Keagamaan sudah menjadi bagian penting yang tidak dapat lepas dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Dalam sejarah keberagamaan manusia, berkumpul bersama atau berjamaah dalam melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian penting yang tak terpisahkan.
Secara teologis, para penganut agama berkeyakinan bahwa ritual agama yang dilakukan secara bersama-sama dapat memberikan nilai pahala “lebih” dibanding ibadah yang dilakukan secara personal seperti contoh salat sendiri di rumah dan salat berjamaah di masjid nilainya jelas berbeda, hal ini akan menjadi persoalan teologis ketika masa pandemi Covid-19 yang kemudian muncul larangan bagi seluruh umat beragama untuk tidak melaksanakan ibadah secara kolektif dan dihimbau melaksanaan peribadatan di rumah.
Secara sosiologis, melaksanakan ritual keagamaan secara berjamaah dianggap berbeda dengan ibadah sendiri karena ibadah yang dilakukan dengan berkumpul bersama mampu menghasilkan energi kolektif yang hanya muncul jika sekelompok orang melakukannya secara bersama-sama. Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis dalam bukunya “The Elementary Forms of the Religious Life” (1912) menyebutnya dengan istilah Collective Effervescence atau Euforia Kolektif. Semacam energi khusus yang luar biasa yang muncul di saat orang berkumpul bersama. Euforia kolektif yang muncul ini berfungsi dalam menyatukan dan menciptakan perasaan emosional di antara mereka yang berkumpul.
Euforia kolektif semacam ini dapat pula ditemukan meskipun bukan momen religius atau hal yang profan. Sebut saja dalam pertandingan turnamen bola voli dan sepak bola. Itu yang menjawab kenapa seseorang akan lebih senang menonton pertandingan di lapangan secara “berjamaah” dibanding menonton sendiri di depan televisi. Hal ini karena ada sesuatu yang dirasakan diyakini bahwa ada energi atau sesuatu yang dianggap “spesial” saat dilakukan secara bersama-sama, berkumpul bersama memberikan support kepada tim yang didukung akan memberikan semangat tersendri. Demikian halnya ibadah. Itu juga yang akhirnya menjawab, kenapa seseorang menemukan kenyamanan saat melaksanakan ibadah berjamaah dibanding ketika dirinya melaksanakan Ibadah secara personal.
Sendi keagamaan itu menjadi terbatasi, ketika Pandemi Covid-19 hadir dan memberikan perubahan bagi tatanan sosial masyarakat, tatanan yang sudah dipersiapkan secara matang seketika berubah saat wabah ini muncul. Terhitung hampir semua negara di dunia berusaha menghadapi kehadiran virus ini. Tidak sedikit korban meninggal dunia karena terjangkit Covid-19, hal ini dikarenakan penyebarannya yang begitu cepat, sehingga kemudian banyak negara di dunia memberikan kebijakan Phisycal distancing yakni dilakukan pembatasan dalam aktivitas kehidupan sosial bermasyarakat. Konsekuensinya adalah segala bentuk peribadatan yang dilakukan bersama-sama akhirnya harus dihentikan untuk sementara.
Baca Juga: Transformasi Pendidikan dan Keberagamaan di Era Pandemi |
Pandemi Covid-19 memberikan dampak begitu besar, pertama dampak teologis karena ada pembatasan untuk melakukan ibadah secara berjamaah, kedua, sosial ekonomi masyarakat menjadi tidak stabil, hal ini karena ada kebijakan untuk melakukan Phisycal distancing bahkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), menyebabkan pendapatan masyarakat menjadi menurun.
Pandemi Covid-19 tidak hanya memberikan kerugian bagi masyarakat dan negara, namun juga memberikan guncangan sosial yang begitu besar, krisis kemanusiaan pun terjadi di mana-mana. Krisis ini telah memberikan pembelajaran dan pesan kepada umat manusia, bahwa rasio yang selama ini diyakini sebagai sumber pengetahuan sejak masa renaisans kini mengancam tatanan dunia dan kehidupan manusia itu sendiri.
Joko Pamungkas “Jangan Korbankan Kelelawar” dalam Kompas 20 Maret 2020 mengemukakan bahwa para ahli virus berpendapat Covid-19 tidak berdiri sendiri. Covid-19 adalah mutasi virus melalui banyak faktor. Salah satu faktor ialah pemanasan global, yang disebabkan oleh makin punahnya keragaman hayati. Kepunahan keragaman hayati itulah yang menyebabkan siklus kehidupan mengalami gangguan serius yang dapat membawa musibah. Salah satunya krisis kemanusiaan global yang disebabkan oleh covid-19. Kesadaran epistemologis keilmuan pun tidak cukup mempertimbangkan kesadaran hidup yang bersifat siklus.
Saatnya umat manusia kembali merenungkan diri dan menanyakan pada rasionya. Jangan-jangan rasionya itu selama ini lebih dikendalikan oleh egoisme dirinya sendiri dan tidak pernah menghitung kehidupan ciptaan Allah yang lain seperti keragaman pepohonan, sungai-sungai, dan berbagai jenis keragaman hayati yang sedianya memiliki hak hidup juga seperti manusia.
Fungsi Agama
Agama selain menjelaskan tentang hubungan manusia dengan Tuhan (Hablu Minallah), dalam banyak hal juga membincang hubungan manusia dengan sesama manusia (Hablu Minannas), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitar (Hablu Minal Alam).
Hal ini juga menjadi bukti bahwa fungsi agama tidak hanya sekadar sebagai jalan spiritualitas personal manusia mencapai Tuhan namun juga diyakini juga memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial beragama inilah yang justru sering dilupakan.
Baca Juga: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 |
Dalam masa pandemi Covid-19, umat beragama tidak hanya diharuskan memahami rukun iman secara virtual, namun juga rukun iman secara horizontal seperti: (1) keharusan untuk selalu berbagi kepada semua orang yang membutuhkan, (2) selalu bersabar dalam menghadapi pandemi Covid-19, (3) konsisten dalam melakukan sesuatu yang baik dan memberikan maslahah bagi orang lain, (4) mampu mengontrol emosi, tidak mudah menyalahkan orang lain atas situasi ini, (5) menjaga hubungan baik dengan semua orang.
Berbicara agama adalah berbicara tentang keyakinan (beliave) spiritual yang sejatinya membantu banyak orang melewati pandemi ini, keyakinan spiritual ini juga dapat memberikan ketenangan psikis bagi mereka yang terkena dampak pandemi covid-19.
Agama menawarkan bantuan praktis dan spiritual terutama di tengah wabah, untuk kesekian kali dapat disaksikan bagaimana seluruh lembaga agama melaksanakan kegiatan keagamaan, seperti: Istighosah dan mengaji yang dilaksanakan secara online, hal ini dilakukan dengan harapan Allah SWT memberikan kesembuhan bagi mereka yang terjangkit Covid-19 serta semoga wabah ini segera hilang dari bumi.
Di samping itu, agama dan pemuka agama juga dianggap mampu memainkan peranan penting, di antaranya, mereka dapat memberikan ketenangan bagi para umat beragama agar tidak merasa khawatir dengan pandemi Covid-19, selain itu, mereka juga tetap melaksanakan kegiatan keagamaan secara online, sehingga dapat ditonton serta dijadikan sebagai bahan perenungan bersama.
Di masa pandemi, agama akan tetap terus ada. Sejarah membuktikan bahwa meski berbagai Pandemi telah hadir namun agama tetap bertahan di muka bumi. Yang perlu dilakukan umat manusia atau umat beragama adalah fleksibel dalam beragama. Hal ini penting untuk memastikan kehidupan umat manusia.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments