Disadari atau tidak, makhluk eksploitatif seperti manusia yang mendominasi alam ini, harus menjalani kehidupan dengan beribu-ribu aturan. Entah itu aturan tertulis maupun yang tidak tertulis, entah itu disahkan oleh negara atau hanya kesepakatan dari orang-orang setempat. Hal ini bertujuan untuk mendisiplinkan diri sekaligus memberi rasa aman kepada orang lain yang dikira lemah sehingga yang kuat tak serta merta berbuat semaunya.
Aturan yang dirancang oleh Badan Legislatif Negara dan ditandatangani oleh Badan Eksekutif Negara, tentu bersifat mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Penduduk setempat haruslah berjalan dengan bentangan karpet aturan agar tidak melenceng dari jalan semestinya. Siapa yang melakukan kesalahan maka akan dihukum sesuai dengan pasal yang dilanggar. Namun, hal ini berbeda dengan aturan yang tidak tertulis.
Menurut saya, aturan tidak tertulis adalah suatu kumpulan kesepakatan atau stigma masyarakat setempat yang tanpa disepakati sekalipun namun, sudah mengakar dan berdiri kokoh dalam otak. Mereka mengelompokkan sesuatu yang benar dan yang salah, Sekaligus memberi sekat antara yang berada dalam jalur dengan yang keluar dari jalur. Hal ini tidak jauh berbeda dengan standar sosial.
Baca juga: Enam Etika dalam Hidup Manusia |
Ya, benar saja bahwa kita harus hidup dalam kubangan standar sosial. Jika keluar dari aliran itu, tentu tidak akan membawa kita pada meja hijau atau ruangan dengan jeruji besi. Namun, bisa membuat kita kehilangan kepercayaan diri dan tak jarang mengantarkan telinga kita kepada cibiran-cibiran orang lain yang sudah tentu tidak mengenakan hati.
Kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki satu manusia tidak akan mampu menutup puluhan mulut yang memberikan sanksi soal yang bisa dilakukan hanyalah menutup telinga sendiri dan jika berani maka harus menciptakan dobrakan untuk membantah standar-standar tersebut.
Salah satu contoh standar sosial yang begitu mengakar di Indonesia adalah standar kecantikan. Iklan-iklan di televisi telah menamakan benih asusmsi di kepala kita bahwa cantik itu haruslah putih, bersih, langsing dan mulus. Wanita yang berada di luar kriteria tersebut tentu tidak akan mendapat gelar cantik. meskipun tidak mendapat cibiran tentang fisiknya, ia akan merasa tidak punya kebanggaan atas tubuhnya dan tidak sedikit juga yang kehilangan kepercayaan diri.
Ini merupakan bentuk standar yang terbilang kejam, terlebih manusia tidak bisa memilih seperti apa paras yang ia inginkan. Sesuatu yang bersifat pemberian pada dasarnya tidaklah perlu distandarisasi bahkan yang tidak pemberian pun juga demikian. Karena hal tersebut dapat membuat orang-orang terhalang dari kebebasan universal.
Film Imperfect adalah film drama percintaan Indonesia tahun 2019 yang disutradarai oleh Ernest Prakasa dan merupakan bentuk adaptasi dari novel yang berjudul Imperfect: A Journey to Self-Acceptence karya Meira Anastasia ini memberikan pesan moral yang begitu dalam. Bentuk penolakan terhadap standar kecantikan begitu jelas digambarkan dan diperankan oleh pemain-pemainnya. Ini merupakan dobrakan besar untuk mengubah stigma yang mengakar di masyarakat.
Selain standar kecantikan, kita juga harus menghadapi standar sosial yang lain, kehidupan terbilang sukses jika kita sudah punya mobil, rumah dan sejumlah tabungan, kemudian dilengkapi dengan pasangan dan anak. Di luar dari itu kita adalah manusia yang gagal dan tentu menuntut kita berpacu lebih kencang untuk mengejar kekuasaan dan harta kekayaan.
Jika standar sosial tersebut tercapai, kita akan menjadi superior dan dikagumi oleh banyak orang . Namun, ambisi untuk mencapai tujuan itu tentu akan menghalangi kita untuk melakukan kehendak bebas, Idealisme yang sudah lama tertanam di kepala tiba-tiba menghilang dan digeser oleh pikiran realistis. Memang tidak ada yang salah dengan pikiran itu, tapi hal itu membawa manusia akan bekerja dengan sesuatu yang bukan kesenangannya.
Baca juga: Si Gila dan Riwayat Pemikirannya yang Spektakuler |
Sekira seratus tahun yang lalu filsuf pembunuh tuhan yang biasa kita kenal dengan Friedrich Nietzsche telah mengeluarkan sebuah mantra yang mengirim kita untuk berada dalam atmosfer kebebasan. Mantra itu berlafadz “Amor Fati” yang berarti “cintailah nasibmu”!
Menurut nihilisme Eropa, Khususnya Rusia, suatu penolakan atas nilai-nilai tadisional memiliki implikasi politik. Bagi Nietzcshe, perhatian utamanya terletak pada dampak psikologis dan penerimaan bahwa tidak ada kebenaran. Stantar sosial yang kita yakini selama ini bukanlah kebenaran mutlak. Kita masih bisa hidup sukses dan bahagia dengan standar yang kita ciptakan sendiri. Hal tersebut juga bisa mengarah ke pesimisme dan keputusasaan atau sikap “semua bisa diterima” (Jackson, 2001:82).
Selain itu, mantra Amor Fati juga berfungsi sebagai suatu penegasan positif kehidupan yang membebaskan manusia dari beban harapan kehidupan. Manusia harus mencintai nasib tanpa perlu memerlukan khayalan dan rasa aman yang keliru untuk menenangkan kita.
Tapi pada kenyataannya, Standar ini sudah mengakar dan sulit sekali untuk hapuskan, terlebih hal ini terus terjadi secara turun-temurun. Buku-buku yang memberikan kritik terhadap stigma semacam ini tentu tidak dapat berpengaruh banyak. Apalagi yang ada di kepala manusia hanyalah pikiran realistis dan mendapat pengakuan. Kita akan terus terkurung dalam penjara standar sosial tersebut dan kapankah kita akan keluar?
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment