Sudah 14 abad berlalu sejak al-Qur’an diturunkan, melintasi ruang dan waktu yang panjang dengan segala dinamikanya, hingga di abad 21 ini al-Qur’an senantiasa menjadi pedoman hidup umat Islam (QS. al-Baqarah: 2 dan 185), karena itu al-Qur’an dikenal sebagai Shalihu likulli zaman wa makan. Al-Qur’an yang shalihu likulli zaman wa makan pada dasarnya disepakati oleh seluruh umat Islam, dari kelompok manapun, akan tetapi dalam pemberian pemahaman nampaknya masing-masing memiliki cara tersendiri, yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Pada titik ini, diskusi kelas isu-isu aktual dalam al-Qur’an membahas tentang bagaimana bentuk pemahaman al-Qur’an dalam ruang dan waktu yang berbeda? Bagaimana seharusnya memahami kandungan al-Qur’an berdasarkan isu-isu aktual di abad 21 ini? Kiai Dr. Abdul Mustaqim, dosen pengampu mata kuliah isu-isu aktual dalam al-Qur’anUIN Sunan Kalijaga, membagi bentuk pandangan umat Islam atas term shalihu likulli zaman wa makan menjadi dua kelompok: tekstualis dan kontekstualis.
Bagi kelompok tekstualis, mereka memahami al-Qur’an berdasarkan makna ‘literal’ teks al-Qur’an, sehingga menghadirkan pemahaman secara literal sebagaimana pemahaman yang terjadi pada 14 abad yang lalu di Arab. Kelompok ini tidak mambaca seputar dan sekitar Arab, sebagai tempat turunnya al-Qur’an, serta cenderung mengabaikan perubahan ruang dan waktu, sehingga hanya akan berakibat pada ‘pertentangan’ ayat al-Qur’an dengan fakta kehidupan yang dijalaninya.
Adapun kelompok kontekstualis, mereka memahami al-Qur’an dengan berupaya memahami wacana konteks yang mengitari kehadiran al-Qur’an, konteks yang dimaksud adalah konteks lingiustik dan sosio-historis. Diyakini bahwa setiap ayat al-Qur’an hadir bukan di ruang yang kosong, melainkan ada keadaan, penyebab (asbab), ruang dan waktu yang jelas, yang semua itu ikut andil dalam memberi pemahaman atas kandungan al-Qur’an. Dari sini, kelompok kontekstualisberupaya menangkap ‘spirit’ pewahyuan al-Qur’an. Kelompok yang kedua inilah kiranya yang relevan diterapkan untuk memahami al-Qur’an di abad 21 ini.
Sebagai pembuktian atas pentingnya memahami al-Qur’an secara kontekstualis di atas, Kiai Dr. Abdul Mustaqim menyodorkan isu milk al-yamin, yang sampai saat ini terus mengguncang umat Islam di Indonesia. Bersama para mahasiswa, Kiai Dr. Abdul Mustaqim menganalisis kembali pemahaman Muhammad Syahrur sebagai tokoh yang membolehkan hubungan seks di luar nikah.
Ada beberapa langkah penting Kiai Dr. Abdul Mustaqim dalam mengkritisi pemikiran Muhammad Syahrur perihal milk al-yamin, yakni pertama, kata milk al-yamin tidak tepat dipahami sebagai partner seksual, sebagaimana dipahami Muhammad Syahrur, hal ini karena makna dasar (konteks lingiustik) milk al-yamin adalah budak: term partner seksual mengandung kesetaraan, sementara budak tidak setara.
Kedua, ayat tentang milk al-yamin, menurut kesepakatan ulama, secara hukum telah dihapus (mansukh). Kekeliruan Muhammad Syahrur di sini karena tidak menerima adanya ayat-ayat yang di-mansukh, sehingga kemudian memaksa ayat tentang milk al-yamin agar sesuai dengan pemahaman yang dikehendakinya. Ketiga, pemahaman Muhammad Syahrur tentang milk al-yamin tidak dapat diterapkan di Abad 21 ini, karena konteks ayat milk al-yamin tersebut tidak ditemukan lagi. Pada bagian inilah terlihat pentingnya pemahaman konteks turunnya ayat (konteks sosio-historis) penting dilakukan.
Memahami al-Qur’an secara kontekstual akan menghasilkan pemahaman yang mampu beradaptasi dengan konteks masa kini, sembari tidak menghilangkan pesan utama (spirit) al-Qur’an. Pemahaman kontekstual adalah model pemahaman al-Qur’an yang dapat menjadi alternatif untuk membumikan al-Qur’an dalam ruang dan waktu yang berbeda sekalipun, termasuk pada abad 21. Keagungan al-Qur’an sebagai pedoman hidup akan lebih terasa jika umat Islam mampu menangkap spirit al-Qur’an, kemudian menerapkannya ke dalam kehidupan di abad 21 ini.
Wallahu a’lam.
0 Comments