Merawat Sila Keempat Pancasila

Orientasi “hikmah-kebijaksanaan” mensyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan kebajikan keberadaban.3 min


5
gambar: majalah.hidupkatolik.com

Pancasila adalah hasil penggalian nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah pada 1 Juni 1945 menjawab tantangan Dr. Radjiman Wediodiningrat tentang perlunya suatu filosophische grondslag, dasar falsafah/dasar negarabagi Negara Indonesia yang merdeka.

Dalam perjalanannya Pancasila mengalami pengayaan redaksional dan semantik hingga menjadi rumusan final pada Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Para pendiri bangsa ini mampu menyelami pandangan masyarakat Nusantara masa lalu dan membangun tatanan baru untuk Indonesia modern.

Pancasila dasar falsafah dan pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Seperti lautan Pancasila membersihkan dan menyerap tanpa mengotori lingkungannya serta sanggup menerima dan menumbuhkan segala budaya serta ideologi positif yang dapat berkembang berkelanjutan. Nusantara menjadi pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya yang mengembangkan pelbagai corak kebudayaan. (Yudi Latif, Negara Paripurna, 2011, 2-3).

Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan Negara, “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Demikian, kata Bung Karno.

Syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.Kita menghidupkan nilai Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam badan perwakilan rakyat. (Sukarno, Pancasila dan Perdamaian Dunia, 1989, 15).

Badan perwakilan rakyat (kini DPR) adalah tempat untuk mengemukakan aspirasi rakyat dan mengusulkan kepada pemimpin rakyat untuk perbaikan. Untuk itu umat Islam harus bekerja sehebat-hebatnya agar sebagian terbesar kursi-kursi badan perwakilan rakyat diduduki oleh utusan-utusan Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu hukum Islam pula. (Sukarno, 16).

Kata kunci dalam sila keempat tersebut ialah kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Kata hikmat, dari bahasa Arab, hikmah, yang artinya kebijaksanaan, petunjuk, dan amanat. Istilah permusyawaratan juga berasal dari bahasa Arab, syura, musyawarah, artinya pembicaraan, pembahasan, permufakatan, perundingan, rembukan.

Kata perwakilan dari bahasa Arab wakil, yang artinya pemangku, representasi. Kata-kata kunci tersebut merepresentasikan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad saw. Nilai-nilai pada sila keempat tersebut pada hakikatnya adalah dasar-dasar ajaran Islam dalam menyelenggarakan sebuah pemerintahan, apa pun namanya.

Rasulullah saw bersabda, “Kullukum ra’in wa kullu ra’in mas’ul ‘an ra’iyyatihi – Setiap orang di antara kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas rakyat (orang-orang yang dipimpin)-nya.”

Hikmat kebijaksanaan adalah nilai yang amat sangat berharga. Hikmah mengandung arti perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Hikmah ialah ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara amaliah dan amal yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang mampu berpikir. (QS 2:269).

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS 16:125).

Musyawarah adalah salah satu pilar penyangga kepemimpinan yg kokoh dan berwibawa. Allah swt menggariskan musyawarah sebelum mengambil keputusan dalam mengelola urusan bersama.

Berkat rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertawakal. (QS 3:159).

Bagi orang-orang yang menerima dan mematuhi seruan Tuhannya serta melaksanakan shalat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS 42:38).

Dalam sistem demokrasi permusyawaratan pemimpin adalah perwakilan rakyat. Konsekuensinya, rakyat niscaya menaati para representasi selama undang-undang dan peraturan yang dibuat selaras dengan nilai-nilai Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw.

Sesungguhnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati secara langsung itu bertentangan dengan sila keempat Pancasila. Seharusnya pemilihan kepala pemerintahan itu dilakukan melalui permusyawaratan perwakilan, yakni dipilih dan ditentukan oleh para wakil rakyat.

Titik lemah demokrasi Indonesia dengan prinsip one man one foot sebagai penyangga pemilihan Presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia terletak pada penghargaan sama per kepala tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.

Rasulullah saw membangun contoh komunitas nasional modern yang lebih baik daripada yang lain. Komunitas itu disebut “modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi penuh seluruh anggota masyarakat dan kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan.

Dalam demokrasi permusyawaratan suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi empat prasayarat. Pertama, didasarkan atas asas raionalitas dan keadilan, bukan  subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang. Ketiga, berorientasi jauh ke depan. Keempat, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak yang dapat menangkal dikte minoritas elit penguasa dan klaim mayoritas. (Yudi Latif, 478).

Di bawah orientasi etis hikmah-kebijaksanaan, demokrasi permusyawaratan direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut dasarkemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai-nilai persatuan (kekeluargaan) dan keadilan. (Yudi Latif, 487).

Orientasi ‘hikmah-kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam tentang materi yang dimusyawarahkan. Melalui hikmah itulah mereka bisa merasakan, menyelami, dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat, serta membawa pada keadaan yang lebih baik. Orientasi “hikmah-kebijaksanaan” mensyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan kebajikan keberadaban. (Yudi Latif, 487).

Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya: Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag.

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

5
Muhammad Chirzin
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. adalah guru besar Tafsir Al-Qur'an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota Tim Revisi Terjemah al-Qur'an (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an) Badan Litbang Kementrian Agama RI.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.