metode-metode maupun jenis analisisnya.

Jelas bahwa penelitian dalam bidang ini memerlukan, tidak hanya ‘ilmu-ilmu keislaman’, tetapi juga teori-teori kontemporer (seperti, antropologi, sosiologi, sastra, filsafat ilmu, hermeneutika, dsb.)

Hal- hal yang disebutkan di dalam artikel ini tentunya hanya contoh pendekatan dan analisis yang telah dan sedang digunakan oleh para peneliti di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Masih banyak lagi model pendekatan dan analisis lain.

Karena itu, harapan penulis ialah bahwa peneliti dalam bidang tafsir sebaiknya mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu-ilmu bantu tersebut, sehingga penelitian akan jauh lebih berkembang dan bervariasi. []

*Tulisan ini disadur dari pengantar buku penulis yang berjudul “Tafsir Studies”, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009) dan juga tulisan penulis yang diterbitkan di Jurnal Suhuf, Volume 12, Nomor 1, Juni 2019.

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 share, 1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
13
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
4
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Prof. Dr. Phil. Sahiron MA.
Dr. Phil. Sahiron, MA. merupakan Plt. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau juga merupakan pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Krapyak.
Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals