Dalam satu rekaman ingatan saya tentang peralihan dari masa kanak-kanak menuju remaja adalah kebencian terhadap fisik. Terlahir menjadi bocah bertubuh gempal sejak TK hingga nasib membawa saya menjadi objek hinaan teman kelas ketika SD.
Bukankah ingatan ketika masa kecil akan selalu melekat? Saya menjawab: iya -sangat melekat hingga hari ini saya berusia 20 tahun. Dulu saya sering disamakan dengan mamalia bertubuh besar, seperti gajah, kingkong, paus dan hewan-hewan besar lainnya.
Kalimat komentar yang menggunakan -rangkaian kata-kata yang ringan namun menggunakan diksi yang biasanya kurang mengenakan- masih dianggap sebagai lelucon oleh sebagian besar masyarakat kita.
Selama di bangku SD, potret diri saya di mata teman-teman adalah “kamu gemuk, pantatnya bohay pasti nenennya juga besar”. Teman laki-laki saya bahkan tidak jarang bertindak tidak pantas kepada saya. Hal ini menjadikan saya menyimpulkan bahwa bertubuh gemuk, payudara besar, bokong besar itu tidak cantik, tapi menggoda. Melayangnya kalimat-kalimat itu tidak sedikitpun menjadikan saya, yang hanya anak SD, untuk diet atau merawat diri. Yang ada justru guncangan psikologis atas stigma masyarakat.
Pengalaman-pengalaman yang telah saya jalani tersebut membuat saya sering bertanya dalam hati: “awalnya anak kecil bertubuh gemuk itu lucu, lalu kenapa setelah dirinya tumbuh malah ditertawakan?”
Baca juga artikel lainnya: Dilarang Gendut!
Meskipun semua pola pikir saya tentang cantik sudah luntur seketika memasuki bangku perkuliahan -dengan banyaknya perempuan yang gemuk tapi juga cantik, berkepribadian baik, dan cerdas. Namun, itu semua tidak menjadikan lepasnya standar kecantikan yang mengakar di benak saya bahwa cantik itu langsing, payudara yang tidak terlalu besar, dan bokong dengan ukuran yang sewajarnya.
Saya memang kadang mendapatkan kata-kata yang lebih menyenangkan bahwa gemuk adalah mengarah pada sehat, gizi tercukupi dan bahagia. Sedangkan orang lain yang bertubuh kurus adalah mereka yang sengsara dan busung lapar. Tapi tetap saja, gemuk tidak diidentikkan dengan cantik.
Cantik itu ada standarnya?
Bagi yang sudah menonton film Imperfect garapan Ernest Prakasa yang rilis pada bulan Desember 2019 lalu, namun juga mengalami masa kecil yang relate dengan film tersebut, tentu akan sangat mengapresiasi kerja sutradara muda ini dalam membalut pesan ringan dalam filmnya.
Dalam film bertajuk lengkap “Imperfect: Karier, Cinta dan Timbangan”, dengan adaptasi cerita dari novel istrinya Meira Anastasia, Ernest berhasil menyuguhkan alur film bernuansa reflektif bagi adat masyarakat Indonesia: yang bagi saya merupakan sebuah potret lain tentang makna ‘cantik’.
Karakter Rara, saat saya melihatnya menimbulkan rasa haru. Bukan soal jalan cerita atau nasibnya, namun lebih kepada haru atas kepedulian dunia perfilman Indonesia untuk mengangkat kisah yang sepele menjadi karya yang selanjutnya mendapat banyak apresiasi dari masyarakat Indonesia.
Betapa tidak, selama ini kesuksesan hanya berpihak untuk dimiliki oleh perempuan “cantik”. Kesempatan menempati jabatan pekerjaan pun ada pada perempuan “cantik”. Begitu juga dengan Rara, meskipun cerdas, namun memiliki takdir sebagai perempuan gempal tidak cukup membuatnya dipandang cakap untuk mendapatkan haknya dalam dunia pekerjaan dan penerimaan lingkungan.
Posisi Rara yang dikelilingi oleh notabene keluarga sosialita, menuntutnya untuk menjadi langsing, putih, dan tinggi. Hingga akhirnya Rara bertransformasi dan bertekad untuk memenuhi standar kecantikan itu. Seperti hukum alam, manusia tidak akan pernah puas akan apa yang dimilikinya. Kalau begitu, masih wajarkan standar kecantikan itu diusahakan?
Film tersebut, menjadi satu dari sekian banyak bukti krisisnya Indonesia akan aspek penerimaan diri atau self-acceptance. Orang-orang terlalu sibuk untuk terlihat menarik menurut orang lain, hingga tidak sadar bahwa standar kecantikan itu akan terus berubah seiring dengan pergantian yang memengaruhinya.
Ambil contoh, saya sebagai pengguna Instagram melihat bahwa pengaruh standar kecantikan yang diterima akan berbeda bagi setiap orang: bergantung kepada negara mana yang dijadikan kiblat. Korea selatan, misalnya, menerapkan standar kecantikan kepada perempuan-perempuannya adalah mereka yang tinggi, langsing, berkulit putih, dengan gaya make-up yang soft atau natural. Berbeda halnya di Amerika atau Inggris. Perempuan cantik dan menarik menurut sebagian dari mereka adalah yang memiliki bokong dan payudara yang besar juga kenceng, bibir yang tebal dibalut dengan gaya make-up yang cenderung bold.
Tentu hal ini akan berbeda pula di negara-negara lain dengan kebiasaan masyarakat yang juga berbeda seperti di Indonesia. Namun masyarakat bertindak seolah standar kecantikan kebanyakan adalah standar paten dan dihukumi rata kepada semua perempuan.
Lantas siapa yang akan bertanggung jawab ketika pengaruhnya telah menjadi paradigma akut masyarakat seperti saat ini? Dampak yang juga dapat menyerang psikis seseorang seperti minder, depresi, hingga penyakit psikologi lainnya. Hingga mereka yang gemuk harus memutuskan untuk mengobati rasa sakit hati atas kalimat ejekan itu kepada cara instan yang belum tentu aman bagi tubuhnya. Seperti membatasi asupan makan hingga mengidap anoreksia karena ketakutan akan kegemukan, atau bahkan sampai melakukan bentuk diet yang keliru dengan mengesampingkan kebutuhan gizi, hingga sulit buang air besar bahkan samapi mengalami gagal ginjal.
Dari semua hal di atas saya akhirnya menyadari bahwa standar kesempurnaan yang ada tidak ada penanggung jawabnya di masyarakat. Kebutuhan setiap individu tentu berbeda. Hingga berada pada titik harus berubah menjadi lebih baik, bukan karena ingin memenuhi komentar orang lain, namun menyadari bahwa dirinya memang memerlukan transformasi menjadi hidup lebih sehat untuk kehidupan jangka pendek dan jangka panjang. Yang terpenting adalah, menerima diri orang lain, karena disadari atau tidak akan berimbas pada penerimaan orang lain kepada diri mereka masing-masing. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment