Mungkin nama Imam Al-Ghazali tidak asing bagi kita, terutama di kalangan santri dan pondok pesantren yang ada di bumi Nusantara ini, bahkan saya meyakini ulama yang ada di penjuru dunia sekalipun juga mendengarnya. Seorang ulama yang memiliki gelar Hujjatul Islam dengan karya monumentalnya kitab Ihya’ Ulumuddin. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Nama Al-Ghazali sendiri dinisbatkan kepada keluarganya yang bekerja sebagai pemintal wol, yang mana dalam bahasa Arab disebut Al-Ghazzali.
Ihya’ Ulumuddin bukanlah satu-satunya karya Imam Al-Ghazali, ada juga beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu mantiq, ushul fikih, filsafat, dan lain-lain. Namun perhatian para ulama dan kiai pesantren tertuju pada Ihya’ Ulumuddin. Jadi tidaklah heran jika kitab tersebut sering dikaji di beberapa pondok pesantren, karena kedalaman ilmu yang tertuang di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin serta pembahasannya yang relevan dengan keilmuan pesantren. Ihya’ Ulumuddin merupakan kitab yang membahas tentang ilmu tasawuf, berisikan tentang al-Quran, Hadis, wejangan dan nasehat-naehat para ulama dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam kitab tersebut banyak penjelasan mengenai pentingnya menanamkan akhlak kepada sesama manusia, terutama berakhlak kepada dzat yang menciptakan kita. Selain itu, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan dunia dan akhirat. Bahkan bisa dikatakan Ihya’ adalah kitab yang mampu mengadopsi seluruh ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Sehingga wajar para ulama mengatakan bahwa kitab tersebut adalah jelmaan dari al-Quran.
Komentar Para Ulama Tentang Kitab Ihya’ Ulumuddin
Sayyid Kutub Habib Abdullah ibn Abu Bakar Al-Aydrus berkata di dalam kitab al-Manhaj al-Sawi karya Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith, “Seandainya Allah Swt membangkitkan orang yang sudah meninggal, niscaya mereka akan berwasiat kepada orang yang masih hidup untuk selalu mengamalkan isi yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Aku bersaksi dengan nama Allah Swt barang siapa yang mempelajari dan mengamalkan isi kitab Ihya’ Ulumuddin, maka dia akan memperoleh rahasia kitab tersebut dan termasuk orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah.”
Dijelaskan di dalam kitab Syarh al-‘Ainiyah, karya Habib Ahmad ibn Zain Al-Habsy bahwa Imam An-Nawawi mengatakan, “Hampir saja posisi Ihya’ Ulumuddin menandingi al-Quran” dan Syekh Al-Kazaruni di dalam kitab yang sama menyampaikan, “Seandainya seluruh ilmu di dunia ini hilang, maka masih bisa dikeluarkan dari kitab Ihya’ Ulumuddin.”
Al-‘Arif Billah Habib Ali ibn Abu Bakar ibn Syekh Abdurrahman Assegaf dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtarah karya Habib Ali Hasan Baharun menjelaskan, “Seandainya orang kafir mau melihat dan membaca kitab Ihya’ Ulumuddin, maka pasti dia akan masuk Islam.”
Habib Abdullah ibn Alwi Al-Haddad pengarang Ratibul Haddad berpesan, “Orang yang baru menuntut ilmu seharusnya mempelajari kitab-kitabnya Imam Al-Ghazali sesuai dengan kemampuannya. Jika dia pemula, maka bacalah kitab al-Bidayah al-Hidayah, setelah itu berlanjut kepada kitab al-Arbain al-Ashli. Kemudian kitab Minhaj al-‘Abidin dan bila dia ingin pengetahuan yang mendalam dan memahami akan intisari dari seluruh ilmu, maka bacalah kitab Ihya’ Ulumuddin.”
Pernah suatu ketika Habib Abdullah ibn Abu Bakar Al-Aydrus berkata, “Barang siapa yang mampu memetakan Ihya’ Ulumuddin hingga 40 juz, maka aku yang akan menjamin dia masuk surga.” Lalu perkataan itu didengar oleh Syekh Bakatsir dan beliau melaksanakan seperti apa yang diucapkan oleh Habib Abdullah ibn Abu Bakar Al-Aydrus. Tidak hanya itu, ia menambahkan skema dan mendatangi kediaman Habib Abdullah dengan membawa kumpulan skema hasil karyanya.
Setelah bertemu dan menyampaikannya, Habib Abdullah ibn Abu Bakar Al-Aydrus bertanya “Kamu sudah melebihi apa yang saya minta, sekarang utarakan apa yang kamu inginkan?” “Jaminan masuk surga itu merupakan iman tentang perkara-perkara yang ghaib, aku ingin melihat surga secara langsung saat ini”, jawabnya. Kemudian Habib Abdullah memberikan dua syarat kepada Syekh Bakatsir, “Baiklah kalau begitu, setelah aku memperlihatkan surga kepadamu, kamu harus pergi dan tidak boleh lagi menemui saya hingga ajal menjemputmu, bagaimana?”, “saya sanggup Habib”, dauhnya.
Tak banyak menyampaikan pesan akhirnya beliau memerintahkan Syekh Bakatsir untuk melihat ke bagian dalam lengan bajunya dan benar ia melihat surga, sebuah istana, bidadari, sungai-sungai yang mengalir indah, dan pepohonan yang rindang. Selang beberapa saat dari peristiwa itu, ia mendapatkan maqam yang tinggi sebab berkah dari Habib Abdullah ibn Abu Bakar Al-Aydrus.
0 Comments