Siapa UAS? penceramah (jelas), akademisi (iya, setidaknya beliau ada di daftar dosen ILHA (Ilmu Hadis) UIN Suska Riau meskipun kabarnya sedang cuti karena alasan izin belajar melanjutkan studi doktor), mufti (bisa jadi sih, soalnya selain menjawab kegelisahan jamaah berdasarkan fatwa para ulama terdahulu terkadang beliau juga menjawab dengan pendapat pribadi, yang jelas hampir semua pertanyaan jamaah direspons langsung oleh beliau), artis dan influencer (bisa juga meskipun belum pernah muncul di lambeturah). Apa pun itu, sosok dai kondang ini seakan tidak pernah lekang dari pro dan kontra layaknya artis dan publik figur lainnya.
Setelah mendulang tenar berkat media sosial dan youtube, agaknya pro-kontra yang cukup menyita perhatian publik adalah viralnya video ceramah beliau di forum HTI, saat organisasi tersebut masih legal.
Meskipun sudah ada klarifikasi dari beliau ternyata hal itu tetap menjadi alasan sebagian ormas menolak beliau, seperti yang terjadi di Bali. Yang terbaru, viralnya video beliau mengenai jin kafir yang ada di dalam salib.
Melihat track record UAS sejauh ini, memang sarat pro-kontra. Yang pro mematok atensi yang super tinggi, begitu pula yang kontra, benci sampai ke ubun-ubun. Di antara keduanya, ada yang menanggapi biasa-biasa saja.
Dengan begitu, andai pun tidak ada penolakan resmi dari pihak UGM, kehadiran UAS pasti akan menuai kontroversi.
Pihak pengurus masjid kampus yang memprakarsai kuliah umum tersebut (yang sebenarnya membatalkan keumumannya karena diadakan di masjid) menengahkan sebuah tema,
“Integrasi Islam dengan IPTEK: Pondasi Kemajuan Indonesia”.
Tentu punya alasan mengapa memilih UAS sebagai salah satu pembicara, apakah karena posisi UAS sebagai penceramah, akademisi, atau sebagai dai beken yang banyak digandrungi netijen.
Namun, yang jelas penulis tidak punya kapasitas untuk memastikan dugaan tersebut. Begitu juga dengan alasan pihak rektorat kampus apakah memang karena tekanan sebagian alumni atau memang karena tidak suka saja dengan UAS karena video yang viral belakangan, yang pasti penulis membatasi diri untuk berspekulasi terkait motif penolakan tersebut.
Jadi pada dasarnya pro-kontra atas penolakan UGM bukanlah sesuatu yg aneh. Tidak ada yang salah dengan itu jika kita mampu memahami kacamata/sudut pandang yang dipakai masing-masing kubu, baik yang pro maupun yang kontra.
Tulisan ini sejatinya tidak ingin mendukung salah satu pihak, tidak menjustifikasi yang pro, tidak juga membenarkan yang kontra: hanya ingin sekadar memberikan semacam refleksi atas kejadian ini, toh, kontoversinya memang sudah terjadi.
Agaknya masih ada yang salah dengan cara pikir dan sikap kita, benih-benih cebong-kampret yang tumbuh sebab perhelatan pesta politik bukannya hilang pasca pilpres justru polarisasi umat kian menonjol.
Ini bukan masalah cebong-kampretnya. Karena memang persoalan kubu 01 dan kubu 02 sudah mulai hilang meskipun masih ada saja yang nyinyir, tapi lebih kepada masalah kita terlalu mudah mensimplifikasi segala sesuatu menjadi hitam atau putih.
Padahal agaknya kita sudah mengerti kaidah umum bahwa tidak peduli kesalahan seseorang dia akan menjadi kebenaran mutlak jika kepalang fanatik. Sebaliknya, sebaik apa pun ucapan dan tindakan, tetap akan dipandang jelek jika dari awal sudah benci.
Kontroversi UAS terkait penolakan UGM ini sebagaimana kontroversi UAS lainnya masih ada dalam dikotomi kaku seperti di atas. Yang pro dengan UAS dituding anti toleransi dan anti NKRI, sedangkan yang kontra dituduh liberal yang anti Islam. Kalau ini terus dilanggengkan maka akan sulit membangun nuansa dialogis, sebab telah mengkristal sebagai, meminjam istilah Charles S. Pierce, habit of mind.
Tentu saja hal ini berdampak bukan hanya mengerdilkan demokrasi, juga akan membonsai keindonesiaan.
Dalam sebuah hadis dikatakan, “Cintailah seseorang sekadarnya saja, bisa jadi ia orang yang kamu benci suatu saat. Bencilah musuhmu sekadarnya saja, bisa jadi ia suatu saat akan menjadi orang yang kau cintai”.
Hadis ini agaknya cocok untuk orang-orang yg terlalu fanatik. Makanya di lain waktu Nabi juga pernah mengatakan, “Bukan bagian dari kami orang yang ta’ashshub (fanatik)”.
Sebuah ungkapan yang disinyalir dari Abu Bakar juga ada menyoal hal ini, “Bisa jadi apa yang aku anggap benar itu salah, sebaliknya bisa jadi yang aku anggap salah itu benar”.
Selagi kita masih belum bisa mengubah pola dikotomi ini, agaknya masalah serupa akan tetap terjadi lagi di kemudian hari.
Agaknya kita masih lupa bahwa agama dan pendapat mengenai agama itu berbeda. Atau kita masih tidak mau menerima bahwa agama pasti benar tapi fatwa kegamaan itu bisa jadi salah.
Jika seorang presiden bisa dipengaruhi oleh partai pendukung dalam menentukan kebijakan, bukannya seorang dai juga bisa dipengaruhi oleh sikap jamaahnya?
Barangkali kita selama ini terlalu fokus terhadap UAS nya saja tanpa merefleksikan kepada diri kita sendiri, baik sebagai pihak pecinta maupun sebagai pihak yang anti dengan UAS.
Bisakah kita posisikan UAS kembali sebagai salah satu putra bangsa yang melalui ceramahnya ingin berkontribusi untuk negeri ini? Dengan begitu, bagi yang pro jangan posisikan UAS sebagai malaikat yang selalu benar, dukung dan cintai saja beliau tapi jangan anti kritik karena beliau juga manusia biasa yang bisa saja salah, apalagi terkait bukan bidangnya. Bukannya Nabi juga pernah dikritik karena salah memberi pendapat tentang pertanian?
Bagi yang kontra, andai pun beliau salah silahkan kritik dengan argumen yang terdidik tanpa menghardik, kritik yang berderajat bukan yang menghujat. Silakan jika mau bereksistensi, tidak ada yang salah dengan itu selama mau berkontribusi membangun negeri, tapi ingat untuk tetap dalam koridor diskusi bukan caci maki.
0 Comments