Ashabul Kahfi
Gua ialah simbol riyadhah dan perenungan
Sejak masa yang padam hingga cahaya benderang Sang Nabi akhir zaman
Gua meneguhkan atap alam, dinding yang mendekatkan tanah
Tempat dahi merumuskan hati, kepada Sang Khaliq hamba merendah
Di saat pikir resah dan hati gelisah tampaknya kekacauan
Karena melihat arah manusia menjauh dari jalan Tuhan
Di saat solusi buntu menghadang dakwah para Nabi
Gulana yang melanda, menyepi mendekat kepada Ilahi
Sejak setelah Nabi Musa di salah satu gua dari kaki gunung Thursina
Sebelum Nabi Isa di masanya
juga sebelum Nabi Muhammad di gua Hira
Pernah bersembunyi Ashabul Kahfi
di gua dari Gunung Naglus, Turki
Yang dulu Washid, pintunya oleh Qithmir dijaga
Di gua Nabi Musa berbicara kepada Allah dan menerima Taurat
Di gua Nabi Muhammad mengeja wahyu pertamanya
dan Washid ialah saksi kesungguhan tujuh pemuda mempertahankan keimanannya
Kisah pemuda-pemuda itu diabadikan dalam Al-Qur’an
Mengabarkan kemukjizatannya tentang kabar masa silam
Mereka menjadi lambang kuasa Tuhan
Ditidurkan oleh-Nya hingga bertahun-tahun, lamanya tiga ratusan
Kisah mereka adalah isyarat nyata,
Bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, Tuhan kita
Keimanan kita diuji olehnya
Agar kita tidak meragukan kedigdayaan-Nya
Lamongan, 7 Ramadhan 1441
*Dimusikalisasikan dalam program SPAZI (Sekolah Persiapan Akhir Zaman dengan Ilmu dan Iman), MI Narrative Quran, Lamongan.
Baca juga: Ashabul Kahfi sebagai Fenomena Ujian Iman |
Tumpah Kopi di Sarung Sang Wali
Pagi berdiri pada matahari
Sajadah sudah tidak zaman menampung simpuh
Tidak lagi subuh
Giliran udara meniup jati diri
“Tuang itu, sebelum Ajengan tiba tetiba di sini!”
Sebelum sarung berkelebat singgahi kursi
Sudah, tertata yang kosong
Sengaja untuk Sang Wali
Wejangan hari ini tentang ‘hakikat mengisi’
Di tengah persiapan, ketika kesibukan masih tentang bersiap
Kedatangannya memang sudah tidak mengherankan
Kekagetan telah sigap
Namun awam, tidak tertolong gusar
Sibak rambutnya menampar gelas cangkir terlempar
Buyar bidak meja mengguyur
Tumpah kopi di sarung Sang Wali
“Inilah hakikat mengisi”
Sang Wali raib lagi
Baca juga: Jalan Menjadi Wali |
Tak Ada Lagi Wali
Sudah bungkam padam
Pendar gemintang penghujung malam
Mufakat menyulut murka
Pun meredakan denyut surge
Laku puji mengagungkan nama-Nya belaka
-atau malah
Mengaduhkan kecewa yang sayatnya tak seberapa
Ya, luka tersaji di selanya
Namun munajatnya ujud keegoisan hamba
Wali derajat apa akan tercapai
Secercah wereng ingusan pun menakuti
Yakin pun tak sampai
Tak usah pusara mendikte “Ajal bin Pasti”
Maka, tak ada lagi wali
Kecuali mereka yang mengisyaratkan
Kebaikan untuk bersama dan jama’i
Kesiagaan menjadi fardhu bagi Sang Wali
Jadilah wali
Atau jadilah saja petani
Lamongan, 11 Syawal 1441
0 Comments