Seperti Dendam, Cinta tak Harus Terbalaskan

"..Samar-samar aku mendengar ia bergumam-gumam. Istighfar berkali-kali. Aku tak berani mendekat.."3 min


20

TAHUN ini, tepatnya tanggal 1 Mei 2016, usianya genap 59 tahun. Suara sengaunya yang khas itu masih tetap kental terasa meski mulai terdengar bergetar setiap memintaku membuatkannya segelas kopi. Antara pukul 7 sampai 8 tiap pagi. Tak pernah lebih tak pernah kurang.

Setelah menyapu halaman, ia duduk di bawah pohon rambutan di halaman rumah. Ada meja dan bangku yang pernah ia buat selagi usianya muda. Dulu. Hingga kini, tempat itu menjadi tempat favoritnya. “Anginnya semilir,” jawabnya singkat saat aku bertanya di suatu pagi, entah kapan.

***

Aku mengantarkan kopi yang ia minta. Kubawakan pula gorengan ubi jalar. Aku tahu, meski ia tak pernah mengungkapkannya, ia suka. Rokok kretek di tangannya tinggal seperempat batang. Bungkusnya sudah ia remas-remas dan tergeletak pasrah di atas meja yang agak lembab. Sesekali ia melenguh. Tatapannya kosong. Sesekali pula kekosongannya buyar saat beberapa orang tetangga yang hendak berangkat kerja menyapanya. Setelah itu, kembali kosong.

Aku tak berani bertanya. Tak berani pula menyela dalam kekosongan yang barangkali sedang ia nikmati. Akhirnya aku kembali masuk ke rumah. Ke kamar. Menyalakan komputer. Memutar lagu-lagu favorit melalui earphone.

Sesekali, aku menyibak tirai jendela yang tepat berada di depan meja komputerku. Mengintip ke arah bangku dan meja di bawah pohon rambutan. Ia masih di sana. Khusuk dengan kekosongannya. Kopi di gelasnya tinggal ampas. Rokok di tangannya tinggal puntung yang sudah ia matikan apinya.

Aku berniat membelikannya rokok. Sampai pintu, ia berdiri, sontak seperti orang yang sedang terkejut. Aku terdiam. Kebingungan. Samar-samar aku mendengar ia bergumam-gumam. Istighfar berkali-kali. Aku tak berani mendekat. Aku tak sedekat itu dengannya. Ada jarak. Entah apa. Entah sejak kapan. Padahal, di rumah ini hanya tinggal kami berdua.

***

Ia masukkan puntung rokok di tangannya ke dalam gelas kopi yang tinggal ampas itu, lalu bergegas menuju rumah. Aku pura-pura menggeliatkan tubuh seolah sedang meregangkan otot-otot di teras rumah.

***

Matahari mulai menyengat. Hari Minggu kali ini aku tak punya agenda apa-apa. Menghalau kejenuhan, aku memilih melanjutkan mengetik cerpen yang belum sempat terselesaikan. Kala itu, aku sedikit kebingungan tentang konflik yang harus diprioritaskan.

Setelah file terbuka, aku mulai membaca ulang. Mencoba mengingat-ingat kembali ide cerita dari awal hingga akhir.

Belasan menit berlalu. Aku mulai merasakan jiwa dan ragaku masuk dalam ceritanya. Mengalir lembut tapi pasti seperti halnya waktu yang terus belalu. Tubuhku hangat seperti berada dalam pelukan ibu, hingga aku mendengar ayah tersedu-sedu.

Aku mendekatinya. “Kau tahu apa yang membuatku bertahan di rumah yang sempit dan sesak ini?” ia kembali bertanya, menjawab pertanyaan yang ada di tatapan mataku. “Karena ibu?” aku bertanya lagi. “Bukan!” ketusnya. Aku mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata. Ia tahu bahwa aku sedang bertanya lebih dalam. Itulah sebabnya ia memilih untuk bungkam. Lalu, hengkang ke halaman. Duduk di bangku di bawah pohon rambutan. Tak peduli terik matahari sudah mampu membakar bayangan.

Seperti biasa, aku pura-pura tak peduli. Tapi, nyatanya aku berhasil dikalahkan oleh rasa penasaran. Aku menyerah. Angkat tangan. Memaksakan kakiku melangkah menuju halaman. Duduk di bangku di bawah pohon rambutan. Di depan ayahku yang memasang raut wajah agak kebingungan, menjelaskan apa yang sudah terlanjur ia ungkapkan. Aku hanya duduk diam. Bahkan, tatapanku tak sedalam rasa penasaran.

***

Angin berhembus pelan. Daun-daun rambutan yang sudah menguning mulai berjatuhan. Kami tenggelam dalam diam.

“Kau lihat wanita itu,” ujarnya datar tiba-tiba. Antara bertanya dan memberitahu. Spontan, aku memalingkan tatapanku ke arah tangannya menunjuk. Rumah panggung di seberang jalan dengan wanita tua, janda beranak tiga, cucunya sudah lima, duduk di tangga sambil menampi beras. Aku kembali menatap ayahku. Pertanyaan di ujung lidahku tak mampu terucapkan. Aku kembali menatap wanita itu. Tajam.

“Aku mencintainya, begitupun dia. Dulu. Selagi kami di usia muda. Saat bunga mekar dan sedang harum-harumnya,” terangnya sebelum aku kembali menatapnya dengan tatapan pertanyaan yang memaksanya menjawab walau kadang aku tahu ia tak nyaman.

***

Aku bukan orang yang gampang penasaran. Tapi kali ini, berbagai pertanyaan muncul silih berganti dan bertumpuk-tumpuk di dalam kepalaku.

***

“Penduduk desa ini dulunya tak sampai 20 orang. Para transmigran. Kami satu-satunya lelaki dan wanita lajang,” ia mencoba menenangkan. Memberiku waktu mengurai satu persatu pertanyaan yang mulai mengusut. Dan entah bagaimana, seolah ia berada di dalam kepalaku, ia mulai menjawab satu persatu pertanyaan yang bahkan belum kulontarkan.

“Suatu malam, seorang wanita, pengantin muda yang baru sekitar sebulan tiba di desa ini, kehilangan suaminya. Meninggal karena tertimpa batang pohon Sialang yang ia tebang,” lanjutnya mengisahkan. Aku manggut-manggut mencoba memahami alur jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kusut dalam kepalaku yang sedikit demi sedikit mulai teruraikan.

“Aku kasihan. Ia tak punya siapa-siapa. Setali tiga uang, orangtuaku setuju dengan rencanaku untuk meminang, dan…” ceritanya terhenti. Ia berdiri. Dengan langkah lebar-lebar ia bergegas ke kamarnya. Tak lama, ia kembali dengan rokok yang sudah ia sulut di tangannya.

“Aku melupakannya,” lanjutnya sambil menunjuk wanita tua di rumah panggung seberang jalan setelah ia kembali duduk di hadapanku.

“Aku mencintainya, bukan ibumu!” sesalnya yang membuatku akhirnya memahami alasannya bertahan di rumah ini meski semua teman-temannya sesama transmigran yang satu angkatan sudah lama berpulang dan sebagiannya lagi memilih kembali ke kampung halaman.

***

“Seperti dendam, cinta kadang tak harus terbalaskan. Dan kau, mau tak mau harus merelakan,” ia menutup kisah sambil mematikan rokok yang masih tersisa setengah batang dari tangannya. Kemudian dengan tenang, ia beranjak masuk ke dalam rumah sambil menatap punggung wanita tadi yang juga sedang bergegas masuk ke rumahnya.

Akupun, dengan tenang, melangkah kembali ke rumah. Menuju kamar. Duduk di depan komputer. Lanjut mengetik. Hingga akhirnya, cerpen yang tak sempat terselesaikan itu kini sudah berada di tangan pembaca, dengan judul: Seperti Dendam, Cinta tak Harus Terbalaskan.

***


Like it? Share with your friends!

20
Makmuriyanto

Makmuriyanto, S.I.Kom merupakan Co-Founder atau Chief Operating Officer (COO) Artikula.id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals