Media dan Proses Penafsiran Al-Qur’an yang Tereduksi

Media bukan menjadikan masyarakat pembaca menjadi religius semata, tetapi sebaliknya juga, dapat memunculkan suatu kekacauan dalam beragama. 2 min


1
1 point
Sumber gambar: nu.or.id

Media digital menjadi suatu wadah baru untuk menginformasikan nilai-nilai luhur yang ada dalam ajaran agama. Media dapat mengkonstruk dan menjadi modal dasar bagi diri seorang pembaca dalam beragama. Akan tetapi, pengaruh media terkadang menciptakan kesenjangan antara makna teks dan pesan utama dari al-Qur’an itu sendiri.

Berbicara mengenai media, tampilan penafsiran al-Qur’an juga ikut terpengaruh terhadap kemajuan era digital ini. Perkembangan zaman memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai bidang, terutama agama.

Bingkai media dapat dijadikan bahan penyampai informasi dalam penyebaran ajaran agama secara komprehensif. Banyak cendekiawan menyebarkan pemikiran atas pemahaman agamanya melalui fitur-fitur digital ini. Ayat-ayat al-Qur’an sering muncul dalam wajah media yang secara perlahan melakukan konstruksi beragama suatu masyarakat. Tema-tema yang diangkat semakin menarik ketika media menjadi alat dakwah dalam menyampaikan ideologi keagamaan.

Baca juga: Mendadak Ahli Tafsir

Dampak dari model keberagamaan saat ini yang dalam bukunya Abdul Halim mengutip pendapat Dawson dan Cowan disebut dengan digital religion. Model keberagamaan ini sebagai jalan pintas bagi masyarakat untuk memahami Islam dan menjadi cara baru untuk melakukan transmisi pengetahuan keagamaan.

Namun sayangnya, alat dakwah ini juga mengalami distorsi dalam perkembangan pengetahuan terhadap penafsiran al-Qur’an. Hirarki dan kualifikasi penafsiran al-Qur’an mulai runtuh. Proses penafsiran al-Qur’an sedikit hilang polanya.

Penafsiran al-Qur’an yang tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek ulumul qur’an. Namun, penafsiran al-Qur’an dalam ruang media mengalami dilema akademis. Ada distingsi dalam alur proses penafsiran. Aspek historisitas, munasabah, banyak mengalami pergeseran. Penafsiran al-Qur’an dalam ruang media “mayoritas” (bukan suatu generalisasi) sebatas bagaimana pembaca mengetahui makna ayatnya secara sederhana, tanpa mengetahui bagaimana proses penafsiran ayat tersebut berjalan.

Penafsiran-penafsiran al-Qur’an dalam ruang media menjadi banyak motif yang ingin ditampilkan. Salah satunya sebagai suatu titik pijak dalam meneguhkan otoritas suatu pemahaman dari setiap penyampainya. Media juga menjadi ruang konstruksi ideologi.

Baca juga: Menjinakkan Penafsiran “Ayat-Ayat Radikal”

Motif-motif tersebutlah yang menjadikan wajah-wajah penafsiran al-Qur’an mengalami reduksi dalam prosesnya. Setiap tahapan dalam melakukan penafsiran tidak semua tampak dalam bingkai media tersebut. Dampak dari model tampilan penafsiran al-Qur’an yang seperti itu menjadikan pembaca merasa bahwa cukup memahami ayat al-Qur’an dan hadis Nabi kemudian diambil makna dari teks tersebut sudah dapat mengetahui bagaimana cara memahami aturan beragama.

Padahal, dalam memahami penafsiran al-Qur’an butuh banyak langkah sebelum mendapatkan ide pokok dari maksud suatu ayat al-Qur’an. Dalam buku Hermeneutika Sahiron Syamsuddin, seorang ahli tafsir menjelaskan bahwa perlu adanya keseimbangan interpretasi dalam melakukan pemahaman al-Qur’an. Melakukan penafsiran bukan hanya melihat secara literal tekstual ayat al-Qur’an, akan tetapi harus diseimbangkan juga dengan signifikansi pesan utama yang ingin disampaikan al-Qur’an.

Mereduksi langkah atau proses menafsirkan akan mempengaruhi hasil dari penafsiran itu sendiri. Dalam menafsirkan seharusnya melalui beberapa proses, secara sederhana yakni melakukan analisa bahasa teks al-Qur’an pada saat al-Qur’an tersebut diturunkan pertama kali, melihat struktur bahasanya, melihat konteks historisitas pewahyuan, kemudian menggali pesan utama ayat atau ideal moralnya dalam istilah Fazlurrahman, dan baru setelah itu mengkontekstualisasikan pesan utama ayat terhadap konteks yang ada saat ini.

Baca juga: Dimensi Pathos, Ethos dan Logos dalam Ilmu Tafsir Al-Qur’an

Langkah-langkah penafsiran seperti itu sedikit hilang dalam tampilan penafsiran al-Qur’an di media. Memang, disadari bahwa dalam media ruang atau space nya terbatas untuk menyampaikan kata dan kalimat. Namun, setidaknya secara sederhana setiap proses tersebut terlihat dalam setiap wujud kata atau kalimat dari beberapa paragraf yang disajikan,

Framing media yang dianggap ‘jangan’ menampilan sesuatu yang rumit tidak serta merta menghilangkan esensi suatu penafsiran. Karena dampak yang dihasilkan akan lebih menjadikan masyarakat pembaca merasa bahwa dengan mengetahui ayat al-Qur’an, hadis, dan terjemahan sudah merasa cukup bagi dirinya untuk memahami al-Qur’an. Hal ini bukan menjadikan masyarakat pembaca menjadi religius semata, tetapi sebaliknya juga, dapat memunculkan suatu kekacauan dalam beragama.

Wallahu a’lam.

 

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Adrika F. Aini
Adrika Fithrotul Aini, M.Ag. adalah dosen di IAIN Tulungagung dan juga Direktur Pusat Studi al-Qur'an dan Hadis (PSQH) IAIN Tulungagung.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals