Beberapa dekade perkembangan tafsir dan ilmu tafsir menghadapi sejumlah tantangan perkembangan kontekstualisasi yang harus ditaklukkan. Kondisi ini mau tidak mau ‘memaksa’ para sarjana dan ulama tafsir masa mutaakhir untuk terus menggali potensi Al-Qur’an sebagai shalih likulli zaman wa makan.
Beberapa saat setelah semester pertama telah saya lalui, pada semester kedua saya berkesempatan mengunjungi ‘situs’ cabang ilmu Al-Qur’an tertua dalam salah satu mata kuliah, ia adalah ilmu Qiroat. Mendengar nama dari cabang ilmu Al-Qur’an ini, sejak awal saya sudah berpraduga bahwa ini akan menjadi materi yang membosankan. Praduga itu didukung dengan nyatanya pilihan silabus pengampu mata kuliah ini, dengan mengambil aplikasi kaidah qiroat dari beberapa imam periwayat qiroat mutawatirah. Artinya kajian wacana dalam kuliah ilmu qiraat ini akan hilang, yang menurut saya para mahasiswa akan bisa mencipta kelas yang lebih hidup jika yang dikaji adalah wacana.
Namun saya berhenti mengamini praduga saya, pasalnya ada pertanyaan menggelitik “kenapa ilmu sepenting ini seakan hampir menuju kepunahan?” Pada kesempatan lain saya merenungkan bahwa mungkinkah ini terjadi karena disefisiensi pembelajaran? Atau karena adanya main stream bahwa orang yang terjun dalam ilmu qiraat harus belajar pada orang yang memiliki ketersambungan sanadnya. Atau mungkin ilmu ini sukar dikuasai?
Jika karena disefisiensi pembelajaran, maka hal ini bisa jadi merupakan alasan teknis saja. Karena pada dasarnya pembelajaran dapat dipilih dari dua model; (1)pembelajaran dengan model mengkaji satu imam dengan kaidahnya dari masing-masing periwayat qira’ah, atau (2)dengan model kajian beberapa ayat atau surat dengan disertai perbedaan cara membaca dari masing-masing imam qira’at dan masing-masing riwayatnya.
Seperti diketahui pendapat jumhur mengtakan ada 7 atau 10 atau 14 imam qiraat mutawatirah. Dari 7 imam qira’at masing-masing memiliki dua murid yang masyhur yang memiliki jalur periwayatan dari gurunya. Saya kira model yang kedua lebih menantang dan lebih efisien serta tidak menjemukan.
Mengenai keputusasaan dengan adanya mainstream bahwa perlunya sanad untuk mempelajari qira’at, memang benar demikian, bahwa mempelajarinya seyogyanya dari guru yang bersanad qira’ah. Namun untuk mempelajari kaidah dan ilmu qiraat seperti yang dilakukan oleh Syathibi, dengan menelaah dan mengklasifikasikan kaidah, tidaklah harus se-eksklusif itu. Artinya, wacananya, kaidahnya, pengaruh, dan penyebarannya (living qira’at) masih dapat digali dan diobservasi secara aktif.
Adapun mengenai ini adalah ilmu yang sukar dipelajari, karena ketelitian dan kuatnya ingatan sangat diperlukan. Sukar memang. Karena itulah ilmu ini tidak berlebihan jika disebut ilmu langka sebagaimana ilmu Faraidh yang juga hampir punah. Benarkah pernyataan ini? Tentu kita harus membuat sebuah penelitan, dengan presentase dari sekian umat Islam atau kita khususkan sarjana ilmu Al-Quran dan Tafsir, berapa persen orang yang mengusai ilmu Qiraat secara mutqin. Saya berani mengatakan presentasenya sedikit sekali.
Meskipun karya-karya dalam bentuk buku berbahasa Indonesia mengenai ilmu Qira’at ini cukup banyak dihasilkan, namun yang perlu ditekankan adalah inovasi pembelajarannya. Karena itu geliat kajian ilmu qira’at ini harus digalakkan di pesantren-pesantren dan di kampus-kampus Islam dengan pembelajaran yang kreatif.
0 Comments