Peradaban Islam adalah peradaban ilmu. Sejak disempurnakannya risalah Islam oleh Nabi Muhammad saw, orientasi geraknya adalah ilmu pengetahuan. Wahyu pertama yang berbunyi iqra’ adalah bukti yang tak terbantahkan.
Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menyatakan bahwa segala ilmu pengetahuan yang berkembang bersumber dari Al-Qur’an (Shihab 2013:150–164). Di sisi yang lain, Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu itu berdimensi qauliyah, kauniyah dan nafsiyah (Kuntowijoyo 2006:3).
Al-Qur’an dan alam, merupakan ayat yang diturunkan Allah Swt. kepada manusia. Bedanya, alam adalah ayat yang dihamparkan, sementara Al-Qur’an merupakan ayat yang “didatangkan secara silih berganti ke dalam hati” manusia (Rahman 2017:104–106).
Sederhananya, membaca, mengkaji dan memahami Al-Qur’an adalah juga upaya membaca, mengkaji dan memahami alam semesta beserta komponen-komponen yang ada pada dirinya.
Selama beberapa abad awal, umat Islam menunjukkan hasil dari proses pembacaannya baik terhadap ayat-ayat qauliyah, kauniyah maupun nafsiyah. Perkembangan peradaban Islam menguatkan tesis tersebut. Setidaknya sampai abad ke-12, ragam disiplin ilmu pengetahuan lahir dari rahim peradaban Islam.
Melalui semangat qur’ani, umat Islam menggali, menelaah, menganalisis, mengkritisi, dan memadukan antara ilmu pengetahuan yang berasal dari tradisi Yunani, Persia, Mesir dan sebagainya dengan konsep pengetahuan a la Islam.
Hampir setiap persoalan dipertanyakan, dikritisi. Potensi akalpun bekerja sebagaimana mestinya. Sayangnya, kondisi tersebut hanya bertahan selama kurang lebih 6 (enam) abad. Setelah berhasil melebarkan sayapnya ke benua eropa, semangat keilmuan umat Islam menurun.
Fanatisme buta terhadap pandangan kelompok akhirnya mematikan nalar kritis umat Islam. Saat-saat itulah, pernyataan bahwa pintu ijtihad telah ditutup muncul ke permukaan.
Saat penghargaan terhadap ilmu pengetahuan kian menipis, sementara sikap kritis menjadi sesuatu yang asing, maka hasilnya adalah peradaban yang runtuh. Tergilas oleh arus pusaran zaman.
Di sisi lain, peradaban Barat yang telah lama terlelap dalam tidur panjang kebodohan mulai sadar, bahwa mereka selama ini terbelenggu oleh doktrin gereja yang mempersempit ruang ilmu pengetahuan.
Penghargaan besar terhadap ilmu pengetahuan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno telah lama pudar karena Gereja tampil mendaku diri sebagai pemegang mandat Tuhan di bumi.
Doktrin agama dihadapkan pada ilmu pengetahuan, dan agama harus keluar sebagai pemenang. Kondisi demikian mematikan nalar kritis para intelektual, sebab mereka dituntut memilih antara hidup sebagai ‘budak’ gereja atau menentang dan mati.
Peradaban Barat pada akhirnya bisa keluar dari belenggu gereja ditandai dengan apa yang biasa disebut rennaisance, sekitar 8 abad sejak terjadinya hubungan yang intens antara umat Islam dengan Kristen dan Yahudi di Andalusia, Spanyol. Adanya interaksi inilah yang menyadarkan bangsa Barat bahwa mereka sedang tertinggal. Mereka terus berkembang dan berkembang.
Sejak saat itu, Islam ‘kalah’ dari bangsa Barat. Negara dengan penduduk mayoritas Muslim selalu masuk dalam kategori negara ketiga. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari pudarnya nalar kritis dan ketumpulan pikiran umat Islam dalam menanggapi isu-isu kontemporer yang terus bermunculan dan segera membutuhkan penyelesaian.
Pada abad ke-19, berangkat dari kesadaran bahwa umat Islam sedang kalah, akhirnya memunculkan sebuah upaya untuk kembali merebut tampuk kepemimpinan dunia dari Barat.
Apa yang terjadi di beberapa abad terakhir ini adalah perwujudan semangat umat Islam untuk melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap pemikiran Islam, yang harapannya mampu menghasilkan fajar kehidupan bagi Islam.
Sebagai contoh adalah semangat Pan-Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani dan Reformasi Pendidikan-nya Muhammad Abduh, yang bertujuan mengasah taring umat Islam untuk berhadapan dengan peradaban Barat yang sedang berkuasa.
Semangat pan-Islamisme al-Afghani (1838-1897) muncul karena beberapa sebab; internal dan eksternal. Sebab internal di antaranya adalah; (a) kekalahan umat Islam; (b) macetnya ilmu pengetahuan; (c) salah dalam mendefinisikan qadha’ dan qadar, yang berimbas pada perdebatan mengenai posisi Tuhan dan manusia; (d) ukhuwah islamiyah yang lemah, dan sebagainya.
Sedangkan sebab eksternalnya adalah (a) kondisi yang mengharuskan mereka berhadapan dengan Barat, dan (b) cara berpikir umat yang inferior. Dari kegelisahan tersebut, al-Afghani menawarkan solusi berupa mempelajarai dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara serius, serta ‘beragama’ secara serius.
Semangat al-Afghani dilanjutkan oleh muridnya, Muhammad Abduh (1849-1905). Tokoh pembaharu yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola dan sikap keagamaan umat Islam Indonesia ini mempunyai empat agenda untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan dan ketertinggalan.
Agenda pertama adalah melakukan purifikasi, yakni dengan melakukan pembedaan antara Islam dengan pemikiran Islam, serta melakukan pencarian dan pengamalan Islam melalui semangat ijtihad.
Kedua, melakukan reformasi dalam hal pendidikan, sebab Abduh berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari pendidikan. Ketiga, membela umat Islam melalui penjabaran ulang terhadap makna tauhid. Keempat, melakukan reformasi ajaran Islam.
“Sekalipun agama lebih tinggi daripada akal, karena ia sejalan dengan akal atau tidak bertentangan dengannya, maka agama hendaklah didekati melalui jalan argumen yang masuk akal, dengan metode yang kritis” (Madjid 2008:116).
Agenda tersebut merupakan upaya Abduh untuk membebaskan manusia, khususnya umat Islam, dari kebodohan yang berlarut-larut. Sebab, pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang bebas, sebab ia mempunyai akal, kehendak dan daya.
Sikap kritis, dalam hal ini harus ditumbuhkan. Pembacaan terhadap literatur tafsir, filsafat dan pengetahuan lain tidak boleh setengah-setengah dan tanpa sikap kritis dan korektif. Ini menghindarkan diri dari sikap taqlid, ikut-ikutan. Sikap taqlid pada dasarnya bukan hanya mengikuti tanpa tahu dasar, melainkan juga mengikuti dengan tanpa sikap kritis.
Sudah saatnya umat Islam melakukan perubahan, yang bukan sekedar merubah, tetapi berdasarkan cita-cita etik dan profetik melalui pembacaan yang kritis dan sikap yang kreatif. Membaca, membaca, membaca, berfikir kritis, berdiskusi, dan hasilkan pemikiran yang konstruktif dan solutif yang tetap berlandasakan pada nilai-nilai Islam. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment