Visi (nadzhrah) berarti pandangan (visual), dan pandangan biasanya selalu mengarah ke depan, mengikuti posisi mata. Jadi secara singkat, visioner adalah orang yang memiliki pandangan, pemikiran, dan rencana hidup ke depan. Kata “depan” itu sendiri dalam konteks hidup manusia perlu di pertanyakan. Apakah “depan” itu besok, lusa, usia dewasa, atau masa tua? Yang jelas, masa depan yang biasa kita pahami adalah tahapan hidup di dunia setelah saat ini atau hari ini. Padahal setelah kehidupan dunia pun masih ada perjalanan ke depan, yaitu negeri akhirat.
Dalam sebuah seminar, ada seorang pembicara menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang tidak visioner. Cenderung, bahkan sangat historistik, bergantung pada sejarah. Umat Islam selalu beromantisisme pada masa lalu, membicarakan kehidupan terdahulu. Hal itulah yang membuat industri perfilman muslim tidak berkembang. Karena tidak mampu berpikir dan melihat ke depan. Maka film semacam Star Trek, Transformer jauh dari bayangan dan khayalan kaum muslimin. Berbeda dengan Barat yang telah banyak memvisualisasikan masa depan (future) dalam bentuk film. Namun, benarkah umat Islam tidak visioner?
Ternyata, masalahnya terletak pada perbedaan perspektif makna visioner. Bagi umat Islam, visi yang sejati, masa depan yang hakiki adalah kehidupan setelah kematian, bukan sekedar kehidupan manusia di bumi dari masa ke masa, dari abad ke abad. Umat Islam memandang bahwa kehidupan dunia ini sebentar (fana), dan tak ubahnya orang menyebrang jalan (‘abiru sabil) yang hanya fokus pada ujung jalan, bukan apa yang lewat di jalan itu. Apapun yang lewat di jalan itu bukanlah tujuannya berjalan ke depan, tujuannya hanyalah untuk sampai di seberang jalan. Berbeda dengan orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT, yang menganggap masa depan itu adalah dunia.
Dari berbagai uraian di atas, kita pahami bahwa inti masa depan perspektif muslim adalah Allah SWT itu sendiri, surga dan neraka, hari penghitungan amal, hari pembalasan dan semacamnya. Hal-hal inilah yang menyibukkan orang beriman, sehingga mereka berusaha mencari jalan untuk selamat sampai ke masa depan itu, dengan cara mengikuti jalan-jalan orang yang terlebih dahulu meniti jalan menuju masa depan tersebut. Maka, kesibukan dalam pembahasan masa lalu (turats), adalah bentuk visionaritas umat Islam itu sendiri.
Ketika seorang muslim-mukmin lebih mengutamakan dunia, bahkan menyamakan porsi dunia dengan akhirat, justru itu merupakan bentuk ketidak visioner-annya. Karena Al-Qur’an menyatakan “Dan akhirat itu, lebih baik bagimu daripada al-ula (dunia)”. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa “dunia diciptakan untuk kalian, dan kalian diciptakan untuk akhirat”. Akhirat adalah negeri terakhir, negeri tujuan. Meskipun namanya “akhir” bukan berarti berada di belakang, tetapi menjadi tujuan ke depan.
Peradaban umat Islam saat ini dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, jika dibandingkan dengan Barat memang jauh tertinggal. Hal itu antaranya disebabkan karena orang yang beriman kepada Allah masih sibuk memperbaiki kualitas spiritualnya, sangat hati-hati kepada hal-hal yang Allah SWT haramkan, bahkan yang dimakruhkan, hingga membatasi yang dihalalkan. Sementara orang yang tidak beriman tidak punya batasan halal haram itu, sehingga mereka akan menabrak batas agama demi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, bukan berarti umat Islam pasrah menjadi second society, menjadi halaman belakang (back yard) peradaban. Jika orang yang beriman itu jujur dalam imannya, jelas amal shalehnya, justru Allah SWT akan menjadikannya khalifah di bumi. Jadi, jangan jadikan keimanan kepada Allah SWT, negeri akhirat, halal dan haram sebagai penghambat kemajuan. Berbekal iman yang jujur dan amal sholeh itulah umat Islam akan menjadi penghulu di muka bumi, pada saat yang sama tidak menjadikan bumi itu sebagai visi, melaiankan Allah SWT dan akhiratlah visinya. Inilah sejatinya umat yang visioner.
0 Comments