Menjaga Akal adalah hal yang penting, karena manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, hal tersebut telah termaktub dalam QS at-Tin tepatnya pada ayat ke-4 yang artinya “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”, tentu kita pahami di sini bahwa manusia adalah makhluk yang berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain.
Satu hal yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah akal, dengan akal manusia mampu berfikir, berimajinaasi, dan mampu mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela. Berbeda dengan hewan yang hanya memiliki nafsu tidak memiliki akal sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu para ulama sepakat memasukkan akal menjadi bagian dari lima dimensi yang sangat penting dalam syariat (maqasid as-syariah/ ad-dharuriyah al-khamsah).
Sebagaimana yang penulis ungkapkan sebelumnya bahwa idealnya akal adalah pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Namun sialnya realitas berbanding sebaliknya, di zaman yang luar biasa liciknya ini, seakan sulit membedakan sifat manusia dengan hewan.
Ternyata, hal tersebut sudah diabadikan dalam Al-Qur’an yakni QS al-A’raf: 179 yang artinya “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata, (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah”
Pada ayat di atas Allah Swt mengibaratkan manusia dengan binatang ternak bahkan lebih sesat, alasannya hanya satu karena manusia tersebut tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya padahal ia sendiri memiliki akal, sehingga yang terjadi adalah ia tidak mampu menjaga hatinya, tidak mampu menggunakan penglihatan dan pendengarannya semsetinya, maka dari itu penulis bisa katakan bahwa fungsi akal di sini sangatlah urgen dalam kehidupan manusia.
Lantas bagaimana penjelasan al-Quran mengenai tujuan atau maqashid adanya akal tersebut?
Islam memerintahkan manusia untuk menjaga akal, agar tercegah dari segala bentuk penganiayaan, kerusakan, serta kejahatan, sehingga dapat merealisasikan kemaslahatan umum yang menjadi fondasi kehidupan manusia. (Jauhar, 2008: 94) Tujuan ini dapat dikategorikan sebagai hifzh al-aql dalam kategori protektif.
Selain itu Islam juga menyeru agar memiliki akal yang bisa memberi petunjuk, terjaga dari kesia-siaan, memiki kekuatan yang bisa menjaga diri dari sikap ikut-ikutan, dan lemah dalam berpendapat. Sementara konsep hifzh al-aql yang kedua ini dapat dikategorikan dalam bentuk produktif.
Imam al-Ghazali membagi kajian maqashid menjadi tiga cakupan, yakni dlaruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Semenetara hifzh al-aql ini tergolong dalam kategori dlaruriyyah, yaitu kategori yang paling penting dan harus ada dalam mewujudkan kemaslahatan agama, jika tidak ada maka kemaslahatan tidak dapat berjalan dengan stabil bahkan akan rusak (Syatibi, 2005: 7).
Secara etimologi, hifzh merupakan bentuk mashdar dari kata hafizha yang memiliki arti penjagaan, perlindungan, pemeliharaan, dan hafalan. Sementara kata aql sendiri merupakan masdar dari kata aqala yang berarti akal atau fikiran.
Selain itu kata akal juga memiliki arti ikatan. Maksudnya adalah ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Akal atau ikatan ini diumpamakan seperti ikatan unta yang mencegahnya agar tidak melarikan diri. Sebagaimana halnya akal yang mencegah manusia agar tidak menuruti hawa nafsunya (Jauhar, 2008: 91).
Menurut Quraish Sihab dalam kultumnya mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘aqala yang menunjuk potensi manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan ‘aqiluha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam Al-Qur’an.
Terulangnya kata “akal” dan aneka derivasinya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan Al-Qur’an tentang pencabutan/pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan harta-walau milik seseorang bagi yang tidak memiliki akal/pengetahuan (Q.S. An-Nisa ayat 5). Bahkan pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka (Q.S. Al-Mulk ayat 11) (Shihab, 2018).
Mengenai karakteristik hifzu al-Aql sebagaimana yang penulis singgung sebelumnya memiliki dua karakter atau sifat, yang pertama adalah protektif, di dalam Al-Qur’an banyak terdapat perintah menjaga akal agar terhindar dari hal-hal yang merusak akal tersebut, salah satunya mengenai pengharaman khamr (QS. Al-Maidah 90-91).
Ada beberapa alasan mengapa khamr dilarang untuk dikonsumsi: Pertama, bahwa khamar dapat merusak kesehatan, dan kedua, khamr mampu melalaikan manusia, dalam artian akan lalai dari perintah dan larangan Allah, bahkan menimbulkan dosa yang sangat besar hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. KH Abdul Mustaqim M.Ag[1].
Beliau mengisahkan kisah Mbah Seso yang konon dulunya adalah seorang ulama yang saleh, sewaktu-waktu ia terbujuk oleh rayuan Setan untuk melakukan maksiat, yakni meminum khamr, dampaknya Ia pun mabuk dan tak sadarkan diri, tanpa disadari Ia melakukan dosa besar yang lainnya yakni berzina dan membunuh orang untuk menutupi kesalahannya.
Hal itulah yang menjadi efek negatif besar yang ditimbulkan dari mengkonsumsi khamr, karena mampu mengendalikan akal untuk melakukan dosa-dosa tersebut. Sebagaimana dalam hadis:
الخَمْرُ أُمُّ الخَبَائِثِ، فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Khamar adalah induk berbagai macam kerusakan. Siapa yang meminumnya, shalatnya selama 40 hari tidaklah diterima. Jika ia mati dalam keadaan khamar masih di perutnya, berarti ia mati seperti matinya orang Jahiliyyah.” (HR. Ath-Thabrani)
Kemudian sifat kedua adalah hifzul Aql yang produktif. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu (QS al-Alaq: 1-5), dan mentadabburi tanda-tanda kebesaran Allah Swt (QS al-Ghosiyah: 17-20). Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai sikap dari orang-orang yang memiliki akal atau ulul albab. Sebagaimana dalam QS Ali Imran: 191, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.”
Dalam konteks sekarang ini, mampu kita aktualisasikan, misal bagi seorang pelajar haruslah mampu menciptakan inovasi dan memberikan kontribusi nyata, dengan berperan aktif untuk menghasilkan atau menciptakan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat luas, karena dalam Maqhosid itu sendiri harus mempertimbangkan kepentingan atau maslahah yang sifatnya‘am (umum/luas) bukan khash (kepentingan atau individual). Itulah hifz al-Aql yang sifatnya produktif atau progresif.
[1]Disampaikan pada saat Perkuliahan “Tafsir Maqasidi” di kelas Ilmu al-Quran dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 30 November 2018
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment