Al-Qur’an salihun likulli zaman wa makan. Ini adalah Slogan teologis-dogmatis yang sering kita dengarkan terkait relevansi al-Qur’an pada setiap zaman. Pertanyaannya, apakah benar demikian? Bagaimana fakta sejarah mencatat pemahaman kita terhadap al-Qur’an itu sendiri? Sudahkah kita menempatkan al-Qur’an salihun likulli zaman wa makan? Lantas apakah perlu menafsirkan ulang al-Qur’an pada era kontemporer?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan melakukan telaah singkat terkait penafsiran muslim terhadap al-Qur’an dalam perjalanan sejarah. Namun, fokus penulis tidak pada sejarah tafsir al-Qur’an, akan tetapi pada urgensi menafsirkan al-Qur’an dalam konteks kekinian, khususnya konteks keindonesiaan.
Sebagaimana yang kita ketahui al-Qur’an hadir pada abad ke-7 di jazirah Arab, tepatnya di Mekah dan Madinah. Ia muncul dari ranah transenden menuju imamanen, implikasinya al-Qur’an itu sendiri mensejarah dengan konteks Arab pada saat itu.
Namun, al-Qur’an sendiri mendeklarasikan dirinya sebagai hudan li an-nas secara umum. Dengan demikian, artinya al-Qur’an berfungsi sebagai “petunjuk bagi sekalian manusia” yang menurut al-Râzî (w. 606 H), petunjuk bagi siapa saja untuk menuju kebenaran. Karena, ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan dan menjabarkan cara-cara untuk menuju kebenaran dan memisahkan antara yang hak dan yang batil.[1]
Nilai universalitas al-Qur’an ini juga kita bisa lihat dalam seruannya yang bersifat universal “wahai sekalian manusia.” Menurut al-Samarqandi (w. 375 H), sasaran ayat ini bersifat umum (sekalian manusia) walaupun kadang-kadang penggunaan kalimat ini khusus ditujukan kepada orang-orang Makkah namun pesan yang terkandung di dalamnya tetap saja berlaku umum kepada sekalian manusia.[2]
Nilai universalitas ini kemudian dibekukan ulama ushul dengan kaidah “al-Ibratu Bi umumi Lafdzi la Bikhususi Sabab”, artinya ayat al-Qur’an tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, tetapi berlaku terhadap siapapun itu selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Dengan demikian, meskipun al-Qur’an hadir mensejarah dalam konteks Arab abad ke-7, sebenarnya ia membawa nilai-nilai substansial yang dapat berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Jika kita melihat sejarah penafsiran al-Qur’an, sebenarnya para ulama telah melakukan penafsiran al-Qur’an secara kontekstual (Umar ra, Utsman ra, Ali ra dan lain-lain), yakni mencoba menggali makna subtansial al-Qur’an sesuai konteksnya, meskipuan tidak mengelaborasi maknanya secara luas sebagaimana pribumisasi yang dilakukan penafsir kontemporer (Yusuf Qardawi, Abid al-Jabiri, Abdullah saeed dan lain-lain).
Pribumisasi al-Qur’an di sini bermakna al-Qur’an dapat merespon problem di masa penafsir itu hadir, bukan dalam artian menarik-narik al-Qur’an agar sesuai dengan realitas. Namun, dalam sejarah tafsir al-Qur’an, kita juga menemukan tafsir al-Qur’an yang bernuansa tekstualis, yakni tafsir al-Qur’an yang hanya dibatasi pada makna lingustik semata sebagaimana yang disebutkan Abdullah Saeed bahwa mereka adalah orang yang “argue for a strict following of the text and adopt a literalistic approach to the text.”[3]
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca berpikir secara filosofis dari dua aliran tersebut, aliran mana yang “memperlakukan al-Qur’an salih likulli zaman wa makan”. Kita mengakui bahwa konteks Arab abad ke-7 berbeda dengan konteks kekinian, problem-problem yang terjadi juga tidak sama, bahkan manifestasi keberagamaan pada era ini lebih kompleks dibanding pada masa Nabi.
Pertanyaannya, bagaimana al-Qur’an menjawab semua tantangan zaman tersebut? apakah cukup hanya memaknai al-Qur’an secara tekstual? Atau perlu pemahaman yang kontekstual tanpa mengindahkan makna tekstualnya? Lantas dengan demikian, siapa lebih memperlakukan al-Qur’an salih likulli zaman wa makan? Setiap pertanyaan tersebut tidak akan penulis jawab. Silahkan pembaca meresepsikannya secara mandiri.
Kemudian, mungkin kita akan bertanya-tanya seberapa penting menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual? Sebelum kita membahasa hal tersebut, alangkah baiknya kita memahami apa itu tafsir kontekstual. Kata tafsir kontekstual terdiri dari 2 kata; tafsir dan kontekstual. Tafsir secara terminologis adalah mengkaji, memahami, dan menjelaskan al-Qur’an baik dari segi kedalaman makna, isi dan maksud yang dikehendaki oleh Allah SWT sebatas maksimal kemampuan manusia.[4]
Sedangkan kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman tafsir kontekstual.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir kontekstual atas al-Qur’an adalah memahami makna ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut (asbabun nuzul makro dan mikro). Dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya, al-Qur’an dapat diaplikasikan makna subtansialnya pada konteks yang berbeda dengan tujuan dan maksud yang sama (maqashid ays-syariah).
Tafsir kontekstual penting karena beberapa alasan, yaitu: Pertama, Perbedaan konteks antara masa pewahyuan dan konteks kontemporer, di mana pewahyuan al-Qur’an terjadi dalam konteks politik, sosial, intelektual dan agama masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi, dan khususnya konteks wilayah Hijaz, di mana terletak Makkah dan Madinah. Memahami aspek-aspek utama dari konteks pewahyuan ini membantu dalam membuat hubungan antara teks al-Qur’an dan lingkungan di mana teks tersebut muncul.
Kedua, umat Islam sedang mengalami sekaligus menghadapi sebuah era yang disebut globalisasi. Era di mana problem dan tantangan hidup semakin kompleks dan beragam, melalui al-Qur’an umat Islam diharuskan dapat merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tantangan zaman. Pasalnya, arus globalisasi telah merambat ke seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu formulasi ajaran Islam dalam bahasa modern sangat diperlukan, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur’an.
Ketiga, adanya penafsiran klasik yang bias gender dan bias-bias lainnya, baik ideologi, kalam atau mazhab fiqh. Oleh karenanya, penting bagi untuk menafsirkan al-Qur’an kembali sebagai antitesa terhadap tafsir “lama” yang membuat makna al-Qur’an terdistorsi. Interpretasi ulang ini dalam rangka menghilangkan bias-bias tersebut agar tidak sampai ke taraf berlebihan sehingga mendistorsi makna ayat al-Qur’an, meskipun kita juga memahami bahwa setiap penafsir itu berada dalam kungkungan keterpengaruhan sejarahnya sendiri.
[1] Al-Imam al-Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghayb, Juz V, Cet. 3 (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t.), hlm. 87.
[2] Abu al-Layts Nashr bin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi, Bahr al-‘ulum, Juz I, (al-Maktabah al-Syâmilah, http:// www. altafsir.com, al-Ishdar al-Tsani), hlm. 26.
[3] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Towards a ContemporaryApproach (New York: Routledge, 2006), hlm. 3
[4] Abdul Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, hlm. 6. Lihat juga Anhar Ansyory, “Pengantar Ulumul Qur’an” (Yogyakarta: LembagaPengembangan Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2012) hlm. 85–89.
0 Comments