Tuhan pun Diciptakan

Bukankah kita sendiri yang menciptakan dan mensifati Tuhan? Kita berpikir Tuhan itu pemarah, maka pada Tuhan Maha Pemarah lah kita beriman.3 min


Sumber Foto: dairipers.com

Koma 7: Tuhan pun Diciptakan

“Aku sesuai persangkaan hamba-Ku “Kata Allah pada kekasih-Nya, Nabi Muhammad saw, dalam sebuah hadis qudsi.

Sayangnya, Cak Slamet bukan mufasir yang bisa diandalkan tafsirannya. Ia ‘hanya’ mengetahui tafsiran orang, dan mendalami apa yang ditafsirkan. Ia amat mengambil jarak dari menafsirkan kalam-Nya. Yang dilakukan adalah mentadabburinya; memaknai dan menghikmahi kalam-Nya berdasarkan apa yang pernah ia lakukan. Sebab ia memang merasa tak cukup berilmu (baca: berpendidikan) dalam hal penafsiran.

Weekend, si Judy libur kuliah, tampaknya ia kangen untuk ngobrol dengan Cak Slamet dan rekan Jarkoni lainnya. Sempatlah ia turut ngopi seperti biasanya di markas Jarkoni.

“Cak, Tuhan pernah marah ndak?” Tanya Judy yang agaknya membuat orang semarkas melirik kaget ke mukanya.

Belum saja Cak Slamet menjawab, Kang Dar nyahut duluan, “Lha kamu kira Tuhan ngasih tsunami, gempa, dan macam-macam bencana itu ndak berarti marah?”

“Ah, itu kan bencana, Kang Dar. Yang kumaksud itu marah sejadi-jadinya. Masak marahnya Tuhan ‘cuma’ sekadar gempa?”

Hahaha …. Nyantai toh Dar, aku tahu cicilanmu masih banyak, mbok marahnya itu jangan ke Judy.” Cak Slamet menanggapi.

“Gini, Jud. Kutanya balik, memang menurutmu marahnya Tuhan gimana? Apa Tuhan harus misuhi kita-kita ini secara langsung? Lha kita ini siapa, kok sesangar itu bisa diajak ngobrol sama Tuhan?”

Hmmm… Seperti misal, bencana alam besar yang sekalian meluluhlantakkan Indonesia ini, Cak. Biar para bajingan di atas sana bisa rumongso kalau Tuhan sedang marah sama mereka.” Mungkin si Judy ini belum bisa move on dari mantan kekasih halunya—yang bikin dia sekarang emosian.

“Lho, memangnya Tuhan itu dianggap ada toh sama Indonesia? Kalau dianggap ada, maling-maling duit dan kepentingan di sana pasti ndak ada. Ya, meskipun problematika yang diberikan-Nya tentu masih ada. Apa kamu mau kiamat kubro sekalian, cuma biar kamu tahu kemarahan Tuhan kayak gimana?”

“Ya jangan kiamat juga, sih, Cak. Wong aku ini masih pingin mencintai seseorang selain keluargaku, hehe ….”

Halah, Jud. Dasar anak cinta kamu ini.” Cak Slamet membakar ududnya dan melanjutkan, “aku ini yang ibadahnya masih ndak karuan aja tetap dikasih nikmat sedemikian rupa, Jud. Mulut masih enak dibuat ngudud, masih bisa ketemu kalian-kalian, dan nikmat-nikmat yang lain. Tapi aku justru malah khawatir …”

“Khawatir gimana, toh, Cak? Sudah dikasih nikmat kok masih saja khawatir. Mbok ya Alhamdulillah gitu, lho ….”

Alhamdulillah sudah tentu, Jud. Tapi aku ini khawatir kalau Tuhan sedang cuek padaku. Okelah, sekarang di dunia aku diberi nikmat sedemikian rupa. Tapi karena ibadahku yang ndak jelas ini, apa ya aku ndak dihajar di akhirat nanti?”

