Quo Vadis UU ITE dan Kebebasan Berpendapat

Berdasarkan data putusan sidang di Mahkamah Agung, penggunaan pasal-pasal pada UU ITE terus mengalami tren peningkatan.4 min


ilustrasi: ITE (sumber: google.com)

Penggunaan UU ITE terbukti telah banyak memakan korban dan sangat efektif dalam menyeret para pelakunya ke jeruji besi. Bahkan tak jarang digunakan sebagai senjata yang ampuh untuk mengebiri para pengkritik dalam menyalurkan pendapatnya. Berdasarkan data putusan sidang di Mahkamah Agung, penggunaan pasal-pasal pada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik terus mengalami tren peningkatan. Tercatat adanya pertumbuhan lebih dari dua kali lipat dari tahun ke tahun, mulai dari 2014 hingga 2018.

Berdasarkan laporan tahunan Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) dari 276 kasus pidana terkait UU ITE yang tercatat di Mahkamah Agung, kasus pidana pencemaran nama baik berada di posisi paling atas dengan 45% (pasal 27 ayat 3), disusul oleh ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2) sebanyak 22% dan melanggar kesusilaan sebanyak 14% (Pasal 27 ayat 1).

Kasus yang berada di posisi teratas adalah kasus yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi. Pasal yang digunakan untuk menjerat pelakunya adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan atau juncto Pasal 45 ayat (3) UU No.19/2016 yang berbunyi: Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Apabila terbukti, pelakunya pun akan diganjar dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Baca juga: Quo Vadis Politik Kriminal RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)

Contoh nyata kriminalisasi dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan atau juncto Pasal 45 ayat (3) di tahun 2018 adalah kasus Muhammad Yusuf. Wartawan Kemajuan Rakyat tersebut diseret ke dalam jeruji besi lantaran tulisannya tentang konflik agraria antara masyarakat dengan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM). Yusuf dilaporkan oleh PT MSAM perusahaan kelapa sawit milik Syamsudin Andi Arsyad alias Haji Isam dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Kriminalisasi terhadap jurnalis juga menimpa Zakki Amali selaku Pimred serat.id di Semarang. Zakki dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng terkait pemberitaan dugaan plagiasi yang dilakukan oleh Rektor Unnes Fathur Rokhman. Selain itu, Muhammad Yusro Hasibuan sebagai redaktur jangkau.com juga ditahan oleh penyidik Subdit Cyber Crime Polda Sumut lantaran disangka telah mencemarkan nama baik Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andriato.

Pembungkaman jurnalis dengan UU ITE memang sangat efektif dalam mengebiri media massa. Pihak yang tidak terima dengan berita di media massa dapat langsung melaporkannya ke polisi lewat pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian atau berita bohong dalam UU ITE. Padahal UU Pers memiliki sifat lex specialis, artinya apabila terdapat karya jurnalistik yang terbukti salah dapat dilakukan koreksi melalui karya jurnalistik lainnya dan bukan langsung menjadikannya sebagai suatu tindak pidana.

Dikutip dari Kompas.com, kasus pencemaran nama baik melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga berbuntut Febi Nur Amelia dijebloskan ke dalam bui. Pasalnya Febi yang menagih utang kepada Fitriani Manurung (istri Kombes Ilsarudin) melalui media sosial tersebut disangka melakukan pencemaran nama baik. Alih-alih uangnya kembali, Febi justru harus mendekam dalam jeruji besi selama dua tahun.

Kasus yang menempati posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian lewat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU No.19/2016 yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ganjaran kepada pelaku yang terbukti melakukan ujaran kebencian akan diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk membungkam kebebasan berpendapat dialami oleh mantan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Robet disangka telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Lantaran orasinya sambil bernyanyi mengkritik militer yang mulai masuk ke ranah sipil di depan istana negara, membuat Robet dianggap melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

Baca juga: Seluk Beluk Hukum Aborsi di Indonesia

Selain Robet, jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya karena dugaan ujaran kebencian.Cuitannya via akun twitter tentang Papua pada 23 September membuatnya harus berurusan dengan kepolisian.

Bahkan baru-baru ini, seniman tanah air I Gede Ari Astina atau Jerinx dilaporkan ke Polda Bali oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lantaran unggahannya di instagram yang menyebut IDI sebagai kacung WHO. Lantaran unggahannya tersebut, penabuh drum Superman is Dead (SID) terancam pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sekaligus membuatnya terancam bui enam tahun dan denda satu miliar rupiah.

Selanjutnya kasus yang melanggar kesusilaan pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Jika pelaku terbukti melanggar pasal tersebut, maka akan diganjar dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Kriminalisasi lewat pasal ini dialami oleh Baiq Nuril Maknun. Mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram tersebut menjadi korban pelecehan dari atasannya. Namun Baiq Nuril justru sekaligus diseret dalam kasus pelanggaran UU ITE lantaran ia disangka telah menyebarkan rekaman pembicaraannya dengan mantan Kepala SMAN 7 Mataram yang diduga mengandung unsur asusila. Dalam putusan MA, Baiq tetap dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama enam bulan dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta.

Kasus di atas merupakan sebagian kecil dari deretan besar kasus pidana UU ITE. Tren kasus pelanggaran terhadap UU ITE semakin bertambah. Kondisi ini tentu menjadi sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap perkembangan kebebasan berpendapat kita. Jika hal ini terus dibiarkan, tidak mustahil akan semakin marak terjadi kriminalisasi dan penyalahgunaan UU ITE. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah apabila ancaman pasal karet UU ITE ini dipergunakan untuk menyerang kebebasan berpendapat dalam dunia akademik.

Apabila dunia akademik ikut dibungkam maka runtuhlah kebebasan berpendapat suatu negara. Undang-undang dibuat tentu memiliki tujuan untuk melindungi hak seluruh warga negaranya, serta untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat. Di era digital yang segalanya serba cepat, akan menjadi keuntungan apabila kita mampu memanfaatkan teknologi tersebut dengan bijak, sekaligus akan menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri jika digunakan dengan sembrono. Mau dibawa kemanakah UU ITE kita? Harapan besar kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk segera membenahi pasal karet dalam UU ITE dan memberikan penafsiran yang jelas supaya tidak ditafsirkan secara sembrono untuk kepentingan individu tertentu yang keberadaannya mulai terusik. (SJ)

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 

 

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Sudarti

Master

Seorang Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Syari’ah Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah menjadi Sahabat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2019, Magang di Kejaksaan Negeri Sleman pada tahun 2017.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals