Tafsir adalah salah satu cabang dari studi Islam selain dari ilmu Fiqh, Tauhid, Hadis, bahasa, sejarah, tasawwuf dan lainnya. Sekali lagi dipertegas, tafsir adalah salah satu cabang ilmu Islam. Dan setiap cabang ada pakarnya, yang benar-benar menggeluti bidang tersebut, teruji kredibilitasnya, menghabiskan nyaris seluruh umurnya untuk mempelajarinya. Merekalah tempat rujukan kita jika ingin memahami detil dari salah satu ilmu tersebut.
Seorang ulama boleh jadi ahli di bidang ilmu hadis, tapi belum tentu ahli dalam istinbath al-hukm (menyimpulkan hukum), karena istinbath al-hukm memerlukan ilmu tersendiri yaitu ilmu fiqh. Boleh jadi dia ahli fiqh (hukum dzahir) tapi belum tentu ahli dalam hukum hukum batin (yang tersembunyi), karena itu membutuhkan ilmu tersendiri yaitu ilmu tasawwuf. Begitu juga dengan ilmu tafsir, tidak semua orang yang bisa baca al-Qur’an atau sekedar mengerti bahasa arab “sekonyong-konyong” bisa mengklaim sebagai mufassir, karena tafsir adalah cabang ilmu tersendiri yang dipelajari secara khusus, inilah yang kita sebut dengan hierarki keilmuan. Jika dalam cabang studi Islam saja ada hierarkinya, apatah lagi antar dua disiplin ilmu yang berbeda. Misalnya ilmu sosial politik, meskipun seseorang telah mencapai tingkat Professor tidak kemudian ia berhak berbicara tentang cabang ilmu Islam, pun berlaku sebaliknya, karena teori dan pendekatan keduanya berbeda.
Masalah serius saat ini adalah banyak orang yang dengan lantang dan beraninya memberi fatwa atas ilmu yang bukan bidangnya, khususnya ilmu tafsir. Contoh saja ayat “…Kabura maqtan ‘indallahi an taqûlû mâ lâ taf’alûn” (dosa terbesar di sisi Allah ialah jika kalian berbicara apa yang tidak kalian kerjakan [QS. As-Shaff:2]). Kalau ayat ini diartikan serampangan, maka tidak akan ada manusia yang selamat, semua akan terkena dosa besar. Seorang yang belum berhaji tidak boleh menasehati tentang haji, ustadz yang belum menikah tidak boleh memberi nasehat tentang pernikahan dan seterusnya. Karena itu ayat di atas harus di tafshil (dirinci) maknanya, di lihat konteksnya ditelusuri asbab an-nuzul dan berbagai komponen ilmu tafsir lainnya.
Secara garis besar ada dua efek yang ditimbulkan dari “mendadak” ahli tafsir. Pertama, mempersempit makna al-Qur’an (tadhyiq al-ma’na). al-Qur’an sebagai mu’jizat terbesar justru kehilangan relevansinya. Seperti penyempitan kalimat “al-kufr” yang hanya dikaitkan dengan non-muslim. Padahal orang yang tidak bersyukur juga disebut kufr walaupun beriman, itulah kenapa kata “asy-syukr” digandengankan dengan “al-kufr“.
Kedua, interpretasi (tafsir) al-Qur’an tak lagi menjadi solusi keumatan apalagi solusi kemanusiaan. Justru tafsir menjadi alat baku hantam antar satu kelompok dengan kelompok lain. Seperti ayat “…Wa man lam yahkum bima anzalallah faulâika hum al-kâfirûn” (…maka siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang kafir[QS. al-Maidah : 44]), lalu apakah yang berasas Pancasila di NKRI ini kafir? Ini perlu tafsir yang komprehensif.
Contoh lain ayat “kuntum khaira ummatin..” (kalian adalah umat yang terbaik…[QS. Ali ‘Imrân : 110]), saat ini kita perlu introspeksi diri, dimana terbaiknya kita sebagai umat Islam dibanding umat lain? Dari segi apa? Apakah hanya bermodal ayat tersebut umat Islam bisa keluar dari kebodohan, kemiskinan, ketebelakangan dan lainnya?.
Satu hal terpenting dari dua efek di atas ialah, orang yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hawa nafsunya telah menyiapkan tempatnya di neraka (HR. At Tirmidzi, An-Nasai dan Ahmad), yaitu mereka yang berani menafsirkan al-Qur’an tanpa metode tafsir yang benar. “Mendadak” ahli tafsir ini dilatar belakangi salah satunya oleh slogan “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah”. Kalimat ini benar tapi sangat berpotensi disalah pahami atau memang di gunakan untuk tujuan yang salah (kalimat al-haq yurîdu bihâ al-bathîl). Yang ada kemudian, masyarakat berkomentar tentang kandungan al-Qur’an hanya bermodalkan terjemah tanpa merujuk dan bertanya pada pakar-pakar tafsir.
3 Comments