Dalam dasawarsa terakhir ini, telah banyak terjadi praktik radikalisasi agama yang mengatasanamakan Islam. Berbagai ketegangan dan konflik sosial, baik antar para penganut internal agama, maupun antar umat beragama telah menyulut aksi-aksi kekerasan yang menelan banyak korban.
Tengoklah berbagai aksi pengeboman di Indonesia yang semikin menggurita, bahkan akhir-akhir ini polisi sering menjadi target kelompok-kelompok teroris.Kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti Jama’ah Ahmadiah dan gangguan keamanan terhadap perayaan Natal masih sering kita rasakan. Fenomena tersebut adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa kekerasan telah terjadi di masyarakat yang beragama.
Agama seolah-olah telah dijadikan licenseto kill (surat ijin untuk membunuh) orang lain karena perbedaan ideologi atau keyakinan. Padahal Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmatan lil `âlamîn (Q.S. al-Anbiyâ’[21]: 107), yakni agama yang menebar kasih sayang kepada seluruh umat. Al-Qur’an juga memberikan jaminan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan: “Tidak ada paksaan dalam beragama… “(Q.S. al-Baqarah [2]:256). Sebab beragama dalam keterpaksaan tidak akan melahirkan perilaku keberagamaan yang otentik.
Praktik keseharian yang dicontohkan Nabi Saw juga meneguhkan akan visi dan misi Islam sebagai agama yang humanis, toleran dan berkeadaban. Sejarah telah mencatat bahwa ketika terjadi Fath Makkah, Nabi Saw telah menujukkan sikap yang humanis, tidak ada balas dendam, apalagi kesewenang-wenangan. Padahal kalau beliau mau, hal itu bisa dilakukan, sebab ketika itu beliau punya power. Demikian pula ketika di Madinah, beliau telah membuat piagam Madinah yang mencerminkan nilai-nilai toleransi terhadap non-muslim, yakni Nasrani dan Yahudi. (al-Buthi, 1990: 207 dan 374-377).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses perjalanan sejarah umat Islam berikutnya, telah terjadi konflik dan kekerasan, baik yang dipicu oleh pertikaian qabilah (suku dan etinisitas), aqidah (keyakinan atau ideolgi), maupun oleh persoalan ghanimah (persaingan ekonomi). Demikian kurang lebih teori Muhamammad Abied al-Jabiri dalam bukunya, al-Aql al-Siyâsi al-Arabi. Teori al-Jabiri itu memberikan isyarat bahwa penafsiran atas agama yang dipolitisasi bisa menjadi pemicu dan pemacu konflik yang berujung pada radikalisasi dan kekerasan agama.
Dengan kata lain, aksi-aksi kekerasan agama tersebuttidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh ideologi keagamaan yang keras (baca: radikal) yang berbasis pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang tekstual-parsial. Pendek kata, sejauh tafsir terhadap Islam itu bersifat literal-radikal, maka sejauh itu pula dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sosial politik para penganjurnya.
Hal ini tampaknya sejalan dengan teori Clifford Geertz, dalam bukunya Local Knowledge : Futher essays in Interpretive Anthropology, 1993yang menyatakan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara pola pikir (mode of thought) dengan pola perilaku (mode of conduct). Artinya, bahwa perilaku seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh pola pikirnya. Jika pola pikir yang dianutnya radikal, keras, hitam–putih, dan literalis dalam memahami teks-teks agama, maka hal itu cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan (al-`unf atau violence).
Harus diakui, ada sejumlah ayat-ayat yang secara tekstualdapat memicu kekerasan. Dalam beberapa literatur kitab tafsir,seperti tafsir Ibnu Katsir dan al-Qurtubi memang terdapat beberapa penafsiran yang sangat potensial untuk dijadikan legitimasi terhadap praktik-praktik kekerasan dan radikalisasi agama.
Contoh ketika menafsirkan ayat: “Inna al-Din Indallâh al-Islâm…. Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam (Q.S. Ali Imran [3]: 19). Ayat tersebut olehkedua penafsir justru dipahami sebagai sebuah legitimasi untuk menafikan eksistensi agama lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang harus dihapuskan oleh Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Bahkan ada pula yang menganggap ayat tersebut telah menaskh(menghapus) ayat tentang jaminan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah [2]: 256).
Penafsiran seperti itu menurut hemat penulis tidak relevan lagi, sebab bisa berpotensi terhadap upaya pemaksaan kepada seseorang untuk menganut memeluk Islam, dan jelas bertentangan dengan sharih al-nash (teks Al-Qur’an secara tegas), yang memberi kebebasan untuk beragama (freedom of religion or belief). Terlebih jika dihubungkan dengan konteks zaman di era multikultural, yang mengharuskan masing-masing kita untuk bisa menghargai perbedaan kultur, tradisi, dan agama, dan tidak saling memaksaakan kehendak, apalagi melakukan kekerasan atas nama agama.
Akar radikalisme Islam juga dapat ditemui dalam Fi Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb ketika menjelaskan tentang ayat: Yâ ayyuhal ladzina âmanûudkhulû fi al-silmi kâffah….(Q.S. al-Baqarah [2]: 208). Artinya, Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan). Ayat tersebut menurut Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam harus diterapkan secara totalitas dalam sistem kehidupan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Maka kemudian muncul konsep al-Islâm Din wa Dawlah, bahwa Islam adalah agama dan negara. Jadi hubungan agama dan negara adalah integrated (menyatu).
Tafsir seperti itu dapat berimplikasi kepada penolakan Pancasila dan hukum-hukum produk manusia, atau sistem negara yang dianggap tidak berdasarkan Islam dan dianggap sebagai negara thaghut.
Sayyid Qutb juga mengkritik sistem demokrasi, dan memandangnya sebagai jahiliyah modern. Beliau memperkuat pandangannya dengan ayat : “waman lam yahkum bimâ anzala Allâh fa ulaikahum al- kâfirûn (Q.S. al-Maidah [5]: 44). Arti literalnya: Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah Swt (yakni al-Qur’an), maka mereka itu adalah kafir. Karena mereka kafir, maka harus diperangi dan semua hukum produk manusia harus digantikan dengan yang sesuai dengan hukum Allah Swt.
Itulah logika yang disimpulkan dari pemahaman ayat secara tekstual dan literal. Wajar jika cara berpikirseperti itu kemudian melahirkan produk-produk tafsir yang mengarah kepada radikalisme Islam.
Satu hal yang perlu diwaspadai dan kritisi adalah adanya kecenderungan sebagian kelompok jama’ah pengajian yang dalam memahami Al-Qur’an hanya didasarkan pada terjemah produk Departemen Agama RI. Dari terjemahan itu, lalu mereka tafsirkan sendiri sesuai dengan akal yang sudah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi tertentu. Analisis semantis, semiotik dan hermeneutik nyaris tidak pernah dipertimbangkan sama sekali dalam proses penafsiran.
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, dalam rangka deradikalisasi penafsiran Al-Qur’an dan membendung radikalisme Islam, diperlukan pembacaan yang lebih kritis (baca: qira’ah al-naqd), holistik dan komprehansif dalam memahami Al-Qur’an, dengan mempertimbangkan berbagai konteks, baik internal teks maupun ekternalnya.
Jangan sampai misalnya, membaca ayat-ayat perang, sementara kita melupakan pembacaan ayat-ayat perdamaian. Pembacaan Al-Qur’an yang parsial dan ideologis (qira’ah talwiniyyah) cenderung melahirkan penafsiran radikal dan penafsiran radikal bisa berpotensi melahirkan radikalisasi agama.
Walhasil, melakukan de-radikalisasi penafsiran Al-Qur’an menjadi salah satu cara menangkal radikalisasi agama, setidak-tidaknya pada ranah kognitif.
Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Artikel terkait: Catatan Perdamaian dalam Al-Qur’an
One Comment