Derasnya arus globalisasi yang dipicu ledakan revolusi teknologi dan informasi, setidaknya telah memunculkan dua wajah masyarakat yang kontradiktif.
Pertama, arus ini telah membawa pada sebuah tatanan masyarakat dengan wajah yang penuh perdamaian, kasih sayang, dan menyikapi segala bentuk perbedaan dengan berlandaskan kemanusiaan; kedua, arus ini telah membawa pada sebuah tatanan masyarakat dengan wajah yang penuh kemarahan, sikap intoleransi, radikalisme, disintegrasi bangsa, sampai kejahatan lain yang lebih mengerikan terhadap kelompok yang memiliki paham berbeda.
Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Adanya perbedaan terkait suku, ras, budaya, dan agama yang ada merupakan sebuah fakta yang harus diterima. Namun, dalam perjalanannya, kemajemukan tersebut menyimpan potensi besar terhadap adanya konflik kepentingan antar kelompok berbeda yang menganggap kelompok lain salah, terutama persoalan beda keyakinan.
Dalam Islam, jalan pemecah yang ditawarkan dalam meredam situasi tersebut adalah dengan menciptakan ruang dialog antar paham yang berbeda. Di sinilah letak pentingnya untuk memperbincangkan kembali paham pluralisme dalam bingkai Ke-Indonesia-an dan memformat kembali paham pluralisme sehingga muncul desain lain mengenai paham pluralisme.
Istilah pluralisme sering kali dikaitkan dengan sikap toleransi, di mana setiap agama, suku, ras, budaya, berpegang pada masing-masing prinsip kepercayaan dan menghormati kepercayaan lainnya. Nurcholis Majid menambahkan bahwa pluralisme merupakan kondisi hidup bersama dalam perbedaan, akan tetapi tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik ajaran masing-masing tanpa saling menyalahkan (Nurcholis Majid, 2001).
Bagi beberapa individu atau institusi tertentu, menjadi sah-sah saja memegang satu bagian dari kebenaran, namun sangat sulit jika dikatakan mereka menguasai kebenaran tersebut. Akhirnya, kejadian tersebut berdampak pada munculnya sikap semena-mena terhadap paham yang berbeda.
Persoalan lain yang perlu diperhatikan dalam menjawab tantangan pluralisme untuk menuju kedamaian Indonesia adalah kecenderungan menempatkan kriteria validitas ketinggian kebenaran dari agama sendiri di atas agama-agama yang lain.
Bagi seorang Kristiani, misalnya, Yesus Kristus merupakan kriteria kebenaran dan karena itu spiritualitas yang benar dalam satu agama hendaknya dilihat dari ketinggian Yesus Kristus. Kemudian bagi umat Budha, Budhadasa Dhamma adalah satu-satunya kebenaran dari semua agama. Kemudian bagi Islam, Al-Quran merupakan kebenaran wahyu yang menjadi tolok ukur semua.
Pertanyaannya, mengapa nilai pluralitas yang ada pada dasarnya bersifat normatif ajarannya dan pengalaman sejarah agama tidak mampu menghentikan konflik agama?
Meskipun demikian, dalam beberapa kasus kerusuhan yang bernuansa agama para pelakuya ditenggarai adalah juga kaum awam agama. Sungguh ironis. Jika dua sikap yang saling bertentangan ini ada pada diri kelompok kaum beragama tersebut, maka dilihat dari sisi ilmu jiwa agama, mereka adalah kelompok yang masih labil. Kelabilan inilah yang kemudian mendorong munculnya pihak lain yang sangat berperan dalam kehidupan keagamaan mereka.
Dalam suatu kesempatan penulis ingat sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “rakyat itu mengikuti agama yang dianut oleh para pemimpinnya,” menunjukkan adanya keterkaitan peran yang dimaksud. Dalam hal ini, posisi kaum elite agama menjadi sangat penting di mata kaum awam agama.
Nampaknya, untuk membentuk sistem pluralisme dalam agama Islam, khususnya menuju kedamaian Indonesia, semua pihak harus terlibat dalam memelihara etika dalam setiap perbedaan keyakinan agama, ras, dan budaya dengan meyakini diri sendiri bahwa menerima pendapat dan kebenaran orang lain bukan suatu hal yang rendah dan buruk.
Semangat kesatuan dalam perbedaan pada dasarnya dapat dilandasi pada semangat humanitas dan semangat universalitas Islam (Ahmad Amir, 1999). Keberagaman dan pluralitas agama menggarisbawahi fungsi instrumental wahyu, doktrin, dan para tokoh spiritual berbagai macam agama merupakan sarana untuk mencapai yang Esa.
Pluralisme tidak bisa hanya dipahami sebagai keadaan yang beraneka ragam, yang terdiri banyak suku, ras, budaya dan agama saja, khususnya di Indonesia. Paham mengenai pluralisme perlu didasarkan sebagai sebuah kombinasi pertalian erat dalam bingkai ke-Indonesia-an sebagai satu keadaan. Sebab, apabila pluralisme dipahami dalam konteks majemuk saja, pluralisme hadir sebagai bentuk fragmentasi, dan berakibat menimbulkan potensi konflik.
Lebih mendalam, paham pluralisme dalam wacana Indonesia damai harus mendapatkan mekanisme pengawasan segala pihak dan segala pertimbangan yang dihasilkannya.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
3 Comments