“Oh, itu yang disebut istidraj bukan, sih, Cak? Seolah-olah kita merasa dimanjakan sama Tuhan, tapi jangan-jangan kita nanti dihajar habis-habisan di akhirat,” Kang Dar menanggapi.

“Nah, itu dia namanya. Respons Tuhan buat manusia—selain Nabi, Rasul, dan Wali-Nya—itu bermacam-macam, Jud. Bisa jadi Tuhan ngasih aku nikmat karena ibadahku baik. Bisa jadi Tuhan ngasih aku azab karena aku melakukan hal-hal buruk, atau ibadahku hancur. Bisa jadi Tuhan mencueki aku dengan tetap memberi nikmat, tapi nanti dihajar habis-habisan di akhirat, kayak yang dibilang Kang Dar tadi.”

Kalau tak pandai membaca diri sendiri, akan sulit buat kita menentukan mana yang betul-betul rahmat, azab, atau istidraj dari-Nya. Terus-menerus diberi nikmat sampai ke-GR-an, hingga lupa introspeksi, sudah pantaskah kita ini mendapatkan nikmat yang sedemikian rupa.

Berhati-hati, itulah sikap Cak Slamet dalam menghadapi sesuatu. Mana yang betul-betul rahmat, mana yang azab, dan mana yang istidraj menjadi salah satu pedoman Cak Slamet dalam menjalani hidupnya. Lagipula siapa, sih, yang ndak ingin mendapat nikmat-Nya?

“Aku lebih baik langsung diazab kalau aku melakukan kesalahan, Jud. Sebab aku akan langsung tahu kalau itu memang salah. Lha kalau kayak begini, apa ya aku ndak was-was kalau ternyata nikmat ini semua cuma cara Allah mencueki aku.”

Ini adalah tentang prasangka manusia pada Tuhannya. Dan bagaimana manusia itu mengelola prasangkanya dalam tindak-tanduknya. Bermacam-macam sifat Tuhan yang selama ini diajarkan pada kita, seperti: wujud, qidam, baqa’, dan lain-lainnya, ‘hanyalah’ teori semata buat kita. Untuk apa tahu sedemikian banyak sifat Tuhan kalau nyatanya manusia sendiri yang ‘mensifati’ Tuhan?

Bukannya kita sendirilah yang menciptakan dan mensifati Tuhan? Kita berpikir Tuhan itu pemarah, maka pada Tuhan Maha Pemarah lah kita beriman. Kita berpikir Tuhan itu pengayom, maka pada Tuhan Maha Pengayom lah kita beriman.

Maka silahkan menciptakan Tuhan sendiri. Dan juga mensifati-Nya sendiri. Selagi belum menyadari, jikalau Dia itu tak bisa dikira-kira (tan keno kiniro) dan tak bisa dibayangkan (tan kinoyo ngopo). Asal jangan ke-GR-an sebagaimana si Judy halu pada wanita yang menyakitinya beberapa waktu lalu.

“Duh, Cak. Baru sadar, berarti aku ini menciptakan Tuhan Yang Maha Pemarah, ya, heuheuheu ….”

“Belum tentu, Jud. Aku ini orang ndak jelas. Ndak usah manut sama mulutku. Kalau saja omonganku ini didengar sama orang di luar markas, habislah aku nanti dihujat, bhahaa…”

****

Oh iya, atau mungkin, kita berpikir Tuhan dan Malaikat-Nya berideologi Demokrasi Pancasila, sehingga meskipun diterjang wabah COVID-19, kita lebih memprioritaskan berkerumun di Pemilihan Kepala Daerah—sedangkan pelarangan berkerumun di tempat ibadah, sekolah, dan pasar terus saja digalakkan. Maka pada Tuhan Maha Demokrasi Pancasila lah kita beriman.

Loh, Jud. Kok malah sampai ngomongin pemilu ini gimana, ya ….”

Editor: Ahmad Mufarrih

Baca juga seri “Koma” lainnya:


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
4
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
4
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Duljabbar

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals