Kita tentu tidak asing dengan istilah atau kata ‘tawakal’. Alasan penulis membahas makna tawakal yang sebenarnya adalah karena tidak jarang kata ini disalahpahami dan kemudian dijadikan sebuah pembenaran atas sikap tidak bertanggung jawab kita atas suatu urusan atau tanggung jawab.
Sebelum melihat makna tawakal yang sebenarnya, mari kita litat kembali makna tawakal yang selama ini banyak kita pahami.
Kata tawakal merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab, yakni tawakkal atau tawakkul yang berarti mewakilkan atau menyerahkan urusan kepada orang lain.
Dalam KBBI, kata tawakal bermakna pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya).
Dalam agama Islam, konsep tawakal memiliki arti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Imam Al-Ghazali memberikan definisi sebagai berikut:
Tawakal ialah menyandarkan kepada Allah SWT tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tentram.
Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah dengan konsep tawakal tersebut. Karena memang sudah seharusnya seorang hamba dengan segala aktivitasnya selalu terhubung dengan Tuhannya, dan hal tersebut diharapkan bisa terwujud dengan mengamalkan konsep tawakal.
Masalahnya, ketika konsep tawakal tidak dipahami secara utuh, justru ia bisa menjadi sarana yang bisa mengantarkan seseorang pada kegagalan dalam hidup.
Salah satu ciri orang yang salah dalam memahami pengertian tawakal adalah enggan berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu dengan pasrah dalam arti pasif.
Tipikal orang semacam ini mempunyai pemikiran bahwa sebagai manusia kita sebenarnya tidak perlu belajar, karena menurutnya, jika Allah menghendaki seseorang menjadi pandai tentu ia akan menjadi orang pandai, tanpa melalui proses apa pun.
Model semacam ini juga beranggapan bahwa tidak perlu bekerja dan yang terpenting hanyalah ‘ibadah’, karena jika seandainya Allah menghendaki seseorang menjadi kaya tentulah ia akan kaya, dan begitu seterusnya.
Tipikal seperti ini ibarat orang lapar, yang di depannya terdapat banyak makanan, namun ia tidak bergerak untuk memakannya. Ia melakukan tawakal dengan cara yang bodoh, yaitu dengan meyakini bahwa jika Allah tidak menghendakinya kenyang maka tak akan kenyang. Jika Allah menghendaki ia kenyang meski tak ada makanan sama sekali ia akan kenyang.
Mungkin sebagian kita merasa aneh dengan model seperti ini. Masa sih ada orang-orang dengan tipikal seperti itu?
Jangan salah dulu, faktanya memang sebagian orang memang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekalii. Mereka berkeyakinan bahwa apapun yang dilakukan manusia tidak ada pengaruhnya terhadap takdir yang sudah ditentukan, sehingga mereka pasrah pada nasib. Ketika sakit mereka enggan meminum obat. Ketika miskin, mereka tidak mau bekerja keras untuk mengubah keadaannya. Ketika malam hari mereka membiarkan pintu rumahnya terbuka, “Aku tawakal kepada Allah SWT”.
Begitulah ironisnya, selama ini sebagian kita memahami bahwa tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dengan cara membabi buta. Akibatnya kita menjadi pemalas; tidak mau melakukan sesuatu yang mengubah keadaan. Sekali berusaha kemudian gagal tidak bersedia lagi untuk bangkit lalu berlindung pada alasan tawakal.
Apakah itu yang disebut tawakal?
Memang bahwa tawakal merupakan amalan hati, tidak terikat dengan anggota badan. Anggota badan tetap harus beraktivitas seolah tidak ada tawakal. Namun hati terus menerus berharap kepada Allah.
Dengan tawakal kita memiliki keyakinan bahwa kita tetap harus ingat bahwa segala sesuatu itu Allah yang menentukan. Namun di saat yang sama tentu harus dibarengi dengan usaha yang maksimal.
Ketika makna tawakal yang sebenarnya seperti ini diamalkan, dengan arti bahwa kita selalu melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan maksimal dengan senantiasa meyakini “keterlibatan” Tuhan di dalamnya, baru lah kita berkata bahwa “Aku bertawakal kepada Allah SWT”.
Ketika itu pula kesuksesan akan kita peroleh. Hal ini lah kiranya yang dimaksud oleh hadis Nabi berikut:
Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Terkait hadis ini, Ibnu Rajab berkata “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah SWT. untuk meraih berbagai kebaikan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat illa billah, kecuali Allah.
Jadi masihkah kita mau menjadikan tawakal sebagai kambing hitam atas kemalasan kita? Jika iya, ingatlah kata orang bijak berikut:
“Doa tanpa usaha itu bohong, usaha tanpa doa itu sombong”, maka padukanlah keduanya, usaha dan doa, kemudian baru akhiri dengan tawakal (berserah diri kepada Allah). Itu baru namanya makna tawakal yang sebenarnya.
Pada akhirnya, seorang muslim memang seharusnya bisa secara konsisten atau istikamah dalam mengaplikasikan konsep tawakal ini dalam setiap urusannya.
Apakah itu berat? Ya iyalah. Namanya juga istikamah, kalau mau ringan, namanya istirahat! hahaha []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments