Tips Mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Dan sabda Nabi Muhammad saw: “Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu. (H.R. Abu Nu’aim).4 min


3
1 share, 3 points

Mengenal Allah yang biasa disebut dengan ma’rifatullah berasal dari kata ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui dzat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat-ayat-Nya).

Mengenal Allah merupakan tahapan penting perjalanan diri manusia.

Ma’rifatullah bukanlah mengenal dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenal sesuatu yang tidak terbatas.

Menurut Ibnu al-Qayyim, ma’rifatullah yang dimaksudkan adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun dimaknai juga sebagai pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan ketika sahabat Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya mengenai ma’rifat yang ada pada dirinya, ia berkata, “Sangat mustahil ma’rifat datang bukan karena ma’unah Allah”. Ia mengatakan bahwa ma’rifat tidak akan ditemukan pada panca indera manusia, tidak ada ukuran. Ma’rifat itu dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu Dialah (Allah) dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatu yang dapat menyamai-Nya. Dialah dzat yang suci Allah Azza Wajalla.

Sarana Ma’rifatullah

1) Akal Sehat

Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al-Khaliq (pencipta) seperti firman Allah yang artinya:
“Katakanlah, perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi! Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman. (Q.S. Yunus :101).

Dan sabda Nabi Muhammad saw:

“Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu. (H.R. Abu Nu’aim).

2) Para Rasul

Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenal Allah.

3) Asma dan Sifat Allah

Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah.

Manfaat Mengenal Allah

Sungguh pun al-Quran  berbicara tentang masalah akidah dan tauhid seperti halnya mengenal Allah, namun al-Quran bukanlah ilmu aqa’id atau ilmu tauhid, karena masalah-masalah akidah dan tauhid tidak disusun secara sistematik sebagaimana halnya sebuah ilmu.

Hal yang demikian sengaja dilakukan agar manusia bebas untuk mengembangkan nalarnya dalam mengenal Tuhan, dan al-Quran dengan caranya yang demikian itu, bahwa yang terpenting adalah bagaimana pengaruh dari mengenal Tuhan itu terhadap tumbuhnya akhlak yang mulia, moralitas yang tinggi, amal shaleh, dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan terhadap Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang menjunjung tinggi aspek moralitas dan amal shaleh.

Pertama-tama kita beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (rabbaniyah), yaitu tata nilai yang wajib dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (Inna Lillahi Wa inna Ilaihi Raji’un), Sesunggnnuhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya.

Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin, dan Dia telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan, untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Karena itu, manusia harus berbuat sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan kepada-Nya, baik di dunia ini, maupun khususnya, kelak dalam pengadilan Ilahi di akhirat.

Orang muslim berpandangan bahwa demi kesejahteraan dan keselamatan mereka sendiri di dunia dan di akhirat, mereka harus bersikap pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sikap berserah diri kepada Tuhan (berislam) mengandung beberapa konsekuensi.

Cara Berma’rifat

Untuk berma’rifat kepada Allah Swt mempunyai dua cara yaitu:

Pertama, dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini. Kedua, dengan mengetahui nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya.

Dengan optimalisasi peran akal pikiran dan mema’rifati nama-nama serta sifat-sifat Allah, maka seseorang akan dapat berma’rifat kepada Tuhan dan ia akan memproleh petunjuk ke arah itu.

Pandangan Ulama Tentang Ma’rifat

Al-Muhasibi: ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang didasarkan pada kitab dan sunnah.

Al-Muhasibi juga menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:

Taat; awal dari kecintaan kepada Allah, menurut Al-Muhasibi tampak dari ketaatan. Taat tiada lain adalah wujud konkrit kecintaan seorang hamba kepada Allah.

Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekadar ungkapan kecintaan semata lewat lisan.

Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.

Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.

Pada tahap berikutnya, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.

Terakhir, sampailah pada tahapan, sebagaimana yang dikatakan oleh kaum sufi dengan fana yang menyebabkan baqa.

Dzun nun Al-Mishri: Sesungguhnya ma’rifah yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang telah dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin ahli balaghah.

Akan tetapi, ia adalah al-ma’rifah kepada keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambanya yang lain.

Al-ma’rifah yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahaya.

Kedekatan hamba kepada Sang Rahman menafikan dirinya sendiri. Lebur (fana) dalam kekuasaannya, berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah.

Imam Al-Ghazali: ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang sufi.

Oleh karena itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah, dengan mengikuti perkataan seorang  bahwa si fulan berada di rumah tanpa menyelidiki lagi.

Bagi para ulama keyakinan adalah ibarat si fulan di rumah, dibangun atas dasar ada tanda-tandanya seperti ada suara si fulan walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding, lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya, bahwa si fulan benar-benar berada di rumah.

Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di rumah dengan mata kepalanya sendiri.

Ringkasnya, ma’rifat menurut al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat para ulama,  tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyif ilahi.

Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash aulia tanpa melalui perantara langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung diperoleh dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali.

Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

3
1 share, 3 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
6
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
15
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
4
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Denan Amin Syukur Btr, S. Pd
Denan Amin Syukur Btr. Mahasiswa S1 UIN SUSKA RIAU, prodi Pendidikan Agama Islam. Asal daerah Mandailing Natal Sumatera Utara.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals