Memahami Makna Tafsir dan Terjemah Al-Quran dengan Benar

“Jika Anda ingin berbicara dengan Allah, berdoalah, dan jika Anda ingin Allah berbicara dengan Anda, bacalah Al-Quran.” (M. Quraish Shihab).3 min


2

Interaksi dengan Al-Quran adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan Al-Quran dan antara Al-Quran dengan manusia. Masing-masing melakukan aksi dan disambut dengan reaksi oleh mitra interaksinya.

Setiap orang berhak memahami Al-Quran dan mengungkapkan buah pemahamannya, dilandasi keikhlasan, kesungguhan, dan kerendahan hati. Bila hendak menyebarluaskan penafsiran Al-Quran, seyogianya seseorang mendialogkan hasil pemahamannya dengan pihak yang diakui kepakarannya. (‘Aisyah Abdurrahman).

Tafsir sebagai proses merupakan upaya memahami maksud firman Allah swt sesuai dengan kadar kemampuan manusia, sedangkan tafsir sebagai produk ialah buah pemahaman atas ayat-ayat Al-Quran yang diungkapkan dengan lisan, tulisan, sikap, maupun perbuatan, baik secara individu maupun kolektif.

Kaidah tafsir adalah ketetapan yang membantu penafsir untuk menarik makna atau pesan Al-Quran dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungannya. Takwil ialah pengalihan makna satu kata/susunan kata ke makna lain yang lebih tepat dengan indikator kebahasaan dan logika tertentu sesuai dengan maqashid syari’ah.

Penyebab kesalahan penafsiran Al-Quran: (1) subjektivitas mufasir; (2) kesalahan metode penafsiran; (3) kedangkalan ilmu alat bahasa Arab; (4) kedangkalan pengetahuan tentang pembicaraan ayat; (5) tidak memperhatikan konteks asbabun-nuzul; (6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa pembicaraan itu. (M. Quraish Shihab).

Sisi yang harus diperhatikan dalam meneliti teks, pertama, sisi kebahasaan yang berhubungan dengan pihak penulis teks dan penafsir. Kedua, sisi pengarang berkaitan dengan makna pikiran dan tujuan ketika pengarang menulis teks. Penafsir niscaya membangun kembali tujuan pengucap/penulis teks serta menghidupkan pengalamannya.

Terdapat hubungan erat antara tiga pihak, yakni: (1) penafsir, (2) teks objek, dan (3) pencipta/pengarang teks. Penafsir menempatkan diri pada pengalaman pencipta teks/objek guna memahami latar belakang teks dan memahami maksudnya.

Penafsiran adalah memahami teks sebagaimana yang dimaksud pengarang, sebab teks adalah ungkapan jiwa pengarang. Makna atau tafsiran tidak didasarkan atas kesimpulan penafsiran dan pandangannya, melainkan diturunkan dari teks dan bersifat instruktif. Demikian pendapat Friedrich Schleiermacher, mewakili aliran hermeneutika teoretis-objektif-reproduktif.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Wilhelm Diltheiy berpendapat bahwa penafsir mereproduski makna-makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks, bukan berkutat pada penafsiran psikologis batin si pengarang. Hal itu sejalan dengan jargon di kalangan ulama tafsir, “Shahibul qauli a’lamu bima yaqulu – Pemilik ucapan (pembicara) paling tahu tentang apa yang dia ucapkan.”

Hans-Georg Gadamer, tokoh aliran hermeneutika filosofis-subjektif-produktif, berpendapat bahwa teks memiliki aneka penafsiran tanpa akhir dan kesemuanya benar. Proses penafsiran harus selalu berarti proses produksi makna baru dan bukan reproduksi makna awal. Fenomena penafsiran berkisar pada sosok sang penafsir, bukan pada teks, bukan pula pada pencipta karya. Tidak penting penafsir mengetahui apa yang dikehendaki pengucap teks.

Sejalan dengan itu, menurut  Martin Heidegger, teks atau karya seni memiliki wujud tersendiri terlepas dari penciptanya. Tidaklah penting mengetahui tujuan sang pengucap/penulis tidak juga mitra bicara yang dihadapinya pada masa terciptanya karya atau teks itu. Tidak ada penakwilan final dan mutlak.

Menurut Roland Barthes, ditinjau dari segi ucapan atau tulisannya, sang pengarang pada hakikatnya telah mati sejak selesai menyampaikan ucapan/karangannya. “Anda harus menganggap pengucap/pemilik teks telah mati.”

Perbedaan sikap dan respons orang beriman terhadap warisan Al-Quran: Kemudian Kami wariskan Kitab (Al-Quran) itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami; di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada yang lebih dahulu berbuat amal kebaikan dengan izin Allah. (QS 35:32).

Tafsir: Orang yang menganiaya diri sendiri ialah orang yang beriman kepada Al-Quran tetapi tidak pernah membacanya. Orang yang pertengahan ialah orang suka membaca Al-Quran tetapi tidak mengamalkannya. Orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang yang membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Quran.

Takwil: Orang-orang yang menganiaya diri-sendiri disebutkan lebih dahulu, karena mereka adalah mayoritas dari umat ini, sedangkan orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan adalah minoritasnya.

Rasul berkata, “Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah bersikap meninggalkan Al-Quran ini.” (QS 25:30).

Tafsir: Siapa yang tidak membaca Al-Quran ia telah meninggalkan Al-Quran. Siapa yang membaca Al-Quran, tetapi tidak memahami isinya ia telah meninggalkan Al-Quran. Siapa yang membaca Al-Quran dan memahami isinya, tetapi tidak mengamalkannya ia telah meninggalkan Al-Quran. (Ibnu Taimiyyah).

Intisari Al-Quran adalah Al-Fatihah dan intisari Al-Fatihah ialah iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Di hadapan ayat tersebut orang beriman terbagi menjadi empat golongan: (1) orang yang benar-benar iyyaka na’budu dan iyyaka nasta’in; (2) orang yang benar-benar iyyaka na’budu dan tidak iyyaka nasta’in; (3) orang yang tidak iyyaka na’budu dan benar-benar iyyaka nasta’in; (4) orang yang tidak iyyaka na’budu dan tidak iyyaka nasta’in. (Ibnu Taimiyyah).

Ragam terjemah ayat: La yamassuhu illa al-muthahharun (QS 56:79). 1. Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. 2. Yang tidak dapat disentuh, kecuali oleh malaikat, makhluk yang disucikan dari dosa. 3. Yang tak seorang pun dapat menyentuh itu, kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah. 4. Tiada yang menyentuhnya selain mereka yang bersih. 5. Tidak bisa menyentuh maknanya kecuali orang-orang yang disucikan hatinya oleh Allah.

Ragam terjemah ayat: Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir (QS 28:24). Terjemah 1. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” 2. Wahai Tuhanku, sungguh aku lapar, aku sangat membutuhkan rezeki dari sisi Engkau.” Terjemah 3. Tuhanku! Sungguh aku memerlukan anugerah yang dapat Kauturunkan kepadaku!”

Ragam tafsir/takwil kosakata khair dalam ayat di atas: (1) kebaikan; (2) makanan; (3) keamanan; (4) keselamatan; (5) ketenangan; (6) penolong; (7) teman; (8) pasangan hidup; (9) keluarga; (10) kebahagiaan.

Terjemah ayat: Nisa`ukum hartsun lakum fa`tu hartsakum anna syi`tum… (QS 2:223).

1.  Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai… (Ahsin Sakho Muhammad, A. Muhaimin Zen, Zarkasi Afif, Al-Quran dan Terjemahnya. Tangerang, Forum Pelayanan Al-Quran, 2014, h 35).

2. Istri-istrimu adalah ladang bagimu; oleh karena itu hampirilah ladangmu kapan dan bagaimanapun kehendakmu… (Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, alih bahasa Ali audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h 88).

3. Wahai kaum mukmin, istri kalian ibarat ladang bagi kalian. Senggamailah istri kalian pada vaginanya kapan saja kalian menginginkannya… (Al-Ustadz Muhammad Thalib, Al-Quran Tarjamah Tafsiriyah, Edisi IV, Yogyakarta: Ma’had An-Nabawy, 2013, h 43).

Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya: Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag.


Like it? Share with your friends!

2
Muhammad Chirzin
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. adalah guru besar Tafsir Al-Qur'an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota Tim Revisi Terjemah al-Qur'an (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an) Badan Litbang Kementrian Agama RI.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals