Selalu ada bahasan menarik ketika Islam ditempatkan sebagai objek ilmu pengetahuan. Apalagi sambil mengenang romantisme sejarah, saat Islam mampu memimpin peradaban di abad pertengahan. Seiring perjalanan waktu yang akhirnya mengubah keadaan, kita masih bisa sedikit bahagia jika mengingatnya. Padahal berterima kasih kepada aktor-aktornya pun tak pernah. Baik berterima kasih dalam bahasa agama maupun dalam bahasa keilmuan.
Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebuah PTAIN senior, upaya mendapatkan masa-masa gemilang itu sudah dikonsepkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Konsep tersebut termaktub dalam pendekatan Studi Islam ala UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa dikenalkan kajian Islam melalui pendekatan bayani (tekstual-formalistik), burhani (sosial-humaniora), dan irfani (tasawuf-spiritual).
Hasil konfigurasi dari ketiganya menghasilkan sebuah paradigma yang digadang-gadang dapat membawa perubahan dalam dunia keilmuan Islam; Integrasi-Interkoneksi. Setiap kali mendengarnya, seketika akan muncul gambaran sosok Prof. M. Amin Abdullah, rektor yang pernah menjabat pada masa peralihan IAIN ke UIN.
Gagasan integrasi-interkoneksi mulai mencuat embrionya sekitar tahun 2000-an. Satu dua tulisan dilahirkan dari tangan Pak Amin hingga kemudian gagasan-gagasan itu dikonstruksikan dalam paradigma yang menjadi simpul keilmuan UIN Sunan Kalijaga, dengan memposisikan Al-Quran dan Sunnah sebagai core values berbagai keilmuan semesta (termasuk ilmu agama).
Tidak mudah, hasil elaborasi keilmuan kontroversial yang dilakukan Pak Amin harus dibayar mahal. Faktanya peristiwa saat konversi IAIN menjadi UIN selalu dikenang oleh pelaku sejarahnya. Mulai kenangan yang positif sampai yang paling negatif. Mulai dari perdebatan panjang dalam ranah keilmuan sampai aksi-aksi jalanan yang khas. Singkat cerita kemudian paradigma ini dipatenkan sebagai identitas kampus sampai hari ini.
Perubahan paradigma keilmuan, sebagaimana yang diungkapkan Kuhn, tidak bisa dicapai dengan waktu yang sebentar. Meskipun Kuhn sendiri menamakan shifting paradigm dengan istilah ‘revolusi’, perubahan yang radikal dan progresif. Namun perubahan tersebut tidak akan semudah yang dibayangkan. Imre Lakatos, yang pernah melakukan simposium bersama Kuhn dan Popper memberikan kritik bahwa gagasan revolusi ilmiah Kuhn terlalu utopis. Sebagai counter-nya, Lakatos mengusulkan program riset.
Sekarang mari kita tarik ke fenomena yang ada di UIN Sunan Kalijaga. Paradigma integrasi-interkoneksi yang diperjuangkan ‘mati-matian’ oleh Pak Amin and friends hingga dijadikan ‘kebenaran’ oleh masyarakat ilmiah di UIN kini mengalami dilema berkepanjangan. Persoalannya, paradigma tersebut, selepas Pak Amin turun dari jabatannya, terkesan tidak diurus.
Penulis menemukan beberapa fakta menggelikan di beberapa fakultas saat dosen mencoba menerapkan paradigma integrasi-interkoneksi. Alih-alih mengintegrasikan keilmuan agama dan umum, yang terjadi malah ‘ayatisasi’. Sebuah ilmu dianggap islami saat sudah mencantumkan ayat Al-Quran atau Sunnah.
Bukan mencoba mengintegrasikan tetapi justru semakin mendikotomi keilmuan agama dan umum. Bahkan memposisikan ilmu agama sebagai bumbu pelengkap ilmu umum.
Sosialisasi paradigma tidak pernah digencarkan lagi melalui seminar dan forum-forum ilmiah. Kecuali oleh mahasiswa baru, yang dengan berpusing-pusing ria mencoba memahaminya dalam mata kuliah Pengantar Studi Islam. Bagaimana tidak, bahasa yang digunakan Pak Amin cukup sulit dipahami terutama bagi lulusan SMA/sederajat yang masih gemetar saat dibentak panitia ospek.
Sementara kakak kelasnya yang sudah meluas wawasannya, merasa tidak perlu lagi menjiwai paradigma tersebut. Padahal alternatif konsep itu tidak disusun tanpa ikhtiar. Ada pembacaan serius tentang sejarah epistemologi pengetahuan yang ada di Islam dan Barat.
Dalam The Structure of Scientific Revolution, Kuhn mengatakan “Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khazanah daripada anekdot atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra ilmu pengetahuan yang merasuki kita sekarang”.
Paradigma yang diusung Pak Amin adalah salah satu khazanah keilmuan (khazanah, bukan sekedar angin lalu dalam lintasan sejarah) yang sudah sepatutnya dikembangkan terutama oleh shohibul hajat, para civitas akademika UIN Sunan Kalijaga sebagai tanggung jawab ilmiah.
Walhasil, barangkali Pak Amin dan komunitas ilmiahnya saat ini sedang kelelahan dan kesepian. Barangkali mereka juga merasa lelah karena kontribusinya hanya dijadikan simbol tanpa dijiwai oleh masyarakat ilmiah UIN Sunan Kalijaga. Dan sekali-kali merasa haru saat penerimaan mahasiswa baru, ketika mahasiswa menyanyikan Mars UIN.
Maka alternatif yang mungkin bisa dilakukan hari ini adalah usulan Imre Lakatos, yakni aplikasi paradigma tersebut melalui program riset. Melalui penggalakan kembali spirit integrasi-interkoneksi dalam berbagai aktivitas ilmiah di lingkungan kampus. Dengan demikian, paradigma ini bisa segera diwujudkan, kemudian mampu bertahan, serta tidak hanya berada di tataran utopis.
kok sedang menempuh S2 Hukum Islam ?