Di antara keberuntungan kuliah di Timur Tengah adalah terbukanya kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kami yang saat itu sedang di tahun ketiga Fakultas Syari’ah Al-Azhar Mesir memutuskan untuk berangkat bersama beberapa orang sahabat asal Riau dan Sumatera Barat.
Awalnya, rencana haji di tahun 2008 itu hampir saja batal. Sebab pertimbangan ujian term 1 dan beberapa aturan terkait kuota mahasiswa asing kala itu. Namun setelah melakukan istikharah dan meminta pertimbangan orang tua, dengan izin Allah panggilan itu kami tunaikan. Labbaikallahumma labbaik..
Ternyata dari sana awal perjalanan yang melelahkan dimulai. Rupanya untuk tahun itu pelabuhan Suez tidak beroperasi, semua kapal yang mengangkut calon haji diberangkatkan dari pelabuhan Safaga. Jadilah kami harus menempuh perjalanan darat dari Kairo ke Safaga kurang lebih sembilan jam.
Sampai di Safaga, kapal Wadi Niel Sudah menanti. Kami berlayar dua hari dua malam menuju Jeddah. Kapal meninggalkan pelabuhan sore hari, terapung di laut merah yang tampak tiada bertepi. Badan terpasung di dalam kapal yang tak begitu besar itu, bersama ratusan calon haji lainnya.
Kadang muncul pula perasaan, andai kapal tenggelam, alamat hancur badan anak kampung ini dimakan dinginnya laut merah, atau tercabik-cabik dikunyah ikan Hiu.
Baca juga: Hantu Tolol dan Polisi Sontoloyo |
Perasaan ini muncul karena kejadian beberapa tahun sebelumnya, kapal al-Salam yang mengangkut jamaah haji dari Mesir tenggelam di laut ganas itu. Tapi, kami sudah bulat. Mengusir risau, selalu kami ingatkan diri pada sebuah pepatah Arab:
”Siapa yang tak mati dengan tusukan pedang, pasti ia mati dengan cara yang lainnya. Berbilang sebab kematian, namun maut tetaplah satu.”
Di kapal Wadi Niel, siang malam kami lalui dengan mendaras fikih haji, kadang berbual dengan para sahabat, membaca Al-Qur’an, kadang tidur di puncak kapal beratapkan langit berselimut sarung. Kala lapar menyerang, berebut bersama-sama menyantap roti ‘isy yang sudah mulai keras, dicampur sarden mentah. Sederhana sekali, kami bahagia.
***
Saat dua jam akan melintas mikat, kapten kapal mengumumkan tiba masanya untuk berihram. Kami pun bersiap, memakai dua helai kain ihram putih. Memilih haji tamattu’, niat umrah terlebih dahulu di bulan haji, untuk nantinya kembali berihram haji di tarwiyah 8 Zulhijah.
Saat kapal merapat di pelabuhan Jeddah, dunia seolah berputar, rupanya kesan di laut masih menyisakan perasaan terombang ambing, kami diangkut ke asrama haji untuk selanjutnya melakukan perjalanan ke Mekah.
Sampai di Mekah, kami dibawa ke Hayy Kubri Misfalah, para haji koboi dari Kairo ditempatkan di sebuah rumah kecil yang hanya muat untuk seluruh tas dan koper saja. Tak bisa dijadikan sebagai tempat istirahat, walau sekadar untuk meluruskan kaki.
Akhirnya kami melakukan tawaf, sa’i dan tahallul. Selesai umrah, para backpacker ini kelaparan. Nasib baik, salah seorang senior membelikan nasi biryani, syukur alhamdulillah, selamat pula untuk beberapa jam ke depan.
Karena lelah, kami berpencar mencari tempat istirahat. Tidak di penginapan apalagi hotel. Tidur di kamar mandi (hammām) Masjidil Haram beralaskan karton rupanya nikmat sekali. Lelap. Bagai di kasur empuk hotel Dār Tauhīd atau Hilton.
Azan merdu Masjidil Haram membangunkan kami. Bergegas mandi dan salat, setelah itu berkumpul di Rado. Di situ kami merencanakan bagaimana hidup selanjutnya. Persediaan uang menipis, hari Arafah tinggal empat hari lagi. Kami sepakat, semua harus bekerja.
Dari Rado kami susun rencana; katering, dan segala macam pekerjaan kami lakukan. Hanya ada satu target (selain mabrur tentunya), bagaimana agar tetap hidup selama di Saudi dan pulang ke Kairo bisa membayar hutang.
Baca juga: Bagong dan Wabah Kremi Dunia |
Beberapa pekerjaan menjelang wukuf tuntas. Hari tarwiyah datang, kami berihram untuk haji. Berjalan kaki dari Misfalah ke Mina. Tiba di Mina mendapat tenda yang lumayan nyaman.
Esoknya hari wukuf, lanjut ke Arafah, sampai di sana melaksanakan wukuf hingga matahari terbenam. Lanjut berjalan kaki ke Muzdalifah. Sehabis subuh 10 Zulhijah kembali berjalan kaki ke Mina, melontar jumrah ‘Aqabah. Lanjut ke Mekah, tawaf ifadhah, sa’i dan tahallul. Selesai sudah haji. Kembali ke Mina untuk bermalam dan melontar di hari tasyrik. Hingga tuntas nafar awwal.
13 Zulhijah pulang ke Mekah, masih berjalan kaki dari Mina. Sampai di Mekah kami mengatur rencana untuk ke Madinah. Untungnya ke Madinah tidak harus berjalan kaki lagi, sekitar enam jam menumpang bus tua, Hafel namanya.
Sampai di Madinah kami menyewa flat kecil, sempit sekali, tapi kota Nabi sangat sejuk. Sesejuk ruhani kami yang bermandi cahaya di masjid Nabawi.
Belum selesai merasakan lezatnya saat-saat bertetangga dengan Rasulullah, datang kabar dari Kairo. Ujian term 1 tak lama lagi. Keputusan cepat, harus segera berlayar ke Kairo.
Kami datangi pihak kapal Wadi Niel, mereka jawab: “Tak bisa, kalian hanya bisa pulang di tanggal yang sudah tertera.” Galau melanda, alamat akan terlambat sampai Kairo.
Tak habis akal, kami datangi maktab Adilla’ Madinah. Memasang wajah yang layak dikasihani. Rupanya mereka kasihan juga.
Kami bisa pulang sebelum tanggal yg tertera di tiket, tidak dari Jeddah, tetapi Yanbu’. Sebuah kota pelabuhan kecil, dua jam dari Madinah. Kami bergegas ke Yanbu’, menyewa sebuah jeep besar.
Duh, rupanya pihak kapal di Yanbu’ tak mengizinkan naik. “Kalian harus ke Jeddah!” Subhanallah, semua kami terpana. Ini orang Arab bikin za’lān awiy.
Akhirnya kami tunjukkan surat taghyīr manfadz. Dia bersedia, dengan syarat semua penumpang utama diprioritaskan naik. Tinggallah kami menanti nasib.
Baca juga: Hidup Seperti Itu, Babi! |
Akhirnya dipanggil juga untuk ke kapal, pihak imigrasi memberi cap paspor kami. Tapi, sampai di pintu kapal kami diberhentikan, za’laaan wallahi.
Bagaimana tidak, paspor sudah dicap, kapal tak terima. Masuk ke Saudi lagi menjadi bid’ah, naik ke kapal jadi haram. Yang halal hanya terjun ke laut?
Akhirnya setelah negosiasi sana sini, kami diizinkan masuk. Tapi tak ada tempat, “silakan cari geladak atau sutuh kapal”.
Tak apa, yang penting kami bisa kembali ke Kairo.
Wadi Niel berlayar, menembus ombak laut merah, deburnya menampar badan kapal. Nampak lumba-lumba mengejar. Roti ‘isy kering masih setia menemani, ditambah sedikit makanan dan bazinjan goreng.
Wadi Niel merapat di Safaga tengah malam. Selamat kembali ke bumi Kinanah. Naik bus delapan jam ke Kairo, serasa kembali ke rumah sendiri.
Selang beberapa hari ujian term 1 dimulai. Ada 5 mata kuliah, semuanya selesai.
Di akhir tahun nilai diumumkan, rupanya natijah di musim haji itu yang tinggi, semuanya jayyid jiddan. Alhamdulillah. 12 tahun telah berlalu, tiada yang tersisa; hanya kenangan. (SJ)
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang cerpen di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments