“Wahai orang yang beriman, jika kamu sedang – akan bepergian dengan tujuan beribadah di jalan Allah maka selidikilah, janganlah mengutuk seseorang dengan mengatakan bahwa ‘Kamu bukan seorang mukmin.’ Atau kemudian merampas hartanya, padahal Allah melimpahkan harta bagimu yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui setiap apa yang kamu kerjakan.” (Qs. An Nisa’: 94)
Tembang Jawa Sunan Kalijaga sangatlah akrab di telinga. Tombo ati, Wong Kang Sholeh Kumpulana. Sebagai umat pastinya menyandarkan diri kepada siapapun yang dianggap saleh. Saleh budi pekerti dan akal budi. Utamanya kepada Nabi. Sebagai uswah yang tertanam di dalam diri.
Prespektif berkumpul dengan orang saleh sangatlah beragam. Perihal harapan pun beragam. Berteman dan berkawan dengan sebanyak-banyaknya orang adalah kunci untuk saling menghargai perbedaan. Bukan memberi penilaian, tetapi berusaha mencari gambaran dan terus belajar berkembang. Hati dan pikiran sejalan. Karena hanya Tuhan yang berhak memberi penilaian.
Di satu sisi kian merata perhelatan. Sekumpulan orang merasa baik dan paling beriman. Menganggap yang lain kurang ketimbang dirinya. Dalam konteks cinta akan salah jalan. Apalagi ketika berhubungan dengan Tuhan. Karena Tuhan memandang di dalam hati bukan pakaian. Iman adalah keteguhan hati dan pengabdian. Tidak ada berkah terbesar dalam hidup selain cinta. Dan Tuhan mengajari manusia untuk saling menyinta.
Sayangnya ada alasan “manusiawi” yang menjadi bumbung besar. Egoisme yang enggan untuk belajar merasa bersalah. Belajar merasa bukan siapa-siapa. Kata Rumi, “Jika kau tuangkan lautan ke dalam sebuah bejana, seberapakah ia akan mempu menampungnya?” Kemudian di sambung lagi dengan uangkapan, “Jendela mampu menerima sebanyak-banyaknya cahaya yang masuk ke dalam rumah. Sedangkan rembulan, cahayanya memenuhi ufuk Timur dan Barat.”
Artinya, manusia masih memiliki kecenderungan dan keterbatasan. Pada akhirnya memberi pesan kepada saya pribadi, bahwa untuk mencapai tali Tuhan (Habl) tidak hanya pengabdian kepada-Nya saja, melainkan bersikap baik kepada sesama.
Mencintai sesama adalah bentuk relasi keimanan. Disampaikan dalam Sunnah Nabi perihal ini. “Maka tidak dikatakan beriman ketika sesorang tidak menjaga cintanya (rasa hormat dan menghargai) bagi orang lain.” Dan agaknya tahapan cinta yang pertama adalah manusia. Sekalipun menjadi piranti untuk mengenali diri sendiri. Dan menjadi pelajaran bagi saya pula untuk mengenali kristal-kristal cahaya Tuhan. Cahaya yang terpancar kepada seluruh ciptaan-Nya (makhluk). Sehingga pertalian Tuhan terekam dalam tali kasih antar sesama manusia. Pun makhluk yang lain.
Islam adalah kasih sayang. Syaih Abu Sa’id Ibn Abi al Khair mengatakan hati Islam adalah tasawuf. Di mana proses melepaskan apa yang dipikirkan. Memberikan apa yang digenggam. Kemudian menghadapi apa yang sedang terjadi. Islam menyimpan segudang piranti kasih dan sayang. Memuliakan sesama manusia. Mengesampingkan sikap merugikan satu sama lain. Dan Islam memberikan ruang pengabdian kepada Tuhan seluas-luasnya. Tanpa mengesampingkan keimanan. Untuk saling menghargai perbedaan adalah anjuran cinta dalam Islam.
Khaslatani la syaia Afdhalu min huma al iman billah wa annaf’u lilmuslimin. Dikatakan oleh Syihabbuddin Ahmad bin Hajar ‘Asqalani bahwa tidak ada yang lebih utama selain beriman kepada Tuhan dan bermanfaat bagi sesama. Muslim adalah gambaran orang yang menjaga ketenangan. Kedamaian bagi siapapun. Sesuai dengan Islam sebagai rahmat bagi siapa saja.
Cuplikan pengantar dari Pastor Keuskupan Paris, Cristan Delorme pada buku Syaih Khaled Bentounes mengatakan; bagi Syaih sufi penghormatan cinta kepada kaum Kristiani sangatlah besar, tanpa keluar dari keimanan Islamnya. Dengan kata lain, pengabdian diri kepada Tuhan terpancar pada kondisi menyayangi sesama manusia. Memberi manfaat satu sama lainnya. Tanpa memandang privasi agamanya.
Pelajaran yang saya temukan kembali adalah menjaga ukhuwah Islamiah wa Wathaniah. Persaudaraan adalah kunci kebersamaan dan kesejahteraan bangsa. Perbedaan adalah anugerah. Manusia tidak mampu membendungnya. Apalagi menyamaratakannya. Afala yanduruna ila al ibili kaifa khuliqat? Kata Tuhan. Tidakkan kau tengok (pikir dan renungkan) bagaimana proses penciptaan. Karena terkadang manusia cenderung melihat pada eksistensi dirinya ketimbang kelangsungan kebersamaannya.
Cahaya Tuhan melingkupi segenap ciptaan-Nya. Tidak satupun yang terlewatkan. Bersyukur adalah pelajaran terberat. Fungsi manusia dalam hal ini adalah terus belajar. Karena cinta adalah proses pemahaman. Begitu juga cinta kepada Tuhan. Rabi’ah al Adwiyah menyambut cinta Tuhan dengan ungkapan, “Padamkanlah surga jika aku mencintai-Mu karenanya, dan penuhkanlah neraka denganku jika aku takut kepada-Mu karenanya. Tetapi jangan sekali-kali Kau berpaling padaku jika cintaku hanya karena-Mu saja.”
Saya berharap tulisan ini menjadi pesan dan wanti-wanti bagi saya. Untuk selalu berjalan di atas cinta Tuhan. Tanpa memandang manusia dari kulit luarnya. Dan berusaha untuk selalu bermanfaat bagi siapa saja.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 1)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 2)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 4)
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 5)
DI2019
Sumber:
Syekh Khaled Bentounes, Jalan Kebahagiaan Tasawuf Kalbu Islam. Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2006
Syihabuddin Ahmad ibn Hajjar Al Asqalani, Nashaihul ‘Ibad.
Imam Jalauddin al Mahalli, Imam Jalaluddin as Suyuti, Tafsir jalalain.
2 Comments