Namaku Tommy, namun seluruh penghuni bumi memanggilku “Max”. Jika memang masih tersisa, mungkin keluargaku sendiri yang masih memanggil nama asliku.
“Max” terdengar keren. Bukan karena apa, tapi setiap dipanggil aku selalu teringat kepada tokoh kontroversi, yakni: Karl Marx. Barangkali panggilan itu datang begitu saja sebab orang menganggap aku mirip dengannya. Bukan dalam bentuk wajah atau gimana, tapi dalam berpikir. Karl Marx menganggap agama itu candu, aku menganggap cinta lebih candu. Cinta, satu kata yang menjadi berjuta kalimat panjang, cerita panjang, dengan kisah yang beragam. Senang, susah, suka, duka, dengan segala lika-likunya.
Baca juga: Dari Cinta hingga Kecewa |
Kata orang, cinta itu indah. Tapi mengapa orang yang sering kita sakiti, dan yang sering menyakiti kita justru orang yang kita cinta. Namun meski begitu, manusia tak ada hentinya jatuh cinta. Manusia selalu candu pada cinta. Entahlah, tapi memang begitu kenyataannya.
Di pagi setengah siang ini, mataku nampaknya sedikit perih. Awalnya kukira karena pancaran sinar matahari, ternyata bukan. Mataku lelah; ia lelah semalaman menahan air mata agar tak setetespun berani jatuh. Aku laki-laki, dididik sejak kecil oleh bapak-ibukku agar tak pernah sekalipun menangis. “Biar dunia ini seperti apa bentuknya, permasalahannya, kekacauannya, cukup air hujan yang turun. Air matamu jangan! Pantang itu, Nak.” ucap Bapak sesekali waktu.
Semalaman aku menahan air mataku agar tak jatuh, sebab semalaman pula aku menulis cerita singkat tentang kisah yang sedikit mampu membuatku terharu malam itu. Tentang dunia mahasiswa yang katanya berisi buku, cinta, dan pesta. Tentang batu keras di atas leherku dan lehernya. Tentang aku, dia, dan sepenggal kisah kita.
Agaknya, perlu kuperkenalkan juga di sini. Namanya Dewi, salah satu mahasiswa kampus putih—orang menyebutnya—di Jogja. Ia juga salah satu aktivis di organisasi entah apa aku lupa namanya. Paras cantik, cerdas, giat, dan baik tentunya. Namun kehidupannya hanya dipenuhi dengan kelas, tugas, rapat, politik, konsolidasi, demo, memperjuangkan hak-hak yang dirampas katanya, juga tahta ternyata.
Berbeda dengannya, aku justru cenderung sensitif dengan hal-hal tersebut. Duniaku hanya menulis dan membaca—meski tak sering. Jika ada persamaan di antara kita, paling itu cuma status mahasiswa dan cinta. Ya, kita bertemu, dia jatuh cinta dan akupun begitu awalnya. Namun semua terkikis sedikit demi sedikit, hanya tinggal sakit.
Dulu kita sering bertemu, bertatap muka, bercerita, berbicara perihal rasa, tertawa bersama, makan berdua, mengerjakan tugas bersama, dan begitulah aku dan dia yang mungkin bisa dikatakan pernah menjadi kita.
Jika dengannya, aku selalu berbicara mengenai hal-hal sepele yang barang kali bisa kita tertawakan. Namun aku selalu memilih tidak banyak kata jika dia mulai berbicara tentang hak-hak perempuan yang katanya harus diperjuangkan, tentang ketidakadilan yang harus ditegakkan, tentang organisasi dengan segala kebisingannya, tentang perjuangan yang selalu kuberi stigma ‘omong kosong’, dan seterusnya.
Lalu hari ini, aku akan bertemu kembali dengannya. Jam 12 tepat, harus tepat waktu sebab nanti sorenya dia ada rapat. Kami bertemu di salah satu kafe di Jogja. Hanya untuk berbicara tentang kenapa aku berubah. Ya, akhir-akhir ini aku memang berubah. Aku mulai menjaga jarak, sebab berbagai alasan tentunya. Namun hal yang paling penting, aku mengerti bahwa dia sedih, sangat sedih bahkan. Tentu semua itu sebab sikapku yang berubah.
Tak tahu mengapa aku selalu mudah jatuh cinta, juga sebaliknya; mudah melupakan lalu menghilang. Begitulah aku, yang sekarang ini mulai menjaga jarak dengannya. Aku memutuskan sedikit demi sedikit melupakan dan pada akhirnya menghilang.
“Kenapa kamu?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Aku kenapa?” tanyaku balik
“Kamu berubah”
“Tidak, pikiranmu saja” jawabku singkat.
Dia diam tak melanjutkan. Namun aku tahu, ada banyak pertanyaan di kepalanya. Aku juga mengerti bahwa tak semua pertanyaan perlu dijawab. Bahkan jika aku menjawabnya, seminimal mungkin harus ada yang masih kusimpan; untuk diri sendiri, meski Tuhan tahu. Dan pertemuan itu selesai dengan kepalanya yang masih penuh tanda tanya dan juga kepalaku yang masih penuh batu.
Waktu terus berlalu, hari terus berganti. Aku mengerti, matahari pergi untuk datang kembali, namun aku tak mengerti sampai kapan aku pergi, mungkin selamanya, mungkin juga tidak. Yang pasti, semakin aku menjauh, semakin dia mendekat.
Baca juga: Antara Filsafat dan Perasaan Perempuan |
Sebagai manusia, bingung merupakan suatu kewajaran. Tapi pernah kah kalian bingung tanpa mengerti apa yang dibingungkan? Begitulah kiranya aku saat ini. Aku memutuskan menjauh, namun aku juga merasakan ada sesuatu yang hilang. Siapa yang hilang? Apa yang hilang? Dia bersama cintanya.
Jujur, aku pernah ‘berdampingan’ dengan banyak perempuan. Tapi aku tidak pernah di posisi seperti ini, aku tidak pernah dicintai setulus ini. Kau tahu? tanah yang kita injak-injak dan kita buangi kotoran itu justru menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang segar, menumbuhkan bunga-bunga yang indah nan harum, bahkan dialah yang memeluk jasad kita ketika kita mati. Begitulah dia—Dewi—yang kuinjak-injak, yang kuhancurkan, yang kusakiti. Namun justru mawar indah yang ia tumbuhkan, dengan cinta sebagai tangkainya.
Pertanyaanku saat ini, Bagaimana jika nanti aku kembali mencintainya lagi? sedang dia sudah benar-benar pergi, membawa cinta dan luka kami.
Bersambung…
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Dihhh. Bersambung pula…🙃
Wkwk sabar Mbak, doain semoga berkelanjutan hehe
Mbak Dewi mungkin suka es krim dan coklat, Mas Max. Tapi pastinya Mbak Dewi lebih suka kepastian, heuheuheu
Hehe es krim lebih segar Mas
kepastian lebih menenangkan mas wkwk