Dalam pentas sejarah kehidupan kemanusiaan sering peran perempuan tidak ditampilkan secara nyata dan luas. Padahal sosok perempuan sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu menyingkap akan banyaknya tauladan bagi generasi muda sekarang. Oleh karenanya, menampilkan kesejarahan tokoh menjadi sebuah kegiatan yang penting di era sekarang.
Hal ini seiring dengan perjuangan RA. Kartini seorang keturunan dari Hamengkubuwono VI dan Sunan Kalijaga serta Sunan Bonang Tuban. Dari sosok beliaulah kemudian perempuan Indonesia menjadi maju dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
Sosok kehidupan yang penuh inspiratif itu adalah Nyai Hj. Aminah bin Mahbub. Beliau ini adalah istri dari KH. Muhammad Amin bin Musthafa seorang pejuang dari Lamongan di masa agresi milier Belanda ke-2 dan sekaligus pengasuh Pesantren Tunggul Lamongan.
Beliau berasal dari daerah Dukun Gresik Jawa Timur. Daerah tersebut merupakan sebuah daerah yang dekat dengan cikal bakal pesantren keluarganya yaitu Maskumambang. Dengan demikian, keberadaan kehidupan awal Nyai Hj. Aminah Mahbub adalah dalam lingkup kehidupan yang Islami.
Ayah Nyai Hj. Aminah sendiri adalah H. Mahbub yang bersaudara dengan Kiyai Maksum Ali Seblak Jombang dan KH. Adlan Ali Cukir Jombang. Sehingga sosok Aminah ini juga merupakan pribadi yang baik karena merupakan anak cucu dari Kiyai AbdDjabbar Maskumambang seorang pendiri pesantren di daerah tersebut dan Hj. Muhsinah seorang ulama perempuan yang menjadi panutan mulimat pasa masa itu.
Dengan demikian, sosok asal usul dari keluarga Aminah ini adalah mereka yang berjuang dalam agama Allah swt. dengan mengajarkan lewat pesantren.
Nyai Aminah Mahbub mengenal KH. Muhammad Amin ketika di Seblak Jombang. Salah satu Pamannya yaitu Kiyai Maksum Ali yang kebetulan beristrikan Puteri Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari membuka pondok yang kemudian dikenal dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak Jombang.
Dari sinilah kemudian keduanya menikah dan kemudian mendirikan pesantren di daerah asalnya Pantura Lamongan. Dengan demikian, sosok keduanya merupakan keluarga dari pesantren di mana Kiyai Amin anak turun dari Pesantren Qomaruddin dan al-Karimi sedangkan Nyai Aminah dari Pesantren Maskumambang dan Cukir Jombang.
Nyai Hj. Aminah mendidik anak-anaknya sendirian sejak ditinggalkan KH. Muhammad Amin. Suami tercintanya, Aminah Mahbub ini yaitu KH. Muhammad Amin Musthofa meninggal di medan pertempuran. Nyai Hj. Aminah sendiri memiliki enam orang anak. Sekarang, hanya tiga orang anak tersebut yang masih hidup sampai sekarang. Mereka yang masih hidup adalah Sabiq Suryanto, Miftahul Fattah dan Abdullah. Sedangkan yang meninggal adalah KH. Ahmad Hazim, Nyai Hj. Hindun Rahimah dan Arfa’i.
Dari ketiga anak tersebut yang meninggal dalam usia kecil hanya Arfa’i sedangkan dua yang lainnya tidak. Dengan demikian, sosok pribadi nyai Hj. Aminah ini menjadi bagian pribadi yang tagguh dalam menjalani kehidupan keseharian.
Seluruh anak dari Nyai Hj. Aminah Mahbub ini belajar ilmu agama di pesantren yang merupakan salah satu pendidikan yang utama pada saat itu dalam mengkaji agama Islam. Salah satu anaknya KH. Miftahul Fattah Amin adalah penerus perjuangan ayahnya KH. Muhammad Amin. Putra beliau ini belajar di Pesantren Tebuireng dan menjadi murid kesayangan kiyainya yaitu Kiyai Idris pengasuh pesantren pada waktu itu.
Dalam menjalani kehidupan keseharian dilakukan dengan makan intip bekas nasi yang keras dan gosong. Kehidupan pada masa itu memang sulit dan bekal yang diberikan orang tua juga terbatas. Dengan demikian, dalam kehidupan keseharian anak-anaknya dilakukan secara sederhana.
Sebagai seorang ibu dari anak-anaknya, Hj. Aminah Mahbub juga mendidik atas anak-anak dan cucu-cucunya. Hal ini juga dilakukan pada penulis yang diajar mengaji Al-Qur’an dan seligus ibadah-ibadah keseharian.
Kegiatan yang menjadi kebiasaan adalah silaturrahim. Hal inilah yang selalu dilakukan Mbah Aminah Mahbub di waku hidupnya. Beliau selalu senang dan pergi silaturrahim ke keluarga dan tetangga dekat rumah.
Kendati badan sedang sakit ketika bepergian dalam sikaturrahim selalu sehat wal afiyat. Kedekatan tersebut terlihat pada saat beliau meninggal dunia sekitar tahun 1980an sangat banyak yang mengantarkan ke peristirahatan terakhir itu. Tepatnya tahun 1981 pada hari Jum’at setelah sakit beberapa hari di RS di Karangmenjangan Surabaya. Dengan demikian, sosok pribadi Hj. Aminah menjadi panutan dalam menjaga keutuhan kekeluargaan.
Jamaah masjid di kampung juga banyak mengenal sosok Mbah Aminah. Setiap bulan Ramadhan tiba sosok beliau dinanti-nantikan. Hal ini dikarenakan beliau selalu memberikan bubur beras untuk berbuka atau ta’jil bagi jamaah masjid.
Suka memberi dan silaturrahim adalah bagian dari kehidupan kesehariannya. Setidaknya masyarakat sekitar mengenal Mbah Aminah yang selalu aktif mengajarkan Al-Qur’an. Metodenya adalah kaidah baghdadiyah atau turutan yang terkenal pada masa tersebut. Sehingga bacaan Al-Qur’an mereka semakin bagus. Dengan kegiatan ini, Mbah Aminah memiliki tempat di hati masyarakat luas.
0 Comments