Melihat Kebijakan Kemenkumham dari Kacamata Siyasah Dusturiyyah

Penulis mencoba melihat kebijakan Menkumham dengan menggunakan kacamata siyasah dusturiyyah3 min


Ilustrasi: Grid.ID

Beberapa waktu yang lalu publik dikejutkan dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang pembebasan narapidana dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Kebijakan yang dinilai oleh beberapa pihak sebagai kebijakan kontroversional di tengah pandemi ini telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Senin 30 Maret 2020 yang lalu.

Kebijakan Menkumham lantas tak luput dari beragam komentar dari berbagai pihak. Mulai dari komentar yang mendukung hingga komentar pedas bernuansa kritik yang pada akhirnya membuat Kemenkumham, sebagaimana diwartakan Okezone, mengambil keputusan untuk menghentikan sementara kebijakan pembebasan narapidana dan anak lewat program asimilasi dan integrasi tersebut.

Baca juga: Titik Temu Karakter Politikus dengan Karakter Hukum

Terlepas dari beragam argumen yang telah berkembang di masyarakat baik itu yang pro maupun yang kontra terhadap keputusan ini, penulis mencoba melihat kebijakan Menkumham tersebut dengan menggunakan kacamata siyasah dusturiyyah.

Sebagai salah satu cabang dari Fiqh Siyasah, siyasah dusturiyyah ini membahas masalah yang terkait dengan regulasi atau perundang-undangan negara supaya pelaksanaannya sejalan dengan nilai-nilai syari’at dan bertujuan supaya negara dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, pembahasan tentang siyasah dusturiyyah memiliki hubungan yang erat dengan prinsip-prinsip negara hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Terkait dengan Keputusan Menkumham bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, penulis menganalisis menggunakan siyasah dusturiyyah sebagai berikut:

Pertama, prinsip kekuasaan sebagai amanah. Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan dapat diartikan bahwa terdapat larangan bagi pemegang amanah untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang dipegang atau melakukan sebuah abuse. 

Baca juga: Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam Perspektif Al-Qur’an

Keputusan Menkumham membebaskan napi untuk mencegah penyebaran virus corona terlihat tidak sesuai dengan prinsip kekuasaan sebagai amanah dalam prinsip pemerintahan yang baik dalam Islam. Alasan kondisional yang digunakan sebagai pertimbangan atas keputusan tersebut adalah over capacity lapas yang memiliki potensi terjadinya penularan virus corona. Bagi saya, alasan tersebut terkesan sebagai kebijakan yang memanfaatkan kepanikan di tengah pandemi, sehingga berpotensi melanggar undang-undang.

Kedua, prinsip musyawarah. Islam memberikan kewajiban kepada umatnya terutama kepada setiap penyelenggara negara untuk melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu permasalahan dalam kenegaraan dan untuk mencegah timbulnya keputusan yang dapat merugikan kepentingan umum atau rakyat.

Menkumham dalam mengeluarkan keputusan untuk membebaskan napi melalui asimilasi dalam rangka mencegah penyebaran covid-19, bagi saya, tidak lah menjalankan prinsip musyawarah. Hal ini terlihat dari tindakan Menkumham yang tidak meminta pertimbangan atau berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR RI, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan kepolisian dan memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan masukan terhadap kebijakan itu sebelum akhirnya diputuskan.

Ketiga, prinsip keadilan dan persamaan. Terdapat tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu (1) kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana, (2) kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya; serta (3) kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridaan Allah.

Baca juga: Menegakkan Keadilan

Menkumham dalam mengeluarkan keputusan untuk membebaskan napi melalui asimilasi dalam rangka mencegah penyebaran covid-19, bagi penulis, tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Hal ini terlihat dari tindakan Menkumham yang terkesan diskriminatif. Menkumham dalam memberikan kebebasan kepada 38.822 orang (data Ditjen PAS per 20 April 2020) kasus pidana umum dan anak dapat dikatakan sebagai sebuah keistimewaan apabila dibandingkan dengan napi kasus pidana khusus. Tindakan ini tentu dapat mencederai rasa keadilan dalam penegakan hukum karena status hukum napi tidak boleh dibedakan dari segi jenis hukuman dan usia napi.

Keempat, prinsip kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara harus memiliki orientasi pada kemaslahatan setiap masyarat atau rakyatnya. Penyelenggara negara tidak boleh melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang telah dirumuskan tersebut.

Keputusan Menkumham membebaskan napi melalui asimilasi dalam rangka mencegah penyebaran covid-19 jelas tidak sesuai dengan prinsip kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah eks napi yang kembali melakukan aksi kejahatan seusai dibebaskan lewat program asimilasi kemenkumham ini. Sebagaimana dilansir di Liputan6.com per 26 April 2020 terdapat 39 mantan napi asimilasi Kemenkumham yang telah ditangkap kembali oleh kepolisian karena melakukan aksi kriminal.

Baca juga: Uzlah dan Pejabat

Selain itu, eks napi yang dikeluarkan dari lapas justru sangat rentan tertular covid-19 karena mereka dapat secara langsung bersentuhan fisik dengan orang lain. Hal ini tentu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan napi yang masih berada di dalam tahanan yang dapat secara ketat diawasi oleh petugas lapas. Seharusnya yang perlu diperketat adalah orang yang keluar masuk lapas untuk mengunjungi keluarga atau para napi tersebut karena memiliki potensi dapat menularkan virus.

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selaku pemegang kekuasaan negara baik lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus berdasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum dan menghilangkan kemafsadatan dari mereka. Dalam implementasinya mencegah terjadinya ke’mafsadatan’ harus didahulukan daripada upaya mewujudkan kemaslahatan.

Dengan demikian, apabila dilihat dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam Islam, Keputusan Menkumham bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 tersebut tidak sesuai dengan prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan dan persamaan, serta prinsip kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya yang harus berorientasi pada kemaslahatan. Sehingga penghentian kebijakan ini oleh Kemenkumham adalah tindakan yang sudah tepat. []

_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Sudarti

Master

Seorang Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Syari’ah Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah menjadi Sahabat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2019, Magang di Kejaksaan Negeri Sleman pada tahun 2017.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals