Melirik Kembali Nabi Muhammad Sebagai Tokoh Politik dan Modernitas Kenegaraan

Nabi merupakan tokoh modernism, membangun negara dengan asas demokrasi, menanamkan inklusifitas kepada umatnya, dan membangun sebuah ideologi idealis-pluralistik.2 min


Sudah menjadi rahasia umum perpolitikan di Indonesia tidak kondusif dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Berbagai isu politisasi agama selalu menjadi trending topic di media sosial. Para oknum da’i tidak tertinggal untuk nimbrung mengatasnamakan Islam demi kepentingan politik. Hal ini yang menjadikan Indonesia masih tertinggal dengan negara Barat. Entah, siapakah sosok yang menjadi panutan mereka dalam politik?

Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah bukan hanya menjadi tokoh agama pada saat itu. Beliau juga menjadi tokoh sosial, negarawan, dan tokoh politik. Saat ini, umat Islam telah melupakan Nabi Saw sebagai tokoh politik dan negarawan, sehingga mereka lupa akan karakter Nabi Saw yang sesungguhnya ketika melihat perbedaan pada saat itu.

Keputusan hijrah yang dipilih Nabi Saw sudah sepantasnya menjadi tolok ukur dalam berpikir rakyat Indonesia. Melihat Nabi Saw berhijrah bukan hanya semata-mata kepentingan pribadi untuk membangun sebuah negara, akan tetapi Nabi Saw mencari sebuah terobosan untuk melancarkan dakwahnya. Tentu beliau sebelum berangkat ke Madinah, menyurvei beberapa tempat dan akhirnya memutuskan untuk menuju ke Madinah. Dalam hal ini, hijrah bukan berarti jalan keluar utama untuk membangun masyarakat.

Pasca tiba di Madinah, sosok Nabi Saw sebagai negarawan mulai muncul. Beliau mulai merancang sebuah tatanan untuk mengatur kehidupan lebih baik. Hal itu mempertimbangkan pluralitas yang terjadi saat itu, di mana Kaum Yahudi dan Kaum Muslim hidup dalam satu wilayah.

Perjanjian Islam dan Perjanjian dengan Kaum Yahudi merupakan sebuah capaian Nabi Saw. Beliau sebagai tokoh agama lebih memprioritaskan dimensi sosial daripada dimensi individualisme. Meskipun Nabi Saw sebagai tokoh agama, dan tujuan utama beliau adalah menanamkan aqidah Islam di masyarakat, akan tetapi beliau lebih memprioritaskan persatuan masyarakat plural.

Jika ditelisik lebih lanjut, Nabi Saw telah mempraktikkan sistem demokrasi, inklusifitas, dan musyawarah untuk mufakat ketika membangun masyarakat madani.

Perangkulan yang dilakukan Nabi Saw terhadap masyarakat nonmuslim untuk membangun sebuah tatanan negara yang lebih baik, merupakan karakter sosial yang dimiliki Nabi Saw. Beliau mengajak kaum nonmuslim untuk bersama-sama membangun sebuah konstruksi masyarakat yang lebih baik. Karakter Nabi Saw sebagai tokoh politik inilah yang membuat Islam dapat diterima di Madinah. Akan tetapi, saat ini justru ruh karakter tersebut telah dilupakan oleh politisi Indonesia yang mengatasnamakan Islam.

Islam saat ini menjadi sebuah hal yang familiar diteriakkan di jalanan untuk kepentingan politik. Berdalih mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, Islam dijadikan sebuah boneka untuk memenangkan partai yang dibela. Tentu, hal ini sangat tidak mencerminkan esensi Islam yang sesungguhnya, utamanya Nabi Saw sebagai pembawa risalah. Islam menerima sebuah perbedaan dan tidak menyalahkan antara golongan satu dengan yang lainnya. Lagi-lagi umat Islam di Indonesia telah dibutakan oleh kekuasaan.

Tidakkah manusia di bumi ini memiliki derajat yang sama dan hanya sebuah ketaqwaan yang membedakan? Nabi Saw sendiri pun tidak pernah fanatik sebagai penguasa.

Maka dari itu, ayo bersama-sama kita sebagai masyarakat Indonesia yang notabenenya Islam, kembali merefleksikan karakter Nabi Saw sebagai seorang politisi sekaligus negarawan. Tidak mencerca pemerintahan yang sedang berjalan, merangkul berbagai kalangan, mulai dari pejabat hingga rakyat biasa. Sebaik-baiknya kritikan yang ditujukan kepada golongan lain, tidak akan membangun, kecuali dua golongan tersebut bertemu dan merundingkan masa depan negara ini.

Hal tersebut yang dilakukan Nabi Saw pada saat memimpin Madinah, mengedepankan musyawarah, menghargai pluralitas yang terjadi, sehingga Madinah menunjukkan taringnya sebagai peradaban Islam pertama kali sekaligus mengharumkan nama Islam yang sesungguhnya. Penulis berasumsi bahwa Nabi merupakan tokoh modernism, membangun negara dengan asas demokrasi, menanamkan inklusifitas kepada umatnya, dan membangun sebuah ideologi idealis-pluralistik

Maka dari itu, salah besar jika Indonesia berasaskan hukum thagut. Sejarah membuktikan bahwa Indonesia telah merefleksikan sistem negara yang dibangun oleh Nabi Saw, beridentitaskan modernity-nasionalism-religiousity.


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Muhammad Mundzir
Mahasiswa Strata 1 Ilmu Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals