Tafsir Kontemporer adalah topik yang menarik untuk dikaji. Meski tidak ada batasan pasti tentang kapan era kontemporer itu dimulai, namun pendapat yang paling populer menyatakan bahwa era kontemporer itu dimulai dengan kekalahan tiga negara Arab dalam perang enam hari (Six Days War) melawan Israel tahun 1967. Kekalahan itu menjadi pukulan telak negara-negara Arab, khususnya umat Islam setelah hampir tiga abad sebelumnya Arab-muslim juga mengalami kekalahan telak dari bangsa Barat dengan jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon Bonaparte hanya dalam waktu satu hari (21-22 Juli 1798), dan disusul dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
Jika jatuhnya Mesir dalam satu hari disusul dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmani menimbulkan pertanyaan “Limadza taakhkhara al-muslimun, wa taqaddama ghairuhum?” (Mengapa umat Islam semakin tertinggal sementara umat lain semakin maju?”), maka pada era kontemporer—yang di awali dengan kekalahan koalisi negara Arab terhadap Israel yang saat itu penduduknya tidak lebih dari tiga juta jiwa—pertanyaan yang muncul adalah “Mengapa kita gagal merealisasikan kebangkitan kita?”
Baca Juga: Klasifikasi Hidayah Perspektif Ulama Kontemporer |
Sejarah Tafsir Kontemporer
Dua musykilah di atas menarik perhatian para cendekiawan-cendekiawan muslim kontemporer, beberapa di antaranya yaitu Rasyid Ridho, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun. Mereka menyerukan adanya Self-criticism (muhasabah), yang di lanjutkan dengan pengembangan epistemologi dan metodologi (Epistemology and methodology development) kemudian direalisasikan dengan pembaharuan Ushul Fiqh dan Tafsir.
Pada perkembangan kemudian hasil dari pembaharuan tafsir (tajdid at-tafsir) inilah yang memunculkan istilah baru yang disebut “Qira’ah mu’ashirah” (Pembacaan [Al-Qur’an] kontemporer). Istilah tersebut lebih popular lagi karena digunakan oleh Muhammad Syahrur—Seorang Insinyur pertanahan—dalam karyanya yang kontroversial dengan judul “Al-Kitab wa Al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah”.
Berdasarkan rentetan penjelasan di atas, Tafsir menjadi objek yang paling vital dalam proyek kebangkitan umat Islam di era kontemporer. Karena kitab suci Al-Qur’an adalah pedoman utama kehidupan umat Islam, jika meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid, peradaban Islam (Hadharah Islamiyyah) adalah peradaban teks (Hadharah An-Nash). Atau dalam kata lain bagaimana worldview umat Islam terhadap Al-Qur’an, maka begitu pula jalan hidup yang akan ditempuh. Jika paradigma yang digunakan dalam mengamalkan Kitab suci Al-Qur’an adalah paradigma yang progresif dan dinamis, maka kehidupan umat Islam pun akan progresif dan dinamis pula. Sebaliknya, Jika paradigmanya hanya berkutat pada mistis bahkan takhayul, maka kehidupan umat Islam pun akan terus terbelakang.
Definisi Tafsir Kontemporer dan Polemiknya
Setelah memahami konteks munculnya Tafsir kontemporer, mari masuk ke definisi. Tafsir kontemporer adalah tafsir yang berkembang dengan paradigma dan epistemologi kontemporer. Jika mazhab tradisional (Turats) menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi tradisi, sedangkan mazhab modern (hadatsah) melihat tradisi sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan demi kemajuan, maka mazhab kontemporer (Mu’ashirah) merupakan pembacaan kritis terhadap tradisi dan modernitas, sebelum mempertemukan keduanya dalam rangka menjawab problematika kontemporer.
Di antara paradigma tafsir kontemporer adalah penegasan “Al-Qur’an shalihun fi kulli makan wa zaman” sebagai teks universal yang dapat terus relevan. Al-Qur’an memang teks yang telah final (An-Nash Al-Mutanahi), tetapi zaman dan problematika belum final (Al-Waqa’I lam tantahi), maka tak heran jika ada sebuah pernyataan “Sesuatu yang telah final bagaimana mungkin ingin menjawab problematika dan zaman yang tak pernah final?”.
Baca Juga: Pentingnya Menafsirkan Ulang Al-Qur’an di Era Kontemporer |
Kontroversi
Sebagian kalangan mengamalkan statement ini secara radikal, hingga berujung pada asumsi bahwa Al-Qur’an dalam bentuk mushaf yang sampai pada kita saat ini adalah “Muntaj Ats-Tsaqafi” (produk budaya), hal ini dinyatakan oleh Abu Zaid. Mohammed Arkoun, meskipun tidak secara langsung menyatakan Al-Qur’an produk budaya, namun indikasi ke arah tersebut sangat kentara, dengan tesisnya yang membagi konsep Al-Qur’an, dari Al-Qur’an yang asli berada di lauh al-Mahfudz (itulah yang dinyatakannya dengan “dzalika al-Kitab”), dan Al-Qur’an yang telah mengadopsi bahasa manusia (di sinilah terjadi penyempitan wahyu), hingga menjadi corpus tertutup (kodifikasi era Mushaf Utsmani).
Dari berbagai aliran tafsir atau pembacaan Al-Qur’an kontemporer tersebut, umat Islam selayaknya tetap berpegang pada prinsip moderat (tawasuth), seimbang (tawazun) dan toleransi (tasamuh) dalam berpikir, dengan cara melihat kemajuan dan kemunduran Islam dan non-Muslim khususnya Barat secara proporsional. Tafsir kontemporer sangat dibutuhkan dalam merespons perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, bangunan nilai-nilai dasar Aqidah Islam (Islamic Basic Values) tak perlu dipersoalkan, apalagi hingga timbul kecurigaan terhadap “Mushaf Ustmani” yang sulit di bantah kemutawatiran dan keakuratannya. Maka, moto yang cocok dalam hal ini adalah “Kuat akidahnya, maju cara berpikirnya”.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Tulisan ini pertama kali diterbitkan Artikula pada: 24 November 2017
Disunting ulang untuk dilakukan beberapa penyempurnaan namun tidak mengubah substansi tulisan.
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment