Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad ibnu Abdul Halim ibnu Muhammad ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M) lahir di Haran dekat Damaskus Syria dari keluarga ulama, pemikir Muslim yang sangat berpengaruh di dunia Islam dalam bidang aqidah, ibadah, politik, sosial, ekonomi, dan tajdid, serta ijtihad. Nurcholish Madjid menulis disertasi, “Ibn Taimiyya on Falsafah and Kalam.”
Di antara murid-murid Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya ialah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Katsir, Syah Waliyullah, Muhammad ibnu Abd al-Wahhab, pendiri gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Tokoh yang disebut terakhir menulis, “Tidak kami jumpai dalam berbagai kitab ulama yang memadukan naql dan ‘aql lebih bermanfaat daripada buku-buku Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim. Aku tak puas memegangi madzhab salaf secara detail, kecuali setelah berulang menelaah kitab-kitab mereka.”
Sikap Ibnu Taimiyyah mengenai fiqih, tasawuf, dan peranan Islam dalam sistem politik memengaruhi perkembangan pemikiran Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad di Indonesia. Gagasan menghidupkan kembali semangat ijtihad di kalangan ulama pada dasarnya merupakan ide pokok Ibnu Taimiyyah.
Dalam usia relatif muda Ibnu Taimiyyah telah hafal Alquran dan mempelajari hadis, fiqih, aqidah, dan tafsir Alquran. Dengan aneka ragam pengetahuan yang dimiliki Ibnu Taimiyyah berusaha menghidupkan kembali ajaran Islam yang diterima para sahabat abad pertama hijriyah dengan semboyan, “Kembali kepada Alquran dan Sunnah.”
Ibnu Taimiyyah berasumsi, kaum muslimin generasi pertama megah karena berpegang teguh pada pokok ajaran Islam, sedangkan pada masanya lemah dan diabaikan, tentu karena telah bergeser dari sumber Islam. Maka tugas utamanya menyeru kembali kepada Alquran dan sunnah menggunakan pemahaman kaum muslimin generasi pertama untuk menguji madzhab-madzhab, cara penalaran, dan hasil pemikiran mereka.
Ibnu Taimiyyah berinteraksi dengan para ulama fiqih, ahli tasawuf, madzhab-magzhab kalam, dan aliran pemikiran lainnya. Dengan usaha yang sering mengundang pro dan kontra, terutama fatwa-fatwanya yang tak sejalan dengan pendapat umum, tak urung ia keluar-masuk penjara.
Pulang dari melaksanakan ibadah haji tahun 692 H/1293 M Ibnu Taimiyyah membawa karangan yang mengungkap beberapa bid’ah di sana.
Ia juga mengritik ajaran mistik Muhyiddin ibn ‘Arabi dengan tulisan Haqiqah Madzhab Ittihadiyyin au Wahdatil Wujud. Kritiknya terhadap kaum sufi tertuang dalam kitab Al-Furqan baina Auliya` ar-Rahman wa Auliya` asy-Syaithan. Ia mengritik madzhab Syi’ah dalam kitab mereka Minhajul Karamah fi Ma’rifatil Imamah melalui dua jilid buku Minjahus Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqdi Kalam asy-Syi’ah wal Qadariyyah.
Ibnu Taimiyyah berpendapat, perdebatan teologis para ahli kalam bertujuan memperoleh kemenangan dan kebanggaan, bukan untuk menerangkan hakikat kebenaran dalam i’tiqad, dan tidak menambah keimanan sedikit pun. Ia berpendapat bahwa orang yang fanatik madzhab tidak berbeda dari pengikut hawa nafsu. Ia memuji Tafsir ath-Thabari, karena lebih dekat dengan jiwa Islam periode awal, sedangkan Tafsir az-Zamakhsyari bercampur dengan bid’ah dan berpedoman kepada ta`wil ‘aqli.
Ibnu Taimiyyah selalu berusaha menyelaraskan akal dengan wahyu Alquran dengan tesis, “Al-‘aqlush-shahih yuwafiqun-nash ash-sharih – Akal yang lurus sejalan dengan nash yang jelas.” Akal berfungsi untuk memahami pesan-pesan Alquran dengan saksama.
