Selain Ihyâ Ulumuddîn, ada pula kitab karangan Imam Al-Ghazali yang sering kali dikaji dibeberapa pondok pesantren pada umumnya. Pembahasannya yang relatif mudah, cocok dipelajari untuk kalangan pemula, Bidâyah al-Hidâyah namanya.
Kitab tersebut di-syarahi salah satunya oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantanî, seorang ulama terkemuka yang berasal dari Kota Banten, dan diberi nama Maraqi al-Ubudiyyah. Isinya adalah menjelaskan tentang adab dan wejangan-wejangan Imam Al-Ghazali untuk para pencari ilmu agar tidak salah menetapkan niat. Hal ini selaras dengan hadis yang masyhur:
اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya”
Berikut salah satu pesan Imam Al-Ghazali di dalam kitab Bidâyah al-Hidâyah:
“Wahai orang yang sedang berkonsentrasi mencari ilmu, tunjukkanlah bahwa engkau benar-benar senang dan cinta akan ilmu dan perbaikilah niat kalian. Bila engkau mencari ilmu hanya ingin berdebat, saling berbangga-bangga, dan mencari perhatian manusia, maka engkau sebenarnya berusaha merusak agamamu, mencelakai dirimu, dan menjual akhiratmu dengan duniamu. Sebaliknya jika niatmu hanya semata-mata ingin mendapatkan rida dan petunjuk dari Allah SWT, maka berbanggalah engkau sebab di saat itu para malaikat akan menghempaskan sayapnya sebagai alas berjalanmu menuntut ilmu dan seluruh ikan yang ada di lautan seraya memohonkan ampun untukmu.”
Baca juga: Ciri-Ciri Ilmu yang Bermanfaat Menurut Imam Al-Ghazali |
Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya memperbaiki niat sebelum menuntut ilmu, agar kelak dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat. Oleh karenanya, Nabi Muhammad SAW selalu berdo`a:
اللَّهمَّ اِنِّي اَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَعَمَلٍ لَا يُرْفَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusu`, amal yang tidak diterima, dan do`a yang tidak didengar.”
Di samping itu, Rasulullah SAW juga bersabda:
من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله الا بعدا
“Barang siapa yang bertambah ilmunya, sedangkan hidayahnya (amalnya) tidak bertambah, niscaya dia tidak bertambah dekat melainkan bertambah jauh dari rahmat Allah SWT.”
Dua hadis itu memberikan isyarat kepada kita bahwa salah satu ciri ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat menambah rasa takut kepada Allah SWT. Kata “takut” di sini multitafsir, ada yang mengartikan takut sebagai manifestasi dari bertambahnya taat akan perintah Allah SWT dan semakin menjauhi larangan-Nya. Pendapat lain mengartikannya sebagai perasaan takut akan siksa Allah SWT, karena paling pedihnya siksa kelak di akhirat adalah orang yang tidak bermanfaat ilmunya. Sesuai dengan sabda Nabi SAW;
اَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Manusia yang paling berat siksanya di akhirat adalah orang alim yang yang mana Allah SWT tidak membuat manfaat akan ilmunya”
Selain hadis Nabi SAW di atas, Ibnu Ruslan dalam nadzam fikih-nya yang berjudul Matan Zubad, mengatakan;
فَعَالِمٌ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ * مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الوَثَنِ
“Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka ia akan disiksa terlebih dahulu sebelum para penyembah berhala”
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِعِلْمٍ يَعْمَلُ * اَعْمَالُهُ مَرْدَوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ
“Orang yang beramal tanpa didasari dengan ilmunya, maka amalnya ditolak dan tidak diterima.”
Baca juga: Spiritualitas dan Pemikiran Rasionalitas Imam Al-Ghazali |
Oleh sebab itu, pada bagian akhir pengantar (muqaddimah) kitab Bidâyah al-Hidâyah, Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan para pencari ilmu ke dalam tiga golongan;
Pertama, golonganal-faizîn (orang-orang yang beruntung). Ia adalah orang yang menjadikan ilmunya sebagai bekal perjalanan menuju akhirat, dan menjadikan niatnya mencari ilmu sebagai jalan untuk memperoleh rida dan petunjuk Allah SWT.
Kedua, golongan al-mukhatirîn (orang-orang yang bertaruh). Ia adalah para pencari ilmu yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk meraih kekuasaan, jabatan, dan harta di dunia. Sejatinya ia merupakan orang yang alim, namun mencelakai dirinya dengan niat yang sangat hina yaitu memanfaatkan ilmunya hanya untuk kepentingan duniawi.
Dengan demikian, jika mau bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka masih bisa masuk dalam golongan yang pertama. Sebaliknya, bila sampai ajalnya tiba ia belum bertaubat, maka dikhawatirkan mati dalam keadaan sûul khatimah, dan semuanya hanya Allah SWT yang bisa memutuskan.
Ketiga, golongan al-halikîn (orang-orang yang celaka). Ia adalah orang yang mencari ilmu, namun jiwanya sudah dikuasai oleh setan. Menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk memperbanyak harta, meraih jabatan yang tinggi, mencari pengikut, dan menipu demi kepentingan pribadinya.
Ia merasa dirinya memiliki kedudukan khusus di sisi Allah SWT, karena penampilannya dan tutur katanya seperti para ulama salafûs shâlih, padahal ia begitu rakus akan dunia. Sudah barang tentu golongan yang ketiga ini jauh dari hidayah-Nya, meski ia telah merasa dirinya tergolong orang-orang baik.
Golongan ketiga inilah yang masuk dalam hadis Nabi SAW:
اَنَا مِنْ غَيْرِ الدَّجَّالِ اَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجَّالِ فَقِيْلَ وَمَا هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ عُلَمَاءُ السُّوْءِ
“Ada yang paling aku takutkan dari kalian dibandingkan Dajjal. Lalu para Sahabat bertanya ‘apa itu wahai Rasulullah SAW?’, Ulama Sû`, jawab Nabi.”
Baca juga: Fenomena Ulama Dunia (Ulama Su’) |
Al-Ghazali memberikan komentar bahwa tujuan sebenarnya Dajjal hanyalah menyesatkan manusia. Berbeda dengan ulama sû’, sekalipun dengan lisannya dia mengajak manusia untuk menjauhi kesenangan dunia, namun pada hakikatnya ia mengajak orang-orang untuk cinta kepada dunia dengan perilakunya dan omongannya yang hanyalah tipuan semata. Sebab pada dasarnya tabiat manusia lebih mengikuti tingkah laku dibandingkan ucapan.
Oleh karenanya, Al-Ghazali berpesan langsung kepada para pencari ilmu, “jadilah kalian golongan yang pertama, hati-hatilah jangan sampai kalian masuk pada golongan yang kedua. Karena banyak orang yang selalu menunda-nunda taubatnya untuk memperbaiki niatnya mencari ilmu hingga ajal menjemputnya, maka rugilah kalian. Awas-awas jangan pernah kalian masuk dalam golongan ketiga, sebab jika engkau masuk pada golongan ini, maka tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dan ditunggu kebaikannya.” Wallahu `Alam Bissawab. []
Sumber: Kitab Maraqil Ubudiyyah Syarh Bidayatul Hidayah, karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantanî dan Kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments