Munculnya gerakan intoleransi, radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrimisme di Indonesia adalah implikasi dari kegagalan menginterpretasi dan merevolusi teologi Islam klasik. Kedengarannya memang sangat ngeri, sebuah gerakan yang nampak ke permukaan atas nama agama. mereka seenaknya melakukan tindakan yang sangat jauh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Anggapan terhadap kegagalan umat Islam dalam merevolusi perspektif mereka terhadap teologi Islam Klasik sehingga memicu munculnya gerakan intoleransi, radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrimisme di Indonesia bukan untuk menyudutkan Islam sebagai agama radikal. Namun Islam yang dimaksud di sini adalah titik tekannya kepada penganutnya.
Sebagaimana yang kita saksikan baik di media sosial, media cetak maupun media elektronik, bahwa pelaku intoleransi, radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrimisme kebanyakan adalah penganut agama Islam. Fakta ini sudah menjadi rahasia umum masyarakat Indonesia.
Sebagaimana kata Haidar Baghir, “berbeda antara Islam Tuhan dan Islam Kita”. Pandangan ini cukup sederhana, paling tidak mendeskripsikan kepada kita bahwa Islam yang kita pahami semaksimal mungkin mendekati Islam yang Tuhan maksud. Pandangan ini juga mengafirmasi bahwa tindak intoleransi, radikalisme, terorisme dan kekerasan ekstrimisme adalah implikasi dari cara pandang kita.
Kita tahu bahwa populasi penganut Islam di Indonesia jauh dominan dibanding dengan penganut agama dan penghayat kepercayaan yang lain. Tentu fakta tersebut juga dapat sebagai acuan bahwa di mana-mana mayoritas selalu determinan terhadap minoritas. Apalagi melihat setting sosial kita yang sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik.
Jika berkaca pada setting sosial India pra politik fragmentasi yang membagi India menjadi komunitas Muslim dan komunitas Hindu, maka setting sosial kita kurang lebih sama, perbedaannya hanya pada komunitas Muslim Indonesia lebih dominan. Setting sosial seperti ini dapat memunculkan sikap saling curiga dan kesalahpahaman antara beberapa penganut kepercayaan yang ada di Indonesia.
Sebagian penganut keyakinan minoritas dapat beranggapan bahwa dengan dominasi umat Islam, dapat mengeksploitasi dan merendahkan mereka. Sebaliknya, penganut agama Islam beranggapan bahwa pihak-pihak dari penganut agama lain tengah mencari momentum dan cara untuk kembali meneguhkan eksistensi mereka di negeri ini.
Peristiwa seperti ini dapat kita amati pada akhir tahun 2016 sampai pengadilan memutuskan bersalah pada kasus penistaan agama Islam oleh Gubernur Jakarta yang kita kenal dengan nama Ahok. Peristiwa ini memicu demonstrasi dan aksi yang berjilid-jilid sehingga melahirkan alumni Monas 212.
Peristiwa ini adalah bukti kegagalan sebagian umat Islam merevolusi teologi Islam klasik dan bukti bahwa agama dapat dijadikan alat demi kepentingan politik meskipun dengan catatan tidak semua yang ikut atas dasar kepentingan politis.
Sebagian penganut agama Islam di Indonesia menganggap teologi hanya diaplikasikan pada ranah metafisik. Sehingga sama sekali tidak menyentuh sisi subtansi keadilan, kedamaian, kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Bahkan parahnya lagi justru menjadikan teologi sebagai jalan bagi halalnya radikalisme dan penindasan atas nama agama.
Karena Teologi hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis.
Teologi semacam ini ketika tidak direvolusi menjadi teologi yang praksis maka akan melahirkan pesimisme, frustrasi dan lemah keyakinan sehingga apa saja yang mengganggu keyakinannya, maka jalan pintas jihad ekstrimis sebagai solusinya.
Maka dari itu, teologi Islam klasik yang dipahami selama ini harus ditransformasikan menjadi teologi yang membebaskan. Teologi yang mampu mengelaborasi wilayah keyakinan dan praksis, iman dan amal dan refleksi dan aksi. Dengan cara seperti ini, sedikit demi sedikit kita akan mewujudkan persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice).
Berdasarkan penjelasan ini kita dapat melihat dua wajah agama yang diinterpretasikan ke dalam dua pemahaman teologis, yaitu teologi Islam klasik dan teologi pembebasan. Teologi Islam klasik melahirkan cara beragama yang stagnan, mandek, pesimis, hanya tempat mengeluh seperti kaum yang tertindas, candu sebagaimana kata Marx, sedangkan teologi pembebasan mampu menjadi senjata yang paling ampuh untuk merevolusi dan melawan kezaliman.
Merevolusi perspektif teologi memberi ruang keyakinan yang lebih maju dan inklusif mengenai pluralitas dan diversitas agama sebagai sebuah keniscayaan.
Pada dasarnya teologi seperti ini sudah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan semangat profetik dan liberatifnya. Berbeda dengan Khilafah Islamiyah yang digaungkan dengan HTI dan gerakan Islam radikal lainnya. Nabi tak berkeinginan membentuk masyarakat dengan penduduk homogen umat Islam saja, tetapi cita-cita beliau yang sebenarnya adalah menghancurkan kezaliman, kesenjangan dan diskriminasi yang ada pada zaman itu.
Pada saat itu Nabi meletakan asas perdamaian suku-suku yang sejak lama berseberangan untuk hidup berdampingan dan dalam sistem politik, Nabi meletakkan proses-proses demokrasi dengan mengedepankan asas musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Melihat reaitas sosial kita saat ini memang layak bagi umat Islam untuk kembali melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang pro dengan paham radikalisme dan tindakan kekerasan atas nama agama yang telah diselewengkan oleh segelintir orang demi melanggengkan tindakan radikalisme dan semacamnya.
Merelevansikan ayat-ayat yang terkesan menindas dan merusak keragaman dengan konteks masyarakat kita. Menjadikan pemahaman terhadapa al-Qur’an dengan lebih fleksibel sebagai landasan perubahan yang kreatif dan konstruktif. Pembacaan ulang ini harus didasari pada nilai universal yakni keadilan (‘adl), kebenaran (ihsan), nalar (‘aql), dan kearifan (hikmah).
Dengan konstruksi pemahaman seperti ini, dapat kita aplikasikan pada aspek keberagaman kita. Misalnya tauhid yang kita pahami selama ini hanya sebatas pengesaan terhadap Allah, maka dengan konstruksi teologi pembebasan juga mengimplikasikan tauhid sebagai kesatuan manusia (unity of mankind).
Tauhid sebagai kesatuan manusia mampu melintasi batas-batas keyakinan, etnis, suku, bangsa dan warna kulit. Tauhid sebagai kesatuan manusia adalah tauhid yang aktif, tidak akan membenarkan radikalisasi, diskriminasi, baik dalam bentuk ras, agama, kasta ataupun kelas sosial. Sebab pembagian kelas, secara tidak langsung akan menegaskan dominasi mayoritas terhadap yang minoritas.
Begitupun dengan kata Imanharus ditafsirkan dengan kontruksi teologi pembebasan. Iman bukan hanya sekedar percaya kepada Allah tapi juga harus dapat dipercaya sebagai subjek yang dapat menciptakan perdamaian dan ketertiban.
Islam sama sekali menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama Islam dan konsepnya jelas “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Konsep ini meneguhkan bahwa kita mengakui keberadaan agama dan keyakinan lain dan meyakini bahwa keberagaman adalah suatu sunnatullah yang telah terjadi dan niscaya dalam masyarakat kita.
Dalam perspektif filsafat wujud dikatakan bahwa, kita adalah sederajat, seirama, setingkat dan satu dalam eksistensi (wujud), namun kita berbeda dalam esensi (mahiyah) dan individu. Mungkin saja sebagian kita menolak pluralisme namun kita tak akan menolak pluralitas kita.
Dengan teologi pembebasan sebagai konstruksi cara pandang dalam melihat realitas kita, kiranya mampu menyatukan dan merajuk perbedaan-perbedaan dan keragaman kita. Bagaikan jarum dan benang dalam konteks menjahit, keduanya memiliki peran yang seimbang dan tidak memiliki kelebihan satupun di antara keduanya dalam merajut kain. Begitupula cita-cita kita sebagai bagian dari keberagaman di Indonesia. Saling memahami satu sama lain dan saling melengkapi.
Semoga Indonesia diberkahi pemimpin yang adil dan mampu menjadi pilar utama dalam upaya merevolusi pemahaman-pemahaman yang dapat melahirkan tindak anarkisme dan lebih memperhatikan ruang-ruang toleransi bagi penganut keyakinan minoritas.
One Comment