Pendemokrasian yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sementara mengalami pengujian berat hari-hari ini. Alih-alih demokrasi yang dicap sebagai “pesta kegembiraan” yang digelar pada tanggal 17 April 2019 lalu berujung dengan “kisruh” antar elit politik yang menjalar hingga rakyat jelata.
Jutaan mata rakyat menyaksikan kegaduhan berdemokrasi pasca pemilu yang ditandai aksi protes atas proses demokrasi itu sendiri di depan Kantor Bawaslu. Pidato dari kedua tokoh politik yang bertarung dalam pemilu kali ini tidak serta-merta menyejukkan suasana hati para demonstran hingga kisruh pun tak terelakkan.
Untunglah negara telah mewanti-wanti berbagai pihak yang sengaja memancing di air keruh saat massa menyampaikan aspirasi di depan Kantor Bawaslu, sehingga TNI-Polri dapat mengerem tindakan anarkis yang bisa saja melahirkan kegaduhan yang berkepanjangan.
Memang, salah satu problem dalam pemilu kali ini adalah perbedaan hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU dengan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Pasangan 02, sehingga hal ini dibaca sebagai bagian dari kesalahan dan kecurangan. Ini berarti peluit panjang yang menandakan berakhirnya pemilu masih dinanti oleh seluruh rakyat di MK.
Kata Suryadi (2017) para pemilih yang sudah menjatuhkan keputusannya dibuat menunggu. Keputusan pemilih, yang adalah pemegang kedaulatan, harus tunduk kepada prosedur hukum, yang menggantungkan keputusan pemilih kepada amar putusan MK. Perhitungan hasil suara tidak membuat KPU bisa langsung meniup “peluit panjang” tanda berakhirnya pemilu, namun harus mengalami perpanjangan waktu, hingga MK membacakan keputusan akhir.
Sebagai bangsa yang masih percaya hukum sebagai panglima, mari kita serahkan proses sengketa pemilu dalam tangan MK. Dan bila MK telah memutuskan siapa pemenang dalam pemilu 2019, kepada pihak yang kalah mesti legowo dan berjiwa besar menerima kenyataan demi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Itulah wujud mental sebagai warganegara yang baik (good citizen).
Ingatlah bahwa pemilu di Indonesia memberikan kunci kemenangan sepenuhnya kepada suara mayoritas. Siapa yang menguasai suara terbanyak, dialah yang menang. Tidak ada seleksi lain, semacam dipilih oleh dewan perwakilan (electoral vote). Di sini, suara rakyat benar-benar berkuasa menghitamputihkan sang kandidat dalam paradigma yang mutlak one man, one vote, one value.
Demi keberlangsungan demokrasi kita, meminjam kalimat Anies Baswedan pasca Pilpres 2014 bahwa “sebuah demokrasi, sebenarnya berlangsung terus atau tidak, bukan ditentukan oleh yang menang tapi ditentukan oleh yang kalah. Bila yang kalah menyatakan siap menerima hasil, lalu move on bekerja bersama lima tahun ke depan, ada kompetisi lagi demokrasi akan berlanjut”. Konsep semacam ini mesti berlaku dalam setiap perayaan demokrasi di tanah air.
Demokrasi Hari-Hari Ini
Buat apa para pemain politik dianugerahi akal sehat bila terus terjebak dalam praktik yang tidak demokratis? Dan benarkah apa yang dikatakan Fuady (2010) bahwa prinsip demokrasi yang diletakan saat ini sudah cukup maju, bahkan sangat maju menurut ukuran zamannya, namun praktiknya tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis?
Bila kita cermati, selama proses berdemokrasi di tanah air masih saja dijumpai praktik-praktik yang tidak demokratis. Beragam tuduhan buruk terhadap petugas penyelenggara pemilu, demonstrasi anarkis, hoaks, politik uang, ujaran kebencian, kampanye hitam hingga aksi makar yang diolah oleh para pemain politik tentu merusak pertumbuhan demokrasi yang sehat.
Lebih dari itu, konsep demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa hanya diucapkan oleh para elit politik dalam pidato, selebihnya adalah alat tukar tambah kekuasaan bagi mereka yang tamak demi melapisi kehormatan dengan kemormatan yang lebih tinggi sebagai penolak kenistaan zaman. Bisa jadi, fenomena semacam ini adalah pertanda lonceng kematian politik demokrasi. Benar-benar pengujian mental berdemokrasi yang amat berat.
Memang, kata Suryadi (2017) sejak kelahirannya demokrasi telah dipahami sebagai cara yang diarahkan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bila cara-cara demokratis dilepaskan dari tujuan otentiknya, maka demokrasi akan merosot menjadi democide, yakni tindakan yang seolah-olah demokratis padahal sejatinya mengubur nilai-nilai demokrasi. Atas dasar prinsip ini, cap demokratis luntur bila proses politik yang diklaim demokratis hanya menguntungkan sebagian kelompok.
Demi menyelamatkan mental, akal sehat dan nurani, serta masa depan demokrasi kita, maka pelbagai praktik yang tidak demokratis dan inkostitusional layak ditolak dan dihentikan. Mari kita hormati mereka yang berkorban untuk membuka kran demokrasi di tanah air, sehingga kita bisa hidup di ruang-ruang kebebasan yang amat terbuka untuk menyerukan berbagai aspirasi kepada negara.
Fuady (2010) mengingatkan demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini. Hampir-hampir tak ada alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.
Dalam renungan reflektif berjudul “Demokrasi Kita” Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangannya “demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan”.
0 Comments