Seperti biasa, sore itu setelah Asar, Tejo, Sarwono dan Basir memenuhi kewajibannya, ngopi di warung Soyo Edan. Warung yang terletak di tengah-tengah desa ini sangat ramai, karena selain kopinya enak, penjual kopinya juga sangat cantik.
Sore itu, mereka bertiga sedang membicarakan salah satu warga desa yang terkenal saleh dan taat beragama.
“Itu tetangga kita Mas Suto sangat rajin sekali sembahyang di masjid”, ujar Tejo yang tampak menikmati rokok Jarum Super yang ia minta dari Sarwono.
“Iya Jo, Mas Suto itu selain rajin sekali sembahyang di masjid, dia juga sangat baik sekali dalam bergaul dengan masyarakat”. Basir juga ikut memuji tengganya itu.
Sedang asyik-asyiknya mereka membicarakan Mas Suto yang saleh itu, Tarji datang dan langsung memesan kopi kesukaannya, “Mbak Yem, kopi hitam seperti biasanya”, sambil memainkan matanya tanda menggoda.
“Siap mas”, Mbak Yem menanggapi pesanan Tarji dengan senyumnya yang manis dan menggoda. Mbak Yem ini selain pintar membuat kopi, dia juga orangnya cantik. Tak jarang banyak pelanggan yang betah duduk berjam-jam di warungnya ini, hanya untuk memandangi wajahnya yang cantik dan manis.
“Kalian sedang membicarakan apa? Kok asik sekali kelihatannya!” Tarji yang baru duduk ingin tau apa gerangan yang menjadi topik pembicaraan teman-temannya ini.
“Itu loh Ji, Mas Suto tetangga baru kita ituu”. Sahut Sarwono yang dari tadi hanya asik mendengar.
“Ohh, Mas Suto yang berjenggot lebat itu, dan kalau ke mana-mana selalu mengenakan kopiah putih itu kan!!” sahut Tarji yang baru faham dengan apa yang sedang dibicarakan oleh teman-temannya.
Basir ikut memberi penjelasan, “Mas Suto itu selain baik dia juga saleh loh Ji”.
“Ah kamu itu, gampang sekali memberi gelar saleh ke orang, padahal kita belum tau sepenuhnya tentang Mas Suto itu”, Jawab Tarji.
“Loh, apa kamu gak lihat, sejak Mas Suto itu pindah ke desa kita, dia selalu aktif ikut kegiatan desa dan bahkan dia rajin sekali sembahyang di masjid, tidak seperti kita ini, yang ke masjid hanya pas waktu Maghrib saja” sahut Tejo coba menjelaskan.
“Ini Mas kopinya, monggo dinikmati”, Mbak Yem menyuguhkan kopi pesanan Tarji.
“Coba senyum dulu donk Mbak, biar ketika saya minum kopi ada rasa manis-manisnya gituuuu”, goda Tarji dengan genit.
“Mas Tarji iki iso wae loh”, balas Mbak Yem dengan mencubit lengan Tarji. Mbak Yem ini masih sangat muda sekali, janda muda beranak satu ini sangat diminati oleh orang-orang desa yang masih jomblo seperti Tarji. Menurut cerita dari orang-orang, ia menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya yang sakit-sakitan sejak mereka mempunyai anak.
“Kamu tadi bilang apa Jo? Saya lupa karena asik memandang wajah cantik Mbak Yem, hehe” Tarji bertanya kepada Tejo.
“Pancet ae kelakuanmu Ji”, dengan nada jengkel dan raut muka yang jelek, Tejo menanggapi Tarji. “Mas Suto itu sejak pindah ke desa kita, dia selalu ikut kegiatan desa dan orangnya juga selalu terlihat sembahyang di masjid”.
“Ohh soal itu, kamu tau Parno yang juga rajin sekali sembahyang di masjid itu?? Parno itu tidak kalah rajin loh, bahkan sebelum waktu sholat tiba, dia sudah ada di masjid. Yang menabuh beduk dia, yang azan juga dia, kadang-kadang dia juga merangkap menjadi imam shalat, ketika Pak Eko tidak ada. Tapi lihat, kelakuannya yang juga sering buang sampah sembarangan di dekat lapangan desa. Padahal di situ, Pak RT sudah membuat tulisan yang sangat jelas dengan memasang spanduk “HANYA HEWAN YANG BOLEH BUANG SAMPAH DI SINI”. Apakah Parno itu juga termasuk orang yang bergelar Saleh menurutmu??”
“Bukan begitu maksud saya Ji. Gini loh”, Jawab Tejo mencoba menjelaskan.
Belum sempat menjelaskan, Tarji kembali menambahi. “Itu Mbak Yuni tetangga sebelah rumah Sarwono. Dia itu rajin shalat iya, ikut pengajian di masjid iya, bahkan soal kebersihan dia satu-satunya orang di desa kita yang rumahnya terkenal sangat bersih dan rapi. Tapi apa?? Tetap saja, dia itu sering ngrasani orang dan kalau ngomong selalu menyakiti hati orang. Apa dia termasuk orang yang bisa dianggap sebagai perempuan Salihah??”
“Benar juga katamu Ji”, Timpal Sarwono yang dari tadi asik mendengarkan penjelasan dari Tarji.
Tejo terdiam sambil garuk-garuk kepala, memikirkan apa yang baru saja disampaikan oleh Tarji. Mbak Yem yang sedang asik menggoreng mendoan itu sesekali ikut memasang kuping, mendengarkan pembicaraan Tejo, Sarwono, Basir dan Tarji.
“Ngomong-ngomong Mas Suto sudah satu minggu ini tidak kelihatan yaa, dengar-dengar dia sedang pergi keluar kota”. Basir mulai ikut bicara.
“Iya, katanya Mbak Jum pemilik kontrakan, Mas Suto ada perlu diluar kota selama bulan Desember ini”, Sarwono memberikan penjelasan kepada Basir.
Setelah menikmati kopi dan menghisap rokok Samsu kesukaannya, Tarji kembali berbicara. “Kita itu, tidak bisa memberi gelar Saleh/Salihah kepada orang yang masih hidup. Kita juga tidak tahu apakah orang tersebut akan tetap berbuat baik sampai ajal menjemputnya!! Bukankah orang itu baru bisa diketahui baik-buruknya setelah ia meninggal? Sesungguhnya setiap orang tidak tahu akhir perjalanan hidupnya seperti apa. Bisa saja Sarwono yang baik ini, di akhir hidupnya menjadi maling dan ditembak mati oleh polisi karena berusaha melarikan diri. Kita hanya diwajibkan untuk selalu berbuat baik seperti yang diperintahkan oleh agama”.
“Lambemu Ji”, balas Sarwono yang kesal dijadikan contoh jelek oleh Tarji.
Saya pernah mendengar ceramah dari Kiai Gringsing dari Jombang, beliau mengatakan begini, “Mustahil orang bisa disebut sebagai Saleh/Salihah jika hubungannya dengan Tuhan, Manusia dan Alam tidaklah seimbang. Artinya, jika ada orang yang hanya baik dalam berhubungan dengan Tuhan, tapi hubungan dia dengan manusia dan alam tidak baik. Bukankah Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minal Alam itu harus seimbang. Iya, kan Ji?”, Basir mencoba menjelaskan apa yang pernah ia dengar saat ikut ngaji di acara Maulid Nabi bulan lalu.
“Hmm, iya juga sih”, Tejo yang sedari tadi mikir, manggut-manggut meng-iyakan penjelasan dari Tarji dan Basir.
“Maaf Mas-mas, warung mau saya tutup karena sudah mau Maghrib. Kalau mau ngobrol besok lagi aja”. Mbak Yem memberi pengumuman kepada para pelanggan warungnya.
“Oke deh, saya pulang duluan” sambil ngeloyor keluar warung Basir pamitan.
Sebelum meninggalkan warung, Tarji kembali menggombali Mbak Yem terlebih dahulu. “Mbak Yem. Bagiku, memandang selain wajahmu adalah derita” muka Mbak Yem tampak memerah karena malu dan ia senyum-senyum sendiri melihat tingkah Tarji.
Keesokan harinya, setelah selesai melaksanakan shalat subuh, Tejo melihat berita di salah satu stasiun televisi. Dia terkaget-kaget dan tak habis pikir. Mas Suto yang ia anggap sebagai orang saleh dan taat beragama itu, menjadi salah satu pelaku bom bunuh diri di sebuah gereja di Malang.
Allahuakbar……
0 Comments