Suatu malam ada percakapan sederhana sebelum tidur antara dua santri di samping saya. Santri A mengatakan, “Aku ingin jadi feminis, masuk anggota KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) dan mengakui eksistensi ulama perempuan sejarah Islam dan bangsa kita”. Santri B menyangkal, “Feminis? Berarti kamu mau nyopir truk?” Dengan tangkas santri A berkata “lah itu yang ingin aku luruskan pada khalayak umum; Bahwa pekerjaan/profesi itu tidak memiliki tipologi gender tertentu, mau nyopir truk, manjat kelapa atau benerin antena TV. It’s no problem for male or female.”
Baca juga: Kyai Feminis: Mengenal Sekelumit Pemikiran Husein Muhammad
Sejurus kemudian pikiranku memaksaku untuk merespon percakapan mereka –terutama pemahaman sinis terhadap feminis seperti yang diutarakan santri B. Bahwa di sekitar saya mayoritas menganggap perempuan sebagai ‘entitas nomor dua’ itu tidak bisa disangkal. Namun ada satu hal yang agaknya perlu diamini oleh semua kalangan termasuk perempuan, bahwa yang menomorduakan bukan hanya laki-laki tapi perempuan juga ikut andil dalam subordinasi kaumnya sendiri. Statemen ini seakan menjelma menjadi i’tikad yang harus diyakini nan tak boleh dibantah meski perempuan jua yang menjadi korban dari ringseknya sejarah.
Bukannya mau mendistorsi sejarah yang secara hierarkis mendiskriminasi perempuan. Tapi saya hanya ingin semua perempuan tahu bahwa sifat lembut yang dimiliki perempuan –dan menurut anggapan masyhur adalah tabiat asal perempuan sejak lahir- bukanlah karakter tetap. Ia merupakan sifat yang baru datang/’āriḍī. Sifat ‘aridi itu bisa bermacam-macam, bergantung pada faktor eksternal yang dialami seseorang.
Baca artikel lainnya: Menakar Gender dan Feminisme
Bagaimana tidak, jika sejak kecil anak perempuan telah dididik oleh orang tuanya dan tak lupa disuguhi dengan mainan bayi yang identik dengan kelembutan sehingga terdoktrin dalam benaknya bahwa tugasnya kelak hanyalah sebatas melahirkan anak dan mendidiknya maka tak ayal jika sifat yang terus berkembang dalam dirinya adalah sifat female/pasif atau sifat yang dalam buku The Tao of Islam milik Sachiko Murata diesebut dengan sifat yin. Sedangkan anak laki-laki dididik dengan sikap yang tegas dan disuguhi dengan mainan yang bersifat male/aktif atau sifat yang. Ia diberikan mainan mobil, kerangka bangunan dan sebagainya.
Selain pendidikan dari orang tua yang membentuk perempuan selalu bersifat pasif, guru-guru di madrasah juga mencekoki norma-norma agama yang terkesan diskriminatif terhadap perempuan, yang biasanya menutup bagian pembelajarannya dengan nasehat “aturan dan hukum Islam tentang perempuan adalah tak lain untuk kebaikan dan kemuliaan perempuan maka taatilah agama, taatilah suami sepenuh hati dan semampu mungkin”. Alih-alih memprotes guru, para perempuan yang berada di depannya tunduk mengamini nasehat –akibat budaya patriarkat- itu.
Baca juga: Polemik Terjal Asmara Perempuan Jawa
Mendengar percakapan sederhana tadi saya ingat pada pelajaran kaidah fikih yang dulu sering saya dan teman-teman lafalkan keras-keras dalam kelas sebelum ustaz datang.
الاصل فى الصفات او الامور العارضة العدم كما أن الأصل فى الصفات او الأمور الأصلبة الوجود
“Hukum asal pada setiap hal yang baru adalah tidak ada. Sedangkan hukum asal pada hal yang asli itu wujud/ada”
Ketika itu, ustaz memberikan contoh mendasar bahwa “manusia adalah materi baru (hawādits) yang pada asalnya tidak ada. Sedangkan Pencipta sifat aslinya adalah wujud/ada”. Kemudian saya mengerti bahwa eksistensi manusia adalah nol, selanjutnya tergantung faktor eksternal akan memberikan angka berapa.
Manusia adalah makhluk (hadis) yang sesungguhnya bersifat tidak ada. Kemudian Tuhan berkehendak menciptakannya maka pada dasarnya ia tidak memiliki sifat bawaan, namun keluarga, masyarakat dan sekolahnyalah yang menumbuhkan sifat-sifat baru tersebut, memupuknya dengan terus diulang setiap hari yang pada gilirannya sifat tersebut –seakan-akan- menjadi karakternya; Seakan-akan sifat tersebut adalah sifat asli/bawaan sejak lahir.
Baca juga: Membaca Perempuan dari Masa ke Masa
Setelah beberapa detik bernostalgia dengan ingatan lama, saya dikagetkan oleh jawaban santri A yang blunder. Santri B bertanya lagi, “lah intinya kamu mau gak jadi sopir truk atau traktor?”, santri A langsung menjawab “yaa….. nggak juga sih” sambil cengingisan.
Saya yang hendak terlelap dalam tidur, selain berdoa sebelum tidur juga berdoa semoga agama lekas –dipahami- menjadi sahabat bagi perempuan sebagaimana perempuan menjadikannya sahabat baik dalam hidupnya. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments