Saya tidak akan bicara tentang virus corona. Bukan kapasitas saya. Cukup google yang bisa tahu segalanya. Tapi, memang ironi, di tengah mewabahnya virus ini, tiba-tiba dalil-dalil agama ikut mewabah. Bila bukan Al-Qur’an, berarti hadis; bila bukan hadis, berarti kaidah fikih; bila tidak, berarti pernyataan tokoh tertentu yang dianggap ulama. Pusarannya selalu begitu. Minimal, tidak jauh-jauh dari ini.
Apa ini salah? Saya tidak sedang mau bicara salah-benar. Halal-haram. Cukup wabah corona yang menyita waktu. Namun, hidup ini tidak boleh terlalu kaku. Jelas, pola berpikir hitam-putih: salah-benar atau selalu tentang halal-haram bisa menjadi pemicu.
Baca juga: Mendadak Ahli Tafsir
Pada bagian ini, saya lebih tertarik bicara pantas dan tidak pantasnya. Lebih tepatnya, relevan dan tidaknya. Korelasinya dengan judul di atas, tulisan ini bermaksud melihat imaji religiositas yang mulai ikut ‘diwabahkan’ oleh sebagian orang sekitar. Bersamaan dengan mewabahnya corona di negara kita.
Imaji religiositas di tengah maraknya berita-berita tentang corona muncul dalam bentuk narasi teologis-formalistik. Ya, langsung menyentuh wilayah iman dengan semua turunannya. Narasi yang sering terdengar, “Hari ini manusia takut mati. Padahal, semuanya sudah ada takdirnya sendiri,” “Kita lebih takut corona dibandingkan takut pada Allah,” “Inilah masa kejayaan Iblis; aktivitas ibadah di masjid dibatasi,” “Tawakkal saja. Kalau sudah waktunya mati, tetap akan mati. Malaikat tidak akan salah orang.” Serta narasi-narasi sejenis.
Tidak ketinggalan, mereka menyemarakkan narasi tersebut dengan dalil agama, dimodif dengan model logika penjual obat yang sedang dikejar setoran. Logika ini langsung pada kesimpulan: “Ikuti alur berpikir begini. Bila tidak, keimanan Anda dipertanyakan, katakwaan Anda diragukan!”
Baca juga: Jurus Sehat Rasulullah (JSR), Benarkah?
Model berpikir seperti ini semakin santer terdengar pasca munculnya berbagai fatwa ulama dari berbagai belahan dunia tentang pentingnya sikap waspada terhadap virus ini. Kewaspadaan tersebut disusul dengan imbauan menghindari kerumunan yang berpotensi menjadi momentum penyebaran virus. Seperti salat berjamaah di rumah saja. Salat Jumat diganti salat Dhuhur dan dikerjakan di rumah. Juga fatwa-fatwa senada.
Narasi model di atas, dengan balutan narasi teologis-formalistik jelas tampak kaku. Terkesan egois. Tentu juga terlalu arogan untuk menuding orang lain sebagai kurang tawakal, kurang percaya Allah dan sebagainya. Meski, karena terlanjur dibalut dengan bahasa Agama, yang tampak ke permukaan seakan representatif sebuah sikap kesalehan. Ini fatal.
Padahal, kepatuhan kita pada imbauan pemerintah untuk menghindari kerumunan guna meminimalisir menyebaran corona, merupakan bentuk lain dari ketaatan yang merupakan ajaran agama (lihat QS. al-Nisa: 59); menahan diri dari bepergian ke wilayah yang sudah terjangkit virus merupakan pengamalan terhadap pesan Nabi (HR. Abu Dawud, nomor hadis 200); mendengarkan fatwa ulama untuk salat berjamaah di rumah saja juga bentuk lain dari pengakuan kita terhadap mereka yang dinobatkan sebagai pewaris Nabi (HR. Ibn Majah, nomor 223).
Baca artikel lainnya: Hubungan Sesama Manusia pada masa Wabah Virus Corona dalam Perspektif Hadis
Menghadiri kerumunan, meski pun untuk tujuan salat berjamaah dan jumatan, pada dasarnya bisa termasuk dari bagian menjerumuskan diri dan orang lain yakni kemungkinan terjangkit virus tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip Al-Qur’an untuk tidak menjerumuskan diri dalam kebinasan (QS. al-Baqarah: 195); tidak sejalan juga dengan ajaran Nabi untuk tidak membahayakan diri dan orang lain (HR. Ibn Majah, nomor hadis 2340). Kalau pun harus bicara tentang tawakal, tentu tidak boleh abai terhadap upaya dan ikhtiar. Persis seperti perintah Nabi pada seorang sahabat untuk mengikut untanya terlebih dahulu, baru tawakal (HR. al-Tirmizi, nomor hadis 2517).
Kalau sudah begini, sebenarnya siapa yang paling beriman, lebih bertakwa?
Ah, tidak layak menyebut diri lebih baik, lebih suci, lebih bertakwa dan lebih beriman.
Baca juga: Cara Rasulullah SAW Menghargai Kemanusian
Suatu saat, sekelompok Yahudi menghadap Nabi dengan membawa serta anak-anak kecil mereka. Di hadapan Nabi, mereka bertanya, “Muhammad, apakah anak-anak ini punya dosa?” Nabi menjawab, “Tidak.” Dengan percaya diri, mereka menegaskan, “Kami pun seperti mereka. Apa yang kami perbuat di malam hari, pasti sudah diampuni saat siang; pun demikian, apa yang kami perbuat di siang hari, akan diampuni saat malam tiba.” Demikian kisah ini dinukil dari Ibn ‘Abbas.
Sebagai respon terhadap sikap tersebut, turun QS. al-Nisa: 49 yang berisi kecaman Allah terhadap orang-orang Yahudi yang menganggap diri mereka tidak berdosa. Suci. Ayat ini memertegas bahwa tidak selayaknya seseorang memuji diri sendiri. Siapa pun dia. Kesucian diri berkorelasi kuat dengan ketakwaan. Takwa muaranya adalah hati. Hanya Allah yang tahu persis kadar ketakwaan hamba-Nya. Karena itu, sejatinya, hanya Dia pula yang behak menilai siapa yang terbaik; bukan saya, mereka, kita, kami atau Anda (lihat al-Razi terkait ayat tersebut; Tafsir al-Kabir, jilid X, hlm. 100).[]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Baca tulisan Miski Mudin lainnya: Jangan Terlalu Serius, Ah!
Lha, penulianya jg bawa-bawa dalil agama (Alquran dan hadis), piye jal?😂
Ini reaksi bro. Reaksi atas apa yg sdh terjadi. Reaksi atas dalil² itu.
Kalau yang saya pahami. Penulis tidak melarang menggunakan dalil agama. Tapi yang lebih penting bagi penulis adalah menggunakan dalil-dalil agama tanpa melepaskan dari konteksnya dan memahami permasalahan mendasar dari suatu masalah yang direspon, sehingga tidak terjebak pada kerancauan dalam menanggapi suatu masalah karena terjebak pada hal-hal yang merupakan inti dari permasalahan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Secara sederhana, jika boleh memberikan semacam penegasan bahwa tangkap dulu pemahaman universal ya yang merupakan asal mula suatu permasalahan supaya tidak terkungkung pada permasalahan partikular sehingga alih-alih mendapatkan jalan penyelesaiannya, tapi malah menambah masalah. 🙏🙏🙏
Kalau yang saya pahami. Penulis tidak melarang menggunakan dalil agama. Tapi yang lebih penting bagi penulis adalah menggunakan dalil-dalil agama tanpa melepaskan dari konteksnya dan memahami permasalahan mendasar dari suatu masalah yang direspon, sehingga tidak terjebak pada kerancauan dalam menanggapi suatu masalah karena terjebak pada hal-hal yang bukan inti dari permasalahan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Secara sederhana, jika boleh memberikan semacam penegasan bahwa tangkap dulu pemahaman universal ya yang merupakan asal mula suatu permasalahan supaya tidak terkungkung pada permasalahan partikular sehingga alih-alih mendapatkan jalan penyelesaiannya, tapi malah menambah masalah. 🙏🙏🙏