Berawal dari mengikuti pemberitaan tentang peristiwa pembakaran bendera ‘tauhid’ beberapa waktu lalu. Muslim yang gundah gelisah kebanyakan adalah para muslim di area perkotaan, atau yang disebut dengan muslim urban. Sedangkan kelompok muslim tradisional lebih santai menghadapi peristiwa itu? Apa yang terjadi ?
Muslim urban adalah kelompok muslim yang hidup di perkotaan. Masyarakat yang kesehariannya dikelilingi modernitas namun haus akan keilmuan agama. Posisinya yang berada pada tingkat tengah antara ‘up’ dan ‘down’ menjadikan kelas ini juga bisa dikatakan sebagai kelas transisi.
Realitas munculnya muslim urban ini setidaknya ada pengaruhnya dengan berkembang pesatnya dunia digital atau daring. Masyarakat yang hidup di perkotaan merasa ingin belajar agama dan menjadikan dunia digital sebagai alat perantaranya dalam memahami agama dan dapat menjadikan mereka lebih religius secara cepat.
Fenomena cara beragama muslim urban menjadikan suatu kegelisahan bagi beberapa pakar keagamaan. Seperti kegelisahan ini dirasakan oleh Nadirsyah Hosen yang dituangkan dalam karyanya berjudul Online Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling A Kiai.
Pada era post truth sekarang ini, para dai’ yang dulunya nyantri dan bergelut dengan kitab kuning bertahun-tahun belum tentu otomatis dibilang kyai dan pakar agama. Sedangkan, para da’i ‘dadakan’ di dunia digital semua disebut ustadz atau sosok yang sudah memahami agama secara mendalam.
Pergeseran tipologi pakar agama itu pun bukan hanya berdampak terhadap siapa sosok yang pantas dan menjadi panutan dalam memahami agama, namun juga secara tidak langsung menggeser skala tingkat religiusitas seseorang. Muslim tradisional dianggap sebagai kelompok yang kurang memahami agama ketika pemahamannya berbeda dengan para da’i youtuber atau selebgram. Penjelasan yang tidak mengungkapkan sumber dalil ayat Al-Qur’an dan hadisnya secara jelas pun dianggap tidak representatif dalam memahami agama.
Belajar agama melalui digital membuat para masyarakat yang baru belajar agama mengalami reduksi pemahaman. Memahami agama dianggap selesai dan tuntas ketika sudah mengetahui dalil ayat Al-Qur’an dan hadisnya. Jika semua itu terpenuhi, beres sudah semua persoalan. Berbeda dengan para muslim tradisional yang setidaknya jauh lebih rumit dalam memahami agama malah membuat mereka ‘muslim tradisional’ lebih santai menghadapi persoalan yang lagi booming di ruang publik.
Memang cara belajar agama yang dilakukan para muslim tradisional bukan hanya berhenti di dalam ayat Al-Qur’an dan hadis semata. Namun, kitab-kitab yang disusun para ulama terdahulu juga dijadikan pedoman dalam beragama. Muslim tradisional secara kasat mata seperti menganggap ‘enteng’ setiap persoalan yang muncul di publik, namun sebenarnya kroscek masyarakat muslim tradisional jauh lebih rumit daripada para muslim urban.
Muslim tradisional perlu melakukan kroscek dari Al-Qur’an dan hadis, kitab-kitab para ulama, dan tidak cukup di situ terkadang juga perlu bertanya terlebih dahulu kepada kyai secara langsung.
Dari sini, sebenarnya muslim tradisional bukan menyepelekan dan memudahkan cara memahami agama, namun memahami agama tidak semudah membaca Al-Qur’an dan hadis semata. Akan tetapi, perlu membaca, memahami, dan mencari pesan utama dari sumber ajaran Islam baru bisa disebut memahami agama.
Sehingga, seharusnya tidak ada ruang pembeda dalam memahami agama. Apakah dia muslim urban atau muslim tradisional, keduanya sama sama harus belajar dan memahami agama secara komprehensif.
0 Comments