Pendidikan identik dengan bimbingan, tuntunan, pembelajaran, pelatihan, penggemblengan, penggodokan, dan penyadaran, serta pencerahan. Pendidikan adalah upaya sadar orang dewasa untuk mengantarkan peserta didik menjadi pribadi yang matang dan cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai kehidupan. Orang tua dan guru membantu anak-anak dan peserta didik menemukan rencana Tuhan untuk dirinya. Ki Hajar Dewantara merumuskan pilar-pilar pendidikan dengan istilah tripusat pendidikan, yakni sekolah, masyarakat, dan keluarga. Ketiganya niscaya bersinergi, sehingga menghasilkan peserta didik yang layak diandalkan oleh agama, nusa, dan bangsa.
Dunia pendidikan Indonesia mengenal sistem among yang juga berasal dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, yakni, ing ngarsa asung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani – di depan memberikan contoh, di tengah ikut bekerja, di belakang memberikan dukungan dan motivasi.
Pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari kehidupan. Puisi WS Rendra, Sajak Seonggok Jagung, mengandung kritik atas situasi dan kondisi dunia pendidikan kita.
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
Anak adalah pundi-pundi keluarga, sebagaimana difirmankan Allah swt dalam Al-Quran, Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS 18:46).
Rasulullah saw bersabda, “Peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekertinya, karena sesungguhnya anak-anakmu itu adalah amanat Allah swt kepadamu.” Dengan sedikit berbeda, Umar bin Khathab pernah berpesan, “Didiklah anak-anakmu dengan sebaik-baiknya, karena mereka akan hidup di zaman yang bukan zamanmu.”
Orang tua mengemban amanat untuk mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang maju, yakni saleh secara individual dan sosial, suka belajar, dan beramal serta mendoakan orang tua.
Dalam Islam pendidikan anak-anak dilakukan sejak prenatal, bahkan sejak seseorang memilih calon bapak dan/atau ibu generasi penerusnya di masa depan. Allah swt berfirman,
Wanita-wanita keji dan buruk akhlaknya adalah untuk laki-laki keji seperti wanita itu, dan laki-laki keji dan buruk perangainya adalah untuk wanita-wanita yang keji seperti lelaki itu pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik… (QS 24:26).
Rasulullah saw bersabda, “Seorang perempuan dinikahi atas dasar empat kriteria: agamanya, kecantikannya, hartanya, dan nasabnya. Raihlah keberuntungan dengan memprioritaskan faktor agamanya.”
Manusia adalah anak kebiasaannya. Manusia membentuk kebiasaan dan akhirnya kebiasaan itu membentuk dirinya. Dorothy Low Nolte menulis,
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Orangtua niscaya mendidik anak-anaknya dengan teladan yang baik dan sepenuh hati. Teladan itu dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dalam karyanya, Sang Nabi, Kahlil Gibran menulis, seorang ibu dengan bayi dalam dekapan datang mengajukan sebuah pertanyaan: Bicaralah kepada kami tentang anak keturunan. Maka jawabnya:
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padmu, tetapi bukan hakmu.
Berilah mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Orang-orang beriman niscaya senantiasa berdoa dengan khusyuk hati, karena sesungguhnya doa itu menghimpun tenaga dan menuntun usaha.
“Tuhan, jadikanlah pasangan-pasangan kami dan keturunan kami cendera mata bagi kami, dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa.(QS Al-Furqan/25:74).
Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya: Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag
0 Comments