“Di sela-sela musim pemilu yang kian kemarau, kita lupa bahwa ada ratusan pasang mantan yang dilanda musim penghujan.”
Dari banyaknya jumlah kursi dan juga hidangan berkuah di atas piring dalam resepsi pernikahan, saya yakin bahwa di balik semua itu ada percampuaran antara egoisme bodoh dan niat yang dangkal.
Kita terlalu sibuk akhir-akhir ini, terlalu sibuk memilih, menimbang dan menerawang siapa yang bakal menjadi pemimpin untuk lima tahun yang akan datang. Lengkap bersama pendikotomian yang menjadi lalapan makan dan juga simbol agama yang menjadi daya magis penggiat massa.
Tentunya kita juga tak asing dengan beragam media citra yang menampakkan senyuman-senyuman manis dan juga hitungan jari anak-anak saat menghafal angka. Terkait siapa menjadi pilihan, hanya Anda yang tahu. Saya hanya memberi saran; pabila tiba saatnya untuk menentukan pilihan, jangan lupa untuk warnai ujung jari kelingking agar menjadi bukti bahwa kita adalah warga negara yang baik.
Ada satu hal yang perlu kita perhatikan, musim pemilu tahun ini bersamaan dengan datangnya bulan Syawal, yang identiknya pada bulan Syawal banyak sekali anak-anak manusia yang menggelar ritual pernikahan di pinggir maupun tengah jalan. Entah, saya tidak tahu mengapa menggelar ritual pernikahan pada bulan Syawal, yang jelas akan ada banyak pasang mantan ataupun pemendam rasa yang secara kolektif akan dilanda musim peghujan.
Baik-tidaknya maupun halal-haramnya (misalnya) pernikahan tersebut dilakukan pada bulan Syawal, saya tidak akan membahas hal itu. Ada yang lebih bikin baper daripada hal itu,yakni kolektivitas dilanda musim penghujan. Agaknya ke-baperan ini senantiasa kita perdulikan, pasalnya jika kita lepas tangan begitu saja hasilnya bisa berakibat fatal. Sebagai anak-anak manusia yang inginnya memanusiakan manusia, agaknya hal ini menjadi tugas kita bersama-sama selain menjadi warga negara yang baik.
Selanjutnya, setelah kita memutuskan untuk tidak lepas tangan, ada baiknya kita ketahui penyebab terjadinya musim penghujan ini; jika saya amati sebab utama dari datangnya musim penghujan ini yaitu seperti apa yang ditulis oleh Y. B. Mangunwijaya dalam karyanya “Burung-Burung Rantau” yakni; percampuran antara egoisme bodoh dan niat dangkal ingin menyelesaikan soal raksasa tetapi hancur oleh dosis gengsi terlalu tinggi dan kekeroposan diri.Jika kita coba resapi kalimat tersebut, agaknya dapat kita ketahui bahwa penyebab dari datangnya musim penghujan yaitu pertarungan yang terjadi antara egoisme bodoh dan niat dangkal versus dosis gengsi dan kekeroposan diri.
Dari pertarungan tersebut, agaknya dapat kita temukan bahwa pertempuran itu dimenangkan oleh dosis gensi dan kekeroposan diri. Coba kita amati kembali, setiap pasang mantan dan juga pemendam rasa merupakan manifestasi dari egoisme bodoh dan juga niat dangkal. Mereka mencoba untuk menyelesaikan soal raksasa, yakni perihal pengikat antar anak manusia atau yang biasa kita sebut pernikahan. Egoisme bodoh tersebut terlihat dari hasrat keinginan untuk memiliki secara pribadi dan tanpa menaruh perhatian pada yang lain. Kepentingan untuk memiliki secara pribadi tersebut dan tanpa memperhatikan aspek yang lain inilah egoisme bodoh dan dosis gengsi dapat dilihat. Seperti yang sering dikatakan oleh beberapa orang; bahwa ikatan pernikahan bukan hanya sekadar hubungan dua anak manusia saja, tetapi terdapat keluarga, dan bahkan masyarakat yang akan terkena dampaknya.
Sementara niat dangkal juga perlu perlu diperhatikan. Soal raksasa yang hanya ingin diselesaikan oleh niat yang dangkal juga merupakan suatu modal kekalahan dalam pertarungan. Seperti yang sering kita dengar tentang segala sesuatu itu dimulai atau didasari dengan niat. Tetapi, agaknya kita juga harus memperhatikan bahwa menyelesaikan soal raksasa juga harus didasari atas niat yang penuh pula, bukan sekadar dengan niatan yang setengah-setengah apalagi dangkal.
Jadi, pabila tetap ngotot pada egoisme bodoh dan niat dangkal, jangan berharap untuk menyelesaikan soal raksasa.
Setelah mengetahui penyebab dari datangnya musim penghujan, pastikan kita benar-benar jangan sampai sok bijak dalam merayu dan berretorika ala-ala filsuf, sebab sok bijak itu ibarat naik becak onthel dari Lamongan dengan tujuan Yogyakarta. Kesel.
0 Comments