Terapi Diam

Terapi diam mengajarkan ruhani untuk berpikir secara jernih dan mengalokasikan energi lisan yang kita punya pada domain yang lebih meaningfull.2 min


mudanews.com

Siapa yang tak kenal dengan seorang manusia saleh bernama Luqman al-Hakim. Namanya diabadikan menjadi salah satu nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Beberapa ayat yang ada di dalamnya mendeskripsikan bagaimana sosok figur manusia shalih bijaksana ini. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Al-Qur’an al-‘Azhim memaparkan bahwa para salaf al-shalih memiliki dua pandangan padanya. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang Nabi dan ada lagi yang mengatakan bahwa Luqman adalah seorang hamba Allah SWT yang saleh yang beroleh hikmah kebijaksanaan dari-Nya.

Ada satu kisah yang cukup menarik dari sosok Habsyi bani Najjar ini. Kala popularitasnya memenuhi wajah langit dan terdengar ke telinga-telinga masyarakat luas oleh sebab kebijaksanaannya, ada salah seorang penggembala yang memiliki rasa penasaran untuk bertemu dengannya. Kepada Luqman sang penggembala menanyakan perihal bagaimana cara Luqman mampu sampai pada titik popularitas yang tinggi, prestise yang sangat baik di masyarakat serta kemuliaan religi yang tak kalah bagusnya.

Di hadapan sang penggembala Luqman menyampaikan bahwa ada dua hal yang membuatnya sampai pada derajat-derajat yang demikian. Sambil melanjutkan nasihatnya Luqman mengatakan bahwa kedua hal itu semuanya berhubungan dengan lisan. Pertama lisan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt itu ia gunakan untuk berkata jujur. Kedua lisan yang ia punya didiamkan saat dalam perbincangan yang tidak bermanfaat.

Dalam suasana interaksi sosial zaman kiwari yang sangat dinamis, kita kerap tertuntut untuk berucap secara bijak. Ada situasi yang membuat kita berpikir ulang adakah rangkaian kata dan kalimat yang keluar dari lisan itu mengentaskan masalah atau justru memperpanjang masalah. Adakah ucapan yang kita produksi itu menyejuk damaikan suasana atau justru malah memperkeruh keadaan.

Di samping itu, pengalaman sosial yang kita punya bisa jadi pernah mempertemukan kita pada sosok orang yang dalam dialektikanya semaunya sendiri. Sulit membuka ruang untuk pemikiran kita yang bisa jadi berseberangan dengannya sehingga sebanyak apapun kata yang kita ucapkan padanya, alih-alih didiskusikan dengan bijak justru dianggap angin lalu membuat dia tak bergeming bahkan bisa sampai berbalik membenci kita. Meskipun buah lisan yang hendak disampaikan adalah hal yang konstruktif sekalipun.

Suasana yang cukup menggerahkan ini kerap dijumpai pula dalam konstelasi perbincangan di dunia maya. Hadirnya berbagai platform media sosial membuat penggunanya begitu mudah mengirim buah lisan. Baik itu yang hanya sekelebat terpikir atau yang melalui proses pemikiran panjang. Dari untaian diksi yang sangat halus sampai kata-kata kotor berisi sumpah serapah dan caci maki yang dalam dunia sosial bermasyarakat nyata belum tentu ia berani ucapkan.

Fenomena yang demikian menggiring memori kita pada satu ajaran Nabi saw untuk senantiasa berucap yang baik atau lebih baik diam. Pada dasarnya semua anggota badan yang dipunyai seseorang ditujukan untuk melakukan berbagai aktifitas penghambaan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Swt telah menjelaskan tujuan dari penciptaan kita di awal.

Dalam kurva yang positif, Ada banyak ragam ibadah qouliyah seperti dzikir, doa, membaca Al-Qur’an bahkan beberapa bagian ada pula dalam ritual salat. Level di bawah itu adalah bertutur kata dengan memakai bahasa-bahasa yang baik pada sesama. Bila yang terakhir ini tidak memungkinkan maka penting bagi kita mengaktifkan terapi diam.

Hal yang perlu diwaspadai adalah Jangan sampai kita bergerak pada kawasan kurva lisan yang negatif. Menggunakan energinya untuk mengumpat memaki orang lain. Sehingga ujungnya jatuh pada kubangan maksiat lisan.

Selain ada referensi naqli dari Nabi, terapi diam disuarakan pula oleh para ulama tasawuf. Imam Abdul Wahab al-Sya’rani dalam kitab al-Minah as-Saniyyah mejelaskan bahwa salah satu ajaran sufi besar Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuli adalah diam. Bahkan Imam al-Sya’rani menerapkan standar yang cukup tinggi di mana beliau mengatakan bahwa boleh berbicara dalam hal-hal yang darurat dan diperbolehkan syariat saja.

Syaikh Fudhail sebagaimana masih dikutip oleh Imam al-Sya’rani mengatakan bahwa bila saja seorang hamba mengkalkulasi ucapannya sebagai bagian dari amalnya di dunia maka dia akan menyedikitkan ucapan-ucapannya. Mengapa demikian?. Sebab bisa jadi sampai saat ini di antara kita masih banyak yang lebih asyik ngomongin ibadah daripada menjalankan apa yang diomongkan itu dengan istiqomah.

Terapi diam yang disertai aktifitas tafakur, dapat menjadi salah satu cara bagi seorang hamba untuk menyerap energi-energi kebijaksanaan. Hal ini sebagaimana yang diketengahkan juga oleh Imam as-Sya’rani dari Syaikh Fudhail.

Dalam terapi diam, kita bukan diajarkan untuk menjadi seorang yang pasif dan apatis. Sebaliknya terapi ini mengajarkan ruhani untuk berpikir secara jernih dan mengalokasikan energi lisan yang kita punya pada domain yang lebih meaningfull. Harapannya dengan begitu kita mampu sampai pada laku yang telah diajarkan oleh Luqman al-Hakim dengan kalam-kalam bijak dan lebat ranum kemuliaannya.


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Cecep Jaenudin
Cecep Jaenudin lahir di Majalengka, 2 Juli 1993. menyelesaikan studi magister pendidikan bahasa arab di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Anggota di GESTURE (Global Institute for Humanity and Culture). Saat ini aktif menimba sekaligus menyemai pengetahuan di Al-Azhar Yogyakarta.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals