Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Jawa

Karakter unggul Jawa digambarkan dengan sifat satria (ksatrya). Satria memiliki sifat berbudi bawa leksana (berbudi luhur) dan kaprawiran (keperwiraan).3 min


4
20 shares, 4 points

Masih begitu terngiang jelas dalam benak kita, beberapa bulan lalu, pemberitaan media diwarnai dengan beragam kasus yang mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Di antaranya tindakan kekerasan berujung maut yang menimpa Achmad Budi Cahyanto, guru honorer mata pelajaran kesenian di SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur (01/02).

Kemudian penganiayaan oleh wali murid yang dialami Astri Tampi, Kepala SMPN 4 Lolak, Sulawesi Utara (13/02). Serta beragam kejadian lain yang intinya menunjukkan fenomena nir-karakter yang terjadi di dunia pendidikan. Lalu pertanyaannya apa gerangan yang menjadikan pendidikan Indonesia akhir-akhir ini terlihat buram? Siapa yang layak dipersalahkan?

Pendidikan Karakter Belum Optimal

Tidak dipungkiri pendidikan merupakan garda terdepan dalam membentuk manusia yang bermartabat dan berkualitas. Manusia yang berkualitas bercirikan memiliki kecerdasan, kepandaian, dan perilaku yang mulia. Manusia berkualitas inilah yang nantinya sebagai sumber daya untuk membangun dan mampu bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara, dan agama.

Sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) termaktub dengan jelas bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun arus globalisasi yang begitu ganas menjadikan tujuan mulia pendidikan belum terimplementasi dengan optimal, utamanya pendidikan karakter yang menekankan pada pembentukan perilaku dan akhlak mulia peserta didik. Globalisasi layaknya pisau bermata dua, efek negatif dan positifnya memiliki konsekuensi seimbang, sehingga diperlukan langkah bijak dalam penyikapannya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan peserta didik mudah terpapar konten negatif jika tidak diimbangi dengan sosialisasi bijak bermedia serta pengawasan dan pengendalian dari orang tua dan institusi pendidikan.

Institusi pendidikan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial perlu menjadi teladan atau role modelbagi proses internalisasi pendidikan karakter. Hal ini disebabkan praktik pendidikan di setiap jenjang bukan sekedar pengembangan nalar peserta didik, tetapi juga merupakan pembentukan akhlak karimah dan akal yang berbudi (Pupuh Fathurrohman, dkk, 2013). Pendidikan akhlak karimah termasuk pembinaan watak karakter siswa perlu mendapatkan perhatian serius dalam praktik pendidikan Indonesia. Dikarenakan pendidikan Indonesia dewasa ini masih sebatastransfer of knowledge semata, sehingga banyak melahirkan peserta didik yang pandai saja, namun nir-karakter.

Pendidikan Karakter Perspektif Jawa          

Internalisasi pendidikan karakter melalui lembaga formal sering kali tidaklah maksimal. Hal ini dikarenakan praktik pendidikan masih melulu didominasi oleh aspek kognitif dan cenderung abai terhadap aspek psikomotorik dan afektif, yaitu aspek yang menekankan pentingnya tingkah laku atau karakter sebagai hasil akhir pendidikan. Meskipun secara konsep sudah tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengidealkan adanya keseimbangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif, namun pada tataran praktik masihlah belum terlaksana dengan baik.

Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu sebenarnya adalah institusi pendidikan pertama dan utama yang mampu membentuk karakter anak. Sehingga proses ini lebih akan membekas pada diri anak daripada melalui lembaga formal. Pendidikan karakter yang menggunakan pendekatan budaya ini diharapkan mampu memberikan pondasi awal yang kuat sebelum anak masuk pada lembaga pendidikan formal. Sehingga lembaga formal nantinya tinggal mengasah dan menajamkan apa yang sudah terpondasikan pada diri anak.

Dalam masyarakat Jawa terdapat nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pondasi awal penanaman karakter positif pada anak. Terdapat kajian filosofis nilai-nilai luhur (supreme values) yang merupakan pedoman hidup (guiding principles). Pedoman tersebut merupakan dasar filosofis karakter Jawa yang disebut Tri Rahayu (tiga kesejahteraan) sebagaimana dijelaskan Muchlas Samani & Hariyanto (2012), meliputi: a) mamayu hayuning salira (hidup untuk meningkatkan kualitas diri); b) mamayu hayuning bangsa (berjuang untuk Negara dan bangsa); dan c) mamayu hayuning bawana (membangun kesejahteraan dunia).

Dari konsep tersebut maka dirumuskan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan karakter perspektif Jawa. Untuk mencapai konsep tersebut manusia perlu memahami, menghayati, serta melaksanakan tugas suci yang tercantum dalam Tri Satya Brata (Tiga Ikrar Bertindak), yaitu: a) kesejahteraan dunia bergantung kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa (rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa); b) tugas utama manusia adalah menjaga keselamatan Negara (dharmaning manungsa mahanani rahayuning nagara); c) keselamatan manusia ditentukan pada perilaku dan rasa kemanusiaannya (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane).

Dalam ajaran (wewarah) Jawa karakter unggul digambarkan dengan sifat satria (ksatrya). Satria Jawa dalam kehidupan selalu berlandaskan nilai ajaran berbudi bawa leksana (berbudi luhur dan rendah hati) dan kaprawiran(keperwiraan). Keperwiraan berarti selalu berlaku perwira dalam segala hal dan memiliki sikap temen (jujur), tanggap(bertindak antisipatif), tatag (teguh hati, tahan banting), tangguh (tidak mudah kalah atau menyerah), tanggon (berani karena benar), dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan pemberian orang lain).

Konsep pendidikan karakter dalam perspektif Jawa tersebut sebagai solusi alternatif agar orang tua sejak dini menginternalisasikan pendidikan karakter pada anak. Sehingga anak bertransformasi menjadi seorang satria yang memiliki sikap jujur, bertindak antisipatif, teguh hati, tidak mudah menyerah, berani karena benar, tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan karakter positif lainnya. Semoga.


Like it? Share with your friends!

4
20 shares, 4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
4
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
4
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Abdul Ghofur

Master

Abdul Ghofur, S.Pd.I., M.Pd., Guru pada MAN 1 Pati, Jawa Tengah; penelusur jalan kehidupan, masih proses pencarian makna & hakikat hidup yang sejati.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals