Tulisan ini ingin mengenang salah satu mubaligh yang semasa hidupnya sangat gigih dalam memperjuangkan kedamaian di setiap perjalanan dakwahnya, mubaligh itu adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa.
Munzir bin Fuad Al-Musawa atau lebih dikenal dengan sebutan Habib Munzir Al-Musawa. Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Habib Munzir adalah seorang sayyid, keturunan Nabi Muhammad saw. Habib Munzir lahir di Cipanas-Cianjur, Jawa Barat pada hari Jumat 23 Februari 1972, bertepatan 19 Muharram 1392 H. Ia merupakan anak keempat dari lima bersaudara, pasangan Habib Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim Al-Musawa.
Pada tahun 1992 M Habib Munzir memulai melanjutkan pendidikan, pertama-tama ia belajar di Ma’had Al-Khairat Bekasi Timur, yang diasuh oleh Al-Habib Muhammad Naqib bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sampai pada saat itu tibalah kunjungan pertama Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim dari Yaman (Hadramaut) ke Indonesia pada tahun 1994. Adapun kunjungan Habib Umar ke Indonesia bukan tanpa alasan, melainkan untuk menyaring beberapa pemuda untuk menuntut ilmu di Tarim Hadramaut, demi memahami ajaran agama yang baik dan benar. Dan salah satu pemuda yang dikirim untuk belajar di Ma’had Darul Musthafa Tarim Hadramaut adalah Habib Munzir. Beliau kemudian belajar di sana selama empat tahun, yaitu tahun 1994 sampai 1998.
Saat setelah menyelesaikan pendidikannya di Hadramaut pada tahun 1998 Habib Munzir pun kemudian kembali ke Indonesia. Seperti diketahui bersama bahwa pada tahun itu merupakan tahun yang bertepatan dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Sebuah peristiwa yang melahirkan peristiwa-peristiwa dramatik seperti, krisis ekonomi, PHK, dan pengangguran. Hal ini tentu menimbulkan frustasi dan kekecewaan di masyarakat secara luas. Maka tidak heran jika saat itu mendorong gelombang protes baik dari mahasiswa, rakyat, LSM, dan para Intelektual (Hasan, 2008).
Seakan telah mengetahui kondisi politik di Indonesia saat itu, sang guru Habib Munzir yakni Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar telah mengingatkan Habib Munzir bahwa: “Habib Umar secara eksplisit telah melarang murid-muridnya berdemonstrasi dan ikut politik praktis” (Teguh, 2019). Maka, atas dasar nasehat dari gurunya itu, alih-alih ikut mengambil bagian dari euforia kecerian munculnya demokrasi. Habib Munzir justru memilih membangun sebuah majelis yang dikemudian hari dikenal dengan nama Majelis Rasulullah (MR). Penamaan ini menurutnya karena ajaran dan ceramah yang ia tunjukkan berkaitan dengan pesan-pesan dakwah kenabian (Rijal, 2018).
Baca juga: Jejak Langkah Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah |
Jalan Dakwah sang Sulthonul Qulub
Islam adalah agama dakwah yang memiliki nilai-nilai keagamaan dengan tujuan mengajak manusia untuk menuju Allah. Dakwah Islam sendiri bukan merupakan rangkaian kata-kata memukau yang hanya diulang berkali-kali tanpa makna dan perbuatan yang bernilai di dalamnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, Q.S. Fushshilat ayat 33: “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri”.
Dalam ayat di atas dakwah tidak hanya retorika yang berhenti pada ucapan semata melainkan harus diiringi oleh perbuatan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Islam dengan segala nilai kebaikan yang dikandungnya telah menjadikan sosok Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan yang sempurna bagi umat manusia sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Swt dalam surah Al-Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi yang mengharapkan ridho Allah dan kedatangannya hari kiamat dan banyak berdzikir kepada Allah”.
Dari ayat di atas dipahami bahwa tujuan Nabi Muhammad saw diutus ke dunia bukan tanpa alasan. Melainkan sebagai contoh bahwa hidup di dunia yang fana ini memiliki kerangka tersendiri untuk dijalankan oleh umat muslim khususnya, agar dalam menjalani hidup tidak kehilangan arah dan tujuan. Maka Allah mengutus nabinya agar secara sadar bisa meneladani laku hidup yang diajarkan. Sebab setiap orang memiliki tabiat meniru, maka sebagai seorang da’i atau pendakwah harus tampil dengan teladan yang baik. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululah saw agar yang meniru mendapatkan contoh yang baik.
Saat ini banyak sekali mubaligh-mubaligh yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Tapi anehnya seiring tumbuh dan munculnya para mubaligh itu, tetap saja banyak orang-orang yang masih mengedepankan kekerasan dan emosinya dalam menyelesaikan setiap masalah sosial dan kehidupan. Bahkan tidak jarang bila mendekati tahun-tahun politik seperti beberapa tahun sebelumnya yang kita sebut sebagai mubaligh/da’i/pendakwah justru mengajarkan atau mengajak para pengikut atau umatnya untuk melakukan tindak kekerasan baik yang sifatnya kekerasan fisik atau verbal (caci-maki).
Maka dari situ timbul pertanyaan, apa yang salah dari itu semua? Ternyata secara sederhananya adalah bahwa nilai-nilai Islam yang disampaikan itu hanya retorika belaka tanpa dipraktikkan secara konkret dalam realitas kehidupan. Maka tidak heran jika saat ini, masyarakat memiliki krisis keteladanan seorang mubaligh/da’i/pendakwah yang memiliki kemampuan untuk mengajak umatnya mencontoh teladan hidup nabi yang penuh rahmat dan kasih sayang. Sebagaimana telah diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Esensi dakwah yang dibawa oleh Habib Musnzir itu ternyata bukan retorika semata melainkan apa yang dicontohkan Rasulullah saw benar-benar dipraktikkan oleh beliu. Sebagaimana dikisahkan oleh salah seorang tetua di sebuah Masjid tepatnya di Pancoran Jakarta Selatan yang akan dijadikan tempat dakwah Majelis Rasulullah Habib Munzir memohon izin terlebih dahulu. Tanpa disangka ia (sang tetua) justru roboh seraya berurai air mata. Sembari bercerita bahwa seumur hidup dia tidak pernah didatangi seorang alim, jangankan sampai dicium tangannya. Sebagai seorang preman yang ditakuti, yang kerap datang kerumahnya adalah para preman. Tapi saat itu ketika Habib Munzir memohon izin untuk mengadakan majelis taklim di situ, alih-alih dilakukan dengan cara kasar preman itu pun kemudian dirangkul olehnya hingga ia kemudian rajin mengikuti pengajian sang habib (Teguh, 2019).
Hadirnya Majelis Rasulullah ini juga menandakan adanya sebuah revolusi majelis taklim baru dikalangan anak-anak muda perkotaan. Seperti yang disampaikan oleh Ahmad Syarif Syekh Abu Bakar dalam artikelnya berjudul “Meet the Habibs the Yaman connection in Jakarta politics” tahun 2017. Mengatakan bahwa, Habib Munzir merupakan tokoh penting yang sukses dalam melakukan revitalisasi Tariqah Alawiyyin (inti ajaran ini adalah maulid, ziarah, membaca doa-doa sufi seperti burdah, dan bermazhab Syafi’i) dari generasi pertama alumni Darul Musthafa Hadramaut. Dia dikenal karena kepribadiannya yang kharismatik dan toleran, bahkan dalam beberapa kesempatan Habib Munzir menyatakan bahwa dalam Islam diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal. (Bakar, 2017).
Baca juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Nalar Berdakwah Kita |
Bahkan Habib Munzir juga menjalin persahabatan dengan mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, dalam rangka mempromosikan nilai-nilai toleransi. Lebih lanjut dalam artikel itu dikatakan Habib Munzir menyadari fakta bahwa banyak habaib atau sayyid secara umum telah kehilangan orientasi dakwah yang menyejukkan umat. Maka di bawah Habib Munzir, melalui Majelis Rasulullah beliau menetapkan aturan dasar bagi habaib muda lainnya yang baru kembali dari Hadramaut, harus berdakwah secara santun, melarang penggunaan kata-kata yang menyinggung dalam khotbah, dan melarang penggunaan kekerasan dengan cara apapun (Bakar, 2017).
Dan hal itu nampaknya betul-betul dipegang teguh oleh Habib Munzir selama hidupnya sebagai mubaligh pejuang perdamaian dan toleransi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Ismail Fadjri Alatas (intelektual muda) lewat akun twitternya beberapa tahun lalu, yang menceritakan bahwa Habib Munzir melalui perjuangannya mencoba membuka pintu dakwah agar berbagai kalangan dapat ikut masuk, khususnya kaum muda perkotaan.
Dakwah bukan hanya milik segelintir orang yang mapan, tapi dakwah adalah proyek bersama. Anak-anak muda ibu kota, kaya/miskin, terdidik/tidak terdidik, semua harus dapat ikut serta menjaga panji Rasulullah saw. Habib Munzir mengajarkan bahwa mengikuti sang kekasih (Nabi Muhammad saw) tidak harus dengan kekerasan dan intoleran. Hanya dengan lemah lembut, santun dan budi pekerti yang baik, kita dapat menjadi duta-duta sang kekasih (Nabi Muhammad saw) untuk umat manusia (Berita, 2013).
Dalam dakwahnya, Habib Munzir tidak pernah mencampuri urusan politik sebab beliau pernah berkata: “saya berdakwah dengan mengenakan kelembutan Allah dan Rasul-Nya yang jarang dibahas oleh para da’I masa kini”. Beliau selalu mengajarkan tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah Swt bukan dalam artian harus duduk berzikir terus-menerus tanpa bekerja, tapi justru mewarnai semua gerak-gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy.
Maksudnya Habib Munzir itu adalah: “kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy. Kalau ia konglomerat, maka ia adalah konglomerat yang Nabawiy. Kalau ia pedagang, pegadang yang Nabawiy. Kalau ia petani, petani yang Nabawiy. Betapa indah keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat terwarnai dengan kenabawiyan, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat terjalin persatuan dalam kenabawiyan (Riz, 2013).
Adapun yang dimaksud dengan Nabawiy di atas, adalah membawa nilai-nilai Islam yang sesuai seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi saw. Persis seperti ayat yang telah disebutkan dalam paragraf pertama tulisan ini, bahwa Nabi diutus ke dunia tak lain sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Maka tidak heran jika dengan cara dakwah yang santun seperti yang dicontohkan Nabi saw. Habib Munzir selalu diterima pada setiap perjalanannya ke berbagai penjuru Nusantara, seperti Papua, Bali, Banyuwangi, Madura, dan luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Bahkan dengan keistiqomahan Habib Munzir di dalam berdakwah dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw. Habib Munzir Al-Musawa mendapatkan gelar Sulthonul Qulub (Sang Raja Sanubari). Sebuah gelar yang diberikan oleh gurunya Habib Umar bin Hafidz. Gelar ini bukan sembarangan melainkan hanya diberikan oleh orang-orang yang benar-benar bisa menguasai hati dan sanubari manusia, dan salah satunya adalah Habib Munzir Al-Musawa. Semoga kita semua dapat meneruskan perjuangan dan cita-cita beliau untuk mewujudkan Islam yang sejuk dan damai, sebagaimana dicontohkan oleh Sayyidina Muhammad saw.
Referensi
Bakar, A. S. (2017). Meet the Habibs the Yemen connection in Jakarta politics. Indonesia At Melbourne.edu .
Berita, E. (2013, September 16). Habib Munzir: Perjalanan Dakwah Si Anak Wartawan. Retrieved Agustus 11, 2021, from Bisnis.com.
Hasan, N. (2008). Laskar Jihad (Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde-Baru). Jakarta: LP3ES Indonesia.
Rijal, S. (2018). Kaum Muda Pecinta Habaib: Kesalehan Populer dan Ekspresi Anak Muda di Ibu Kota. AFKARUNA .
Riz. (2013, September 16). Riwayat Hidup Habib Munzir. Retrieved Agustus 11, 2021, from Liputan 6.com.
Teguh, I. (2019, September 15). Munzir al-Musawa: Habib yang menyeru Kedamaian, bukan kekerasan. Retrieved Agustus 10, 2021, from Tirto.id.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments