Malam itu nama saya disebut di antara deretan nama santri yang melanggar aturan. Ada yang karena tidak berjamaah, mangkir dari takror (belajar bersama), pulang tanpa izin, atau melalaikan piket. Pelanggaran saya adalah menonton layar tancap.
Di pondok, nonton film masuk pelanggaran berat. Kelasnya lebih gawat daripada pelanggaran lain. Karena itu, sanksinya pun mengerikan, digundul di depan khalayak. Sanksi moral yang membuat miris.
Membayangkan sanksi itu membuat malam terasa berat. Waktu jadi lambat. Saya masygul. Ditemani beberapa kawan saya duduk-duduk di depan kamar, menghibur diri sambil menunggu hukuman dengan hati berdebar.
Lalu datanglah Emil, sebut saja begitu, pengurus senior. Langkahnya cepat, sigap, dan sikapnya resmi. Ia berhenti di depan kami. “Zaid, Su’di ada?” ia bertanya kepada saya. Mendengarnya saya merasa seperti mendapat soal hiburan. Teman-teman menahan tawa.
Sejak di pondok saya memang mendapat dua panggilan. Sebagian memanggil dengan nama ‘Su’di’, mengikuti panggilan saya sejak dari rumah. Teman-teman lain memanggil Zaid.
“Tadi di kamar,” jawab saya tanpa merasa perlu meluruskan. Emil bergegas masuk kamar, celingak-celinguk dan tak mendapati siapa-siapa, tentu saja.
“Tidak ada, ke mana ya?”
“Mungkin ke warung,” jawab saya sekenanya, “Memangnya ada apa?” Saya pura-pura peduli.
“Penting, kalau ia datang suruh segera ke kantor ya, ditunggu,” jawabnya sambil ngeloyor pergi tanpa menunggu jawaban.
Ketika punggung Emil hilang di balik tembok, tawa kami meledak. Terbayang suasana kantor ketika Emil menghadap lurah pondok. Telinga Pak Lurah pasti jadi merah mendengar bahwa Su’di yang dicari sedang tidak ada di kamar, sementara Zaid enak-enakan ngobrol di depan kamarnya. Emil juga tentu dongkol bukan buatan setelah diberi tahu bahwa Zaid yang barusan dia temui bernama lengkap Muhammad Zaid Su’di.
Lelucon demi lelucon kami buat susul menyusul. Tapi kemudian berhenti tiba-tiba ketika Emil datang lagi. Ia tidak sendiri, dibawanya dua orang pengurus lagi. Kali ini lebih to the point. Tidak ada pertanyaan. Wajahnya keras, suaranya jadi garang. Tanpa babibu ia memerintahkan kedua pengawalnya menggelandang saya.
Saya tidak bisa mengelak. Teman-teman mematung, mungkin sedang berduka melihat teman tercinta mereka segera dijatuhi sanksi. Tapi dugaan saya keliru. Dari jarak yang belum jauh saya kembali mendengar suara tawa mereka. Kali ini bahkan tambah keras. Pasti mereka sedang mengarang lelucon tentang saya. Duh.
Kasus salah paham nama juga pernah saya alami di Jogja, sewaktu mencari kos. Saya menemui ibu kos dan ditanya, “Siapa namamu?”
“Zaid, bu.”
“Namamu.”
“Iya, Zaid, bu.”
Ibu kos menatap saya lebih tajam. Dari nada suaranya, seperti ada jawaban saya yang membuatnya tersinggung, tapi saya tak tahu bagian mana.
“Saya tanya namamu. Bukan pekerjaanmu,” kata ibu kos kemudian.
“Nama saya Zaed Buuu, bukan Njahit!”
“Oalah, tak kira penjahit”
Apa yang terjadi pada Emil dan ibu kos adalah soal kesalahpahaman. Yang pertama disebabkan oleh pemahaman yang sepotong dan tidak utuh. Yang kedua disebabkan oleh kesimpulan yang terlalu cepat. Keduanya menimbulkan masalah. Padahal, itu baru soal satu dua kata. Akan jauh lebih parah bila itu terjadi dalam skup yang lebih luas dan sensitif seperti isu agama. Dan kita sudah sering melihatnya di sekitar kita.
Di kampus, saya pernah mendapatkan pelajaran yang lebih ekstrem. Seorang teman harus menderita karena persoalan satu huruf. Berkali-kali dia menghadap dosen pembimbing akademiknya untuk minta tanda tangan tapi selalu ditolak. Alasannya, ada penulisan nama dosen itu yang salah dan teman saya tidak tahu letaknya. Sang dosen baru mau memberi tanda tangan jika penulisan namanya sudah tepat.
Teman saya resah, ia merasa tak melakukan kekeliruan sedikitpun. Ia bertanya ke sana kemari sampai kemudian ia menyadari kesalahan kecilnya. Ada huruf M (singkatan dari Muhammad) di awal nama sang dosen yang luput dari perhatiannya.
“Sudah ketemu?” tanya sang dosen ketika akhirnya teman saya datang lagi dengan wajah berkeringat.
“Sudah, Pak,” jawabnya sambil cengar-cengir.
“Mana?”
“Ini, Pak, huruf M-nya kurang.”
“Bagus. Sebagai akademisi kamu harus teliti dan berhati-hati dalam menulis, apalagi tentang nama orang. Jangan sampai keliru, walaupun satu huruf.”
Teman saya mengangguk.
“Coba, siapa namamu?”
“Amir, Pak”
“Nah, Amir, bagaimana jadinya kalau huruf m dalam namamu dihilangkan. Jadi apa?”
“Jadi air, Pak.”
Nah.
jadi ceritanya mematahkan ungkapan “apalah arti sebuah nama”.. mantap keren.
Karena sebuah ungkapan punya likus kebenaranya sendiri.. haha
Pernah ngalami, tp gak sampe ngerjain balik jg sih..wkwk kocak