Belakangan, sempat viral sebuah potongan hadis Nabi yang berbunyi, “Sebaik-baik umatku adalah masyarakat yang aku diutus di tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya. Kemudian datang kaum yang suka menggemukkan badan, mereka bersaksi sebelum diminta bersaksi.” Salah satu meme yang tersebar terkait hadis ini diberiketerangan, “Perut buncit itu bukan berkah tapi adzab dari Allah.” Kira-kira begini penampakan meme tersebut:
Perut buncit pada ungkapan di atas disebut sebagai azab. Kalau dalam KBBI, “Azab” berarti “Siksa Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan agama.” Apakah perut buncit ini lebih tepat disebut sebagai kata lain dari gendut atau gemuk, yang jelas, yang namanya azab, tetap saja ngeri. Menakutkan. Pastinya buruk.
Meme di atas saya dapatkan dari seorang kawan. Kebetulan dia mempostingya di status WA miliknya. Dia mendapatkan meme itu dari sebuah akun di media sosial. Jadilah ia semakin viral. Sebuah gambaran sederhana dalam proses viralisasi sebuah pesan atau apa pun itu: ada media, baik Instagram, Facebook, Twitter maupun yang lainnya yang memproduksi sebuah pesan; lalu ia diterima oleh khalayak, kemudian disebarkan kembali; dalam pendekatan ilmu komunikasi, ini lebih mirip dengan model two-step atau multi-step flow.
***
Hadis di atas diriwayatkan oleh para pakar hadis kenamaan; seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Bazzar, al-Baihaqi, Ibn Hibban, al-Nasa’i, Abu Nu’aim al-Thabarani dan lain-lain. Meskipun dengan narasi yang tidak sama persis. Ia dinilai sebagai hadis sahih; terpampang jelas dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim; dua karya besar yang dianggap sebagai karya tersahih setelah al-Qur’an.
Hal ini berarti bahwa ada fenomena lain yang berbeda dengan fenomena viralisasi hadis, semisal: “Terong adalah obat segala penyakit” yang terjadi di masa lalu. Ia tegas disebut hadis palsu bahkan sering muncul di teks-teks ilmu hadis sebagai contoh hadis palsu. Konsekuensinya ia pasti tertolak. Ini berbeda dengan hadis yang disinyalir berisi stempel negatif untuk yang berperut buncit. Ia sahih. Tentunya juga punya konsekuensi harus diterima. Hanya saja, ia perlu dipahami dengan benar sesuai konteksnya. Tidak bisa ditelan mentah begitu saja. Tidak cukup dengan potongan yang jelas-jelas terpisah. Bila masih dipaksakan, bukan tidak mungkin jika pemahaman yang tidak utuh tersebut hanya bisa bikin mual.
Untuk memperjelas bahwa teks hadis tersebut tidak sepantasnya dipahami sedangkal itu, kita bisa ambil data sejarah; Waki‘ ibn al-Jarrah; seorang pakar hadis kenamaan, lahir pada 129 H dan wafat pada 197 H atau bertepatan dengan 746 M dan 812 M. Berguru pada banyak tokoh besar, seperti al-Auza’i, Ibn Juraij, Hisyam ibn ‘Urwah dan lain-lain. Sedangkan para ulama yang bersedia menjadi muridnya antara lain: ‘Abdullah ibn al-Mubarak, Ahmad ibn Hanbal, Ibn al-Madini, Yahya ibn Ma’in dan sebagainya. Selain dikenal sebagai pakar dalam bidangnya dan produktif, ia juga dikenal bertubuh gemuk (Arab: Samin).
Nama-nama ulama dan tokoh lain yang bertubuh gemuk disebutkan oleh al-Dzahabi dalam karya besarnya, Siyar A’lam al-Nubala’ dan Tarikh al-Islam, yaitu: Muhammad ibn al-Hasan, murid terdekat Imam Abu Hanifah sekaligus guru Imam Syafii, seorang pakar fikih; Imam Warasy, murid Imam Nafi’, seorang pakar kiraat; Abu Ma‘syar Najih al-Sindi, pakai hadis dan sejarah peperangan. Tidak hanya itu, bahkan beberapa nama sahabat Nabi dikisahkan bertubuh gemuk; misalnya, ‘Abdullah ibn ‘Abbas memiliki tubuh besar atau gemuk hingga untuk tempat duduknya saja seperti ukuran untuk dua orang; pun demikian, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, dia bertubuh tinggi, kemerah-merahan dan punya perut besar. Bahkan istri Nabi yang bernama Saudah binti Zam’ah selain dikenal cerdas, juga disebut perempuan bertubuh besar (Arab: Dlakhmah).
Lalu, bagaimana dengan Nabi sendiri, apakah beliau gemuk? Untuk menjawab ini, mari simak hadis berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تبادروني بركوع ولا سجود فإنه مهما أسبقكم به إذا ركعت تدركوني به إذا رفعت إني قد بدنت.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Hibban dan lain-lain. Secara keseluruhan, ia berbicara ketidakbolehan makmum mendahului imam. Namun, di luar itu, ada katakunci menarik dari redaksi hadis tersebut, yaitu kata: بدنت. Bila ia dibaca baddantu, maka bermakna: aku sudah tua (Arab: kibar al-sinn); bila dibaca baduntu, maka bermakna: aku sudah gemuk (Arab: ziyadah al-jism wa ihtimal lahm). Kedua bacaan ini sama-sama berada dalam redaksi hadis terkait. Meskipun tidak semua ulama sepakat menerima keduanya, sebagian malah hanya menerima kata yang pertama dengan mengkritik penggunaan kata yang kedua karena dinilai bertentangan dengan data sejarah bahwa gambaran ukuran tubuh Nabi itu berada antara tubuh dua orang.
Ringkasnya. keberadaan meme yang memberikan gambaran bahwa gendut, gemuk atau berperut buncit mesti buruk atau bahkan disebut sebagai azab tentu saja tidak tepat. Terlebih jika hanya berdalih dengan satu hadis. Itu pun dipaparkan dengan cara dipisah dari konteksnya dan tidak ada penelaahan utuh dari keseuruhan hadis dan data sejarah yang ada.
***
Terlepas dari diskusi di atas, ada sebuah gejala umum yang mudah sekali dijumpai dalam kehidupan hari ini seiring dengan pesatnya teknologi yaitu maraknya simbolisasi dan estetisasi nilai-nilai agama. Tampaknya, ini sekaligus sebagai konsekuensi kuatnya arus globalisasi.
Kesalehan selalu lekat dan sering dititikberatkan pada faktor luar, simbol: jilbab syar’i, hijab yang modis dan stylis, celana cingkrang, jenggot dan sebagainya. Kesalehan ditarik pada wilayah mempercantik dan mempertampan diri yang tidak lebih dari sebatas kulit luar. Imbasnya, kesalehahan seorang dikonotasikan dengan berat badan tertentu, tanpa perut buncit dan sebagainya. Upaya-upaya estetisasi yang sengaja dihubungkan dengan teks agama inilah pada akhirnya menggerus nilai-nilai moral-spiritual.
Kita tidak bisa menampik bahwa Islam juga berbicara soal menutup aurat dan pentingnnya menjaga penampilan. Namun, upaya simbolisasi dan estetisasi yang demikian kuat pada gilirannya mengaburkan sistema nilai yang harusnya tidak bisa diabaikan. Misalnya, bahwa untuk menjadi muslim dan muslimah yang baik juga harus menghormati tetangga, bermanis muka, menebar kedamaian, rendah hati dan seterusnya.
***
Jadi, sebenarnya gendut itu buruk? Pasti! Bila memang mimpi kita hidup hanya untuk makan. Apalagi memahami hadis itu dengan cara yang sempit. Sesempit lobang sedotan, misalnya. Ya, mungkin seburuk kita yang bertubuh langsing; sepanjang waktu hanya duduk termenung, tanpa inisiatif dan hidup hanya menunggu keajaiban dari langit.
Sebenarnya, saya cuma mau bilang, “Belajar menjadi baik, apalagi sampai punya mimpi menjadi yang terbaik, tidak bertolakbelakang dengan jadi gendut, gemuk atau berperut buncit.” Itu saja.
Anda boleh sepakat.
2 Comments