Alquran dan sunnah menunjukkan manusia ke jalan yang nyata dengan dalil-dalil yang terang. Sebaik-baik penafsiran adalah dengan Alquran, kemudian dengan sunnah, perkataan sahabat dan perkataan tabi’in.
Di antara karya-karya Ibnu Taimiyyah dalam bidang aqidah, Al-’Aqidah al-Wasithiyyah, Al-Jawab ash-Shahih liman baddala Din al-Masih, Ma’arijul Wushul ila anna Furu’ ad-Din wa Ushulaha mimma Bayyanahu ar-Rasul. Dalam bidang fiqih atau ibadah, Majmu’ Rasa`il al-Kubra, Majmu’atul Fatawa, Jawami’ al-Kalim ath-Thayyib fil Ad’iyah wadz Dzikr.
Dalam bidang tafsir, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, Tafsir Surah al-Ikhlash, Tafsir Ibn Taimiyyah. Dalam bidang hadis, Arba’un Hadits Riwayah Ibn Taimiyyah. Dalam bidang tasawuf, Risalah fis Suluk, Qa’idah fir Radd ‘ala al-Ghazali fi Mas`alati at-Tawakkul. Bidang filsafat, Ar-Radd ‘ala Falsafah ibn Rusyd al-Hafid, Nashihatul Iman fir Radd ‘ala Mantiqil Yunan. Dalam politik, As-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i war Ra’iyyah, Al-Hisbah fil Islam, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqdi Kalam asy-Syi’ah wal Qadariyyah.
Tafsir QS. Al-Ikhlash
Ibnu Taimiyyah menafsirkan ayat-ayat atau surat-surat Alquran, termasuk surah al-Ikhlash, untuk menambah penjelasan atas penafsiran ulama terdahulu. Kitab Tafsir Surah Al-Ikhlash karya Ibnu Taimiyyah terdiri atas 210 halaman. Pesan utama Tafsir Surah Al-Ikhlash ialah tauhidullah; pembersihan dan pujian kepada Allah swt dengan pola nafi dan itsbat. Allah swt Maha Esa, Sempurna dari segala kekurangan.
Tafsir Surah Al-Ikhlash menjelaskan sebab-sebab turun surah, makna ash-shamad, pandangan Yahudi tentang ‘Uzair anak Allah dan pandangan Nasrani tentang Nabi Isa anak Allah, keyakinan bangsa Arab tentang Tuhan; dasar-dasar tauhid yang bersumber dari Alquran, dan pengertian tiada sekutu bagi Allah swt.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, utusan Najran beserta tujuh orang uskup Bani al-Harts ibnu Ka’ab menghadap Nabi saw, “Terangkanlah kepada kami tentang Tuhanmu, dari apakah ia?” Nabi saw menjawab, “Tuhanku tidak dari sesuatu dan Dia jauh dari segalanya.” Maka Allah swt menurunkan ayat “qul huwallahu ahad.”
Ash-Shamad mengandung dua makna. Pertama, sesuatu yang tidak berongga, tiada bercelah, dan tidak berisi. Kedua, Tuan yang kepada-Nya segala kebutuhan disandarkan. Dialah Tuan yang sempurna kedudukannya lagi tinggi; yang sempurna kemuliaan-Nya; tak satu pihak pun di atas-Nya; tak satu pihak pun mencukupkan-Nya. Dialah yang dituju dalam pengharapan dan segala kebutuhan.
Dialah Allah swt yang tetap, kekal; tidak rusak atau binasa; melakukan apa yang Dia kehendaki; Maha Tinggi dari segala ciptaan; azali tanpa permulaan. Dialah Yang Tetap sesudah mencipta, Yang Azali tanpa permulaan; Yang Pertama tanpa bilangan, Yang Kekal tanpa batas waktu. Tiada sesuatu yang menyerupai dan setara dengan-Nya.
Ibnu Taimiyyah menulis Tafsir Surah Al-Ikhlash ketika ajaran tauhid menghadapi tantangan dan rongrongan dari kalangan Ahli Kitab yang berpandangan bahwa tuhan beranak. Latar belakang sosial politik dunia Islam yang diliputi suasana Perang Salib memberikan alasan kuat untuk mengupas tuntas Surah Al-Ikhlash. Untuk menjaga kemurnian tauhid setiap muslim hendaknya kembali kepada firman Allah swt dan sunnah Rasul-Nya.
Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya: Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag.
0 Comments